Saya sempat menangkap sebuah adegan yang menurut saya amat berlebihan.
Yaitu ketika si Putri Tonggos dikerumuni dan diejek sejumlah bocah. Bocah-bocah
itu bertepuk tangan sembari berkata, “Kakak tonggos, Kakak tonggos.” Putri
Tonggos berlari menjauh karena ejekan itu. Rasa minder luar biasa menyelimuti
perasaannya.
Mengapa saya mengatakan adegan ini berlebihan?
Coba lihat sekitar kita, orang-orang yang terlahir atau tumbuh menjadi
seperti Putri Tonggos bukanlah hal yang luar biasa. Sehari-harinya, mereka
bukanlah bahan celaan seperti yang digambarkan di sinetron itu. Sehari-harinya
mereka bergaul dengan orang-orang sekitarnya dengan wajar.
Sumber: http://gettyimages.com |
Selayaknya di dunia ini, yang di mana-mana ada saja orang yang hatinya
kotor, barangkali ada saja orang yang mengejek mereka. Tapi bentuk ejekan itu
tak seperti yang digambarkan dalam sinetron tersebut. Lagi pula anak-anak kecil
kebanyakan, tidaklah menganggap hal seperti ini patut diejek. Mereka
memberlakukan orang-orang seperti Putri Tonggos seperti orang-orang biasa
lainnya. Mereka masih begitu polos, kecuali bila mereka melihat contoh
orang-orang dewasa di sekitarnya melakukannya, mungkin saja mereka menirunya.
Tetapi, adegan yang menggambarkan lebih dari lima orang anak kecil usia sekolah dasar,
berkerumun, bertepuk tangan, dan bersorak-sorai mengejek sesuatu yang dianggap
kekurangan fisik orang lain. Bukankah itu keterlaluan? Bukankah itu adegan yang
mengada-ada? Dalam kehidupan nyata, di bagian mana di negeri ini yang pernah
ada kejadian seperti itu?
Dewasa ini sangat sering ada adegan mengejek dalam sinetron-sinetron
Indonesia: berkerumun, bertepuk tangan sambil bersorak-sorai. Apapun bentuk
kekurangan yang diekspos, adegan seperti itu ada. Hal ini seperti menjadi cerminan
kebiasaan masyarakat Indonesia saking seringnya ditampilkan adegan seperti itu.
Saya tinggal di daerah perkampungan strata sosial menengah ke bawah. Di
lingkungan saya ngerumpi dengan
tetangga atau saling mencari kutu adalah pandangan yang jamak sehari-harinya.
Saling mengasuh balita juga biasa di lingkungan ini. Setiap harinya terdengar riuh
anak-anak bermain, dari pagi hingga malam hari. Canda tawa, saling teriak,
saling mengumpat, ataupun pertengkaran adalah hal yang biasa dalam lingkungan
seperti ini.
Tetapi saya sama sekali tidak pernah
melihat atau mendengar bentuk ejekan seperti dalam sinetron-sinetron itu.
Smber gambar: http://www.mytrans.com/video/2012/04/11/2/59/0/3766/putri-tonggos |
Dan berbicara mengenai tonggos, tak pernah satu kali pun warga sekitar saya
mengejek seperti dalam sinetron Putri Tonggos. Jika adegan sinetron merupakan
potret nyata masyarakat kita, di bagian mana negeri ini yang orang-orangnya
tega mengejek seperti itu? Atau, ini hanya kejadian di negeri antah-berantah?
Satu lagi adegan yang sering membuat saya tercengang-cengang menyaksikannya
di sinetron kita: ketika seorang murid atau guru secara tidak sengaja membuat
kesalahan, dengan kompaknya seisi kelas bersorak-sorai, riuh-rendah, menyoraki
murid/guru tersebut.
Adegan seperti ini, apakah saat ini potret kebiasaan di sekolah-sekolah di negeri
ini? Kalau iya, sejak kapan?
Kalau pun ada kejadian nyata seperti ini, perilaku menyoraki orang yang
membuat kesalahan sama sekali tak baik. Adalah lebih bijak jika para produsen
sinetron tidak mewajarkannya dalam tayangan mereka.
Tak sadarkah para pembuat sinetron itu kalau adegan seperti itu bisa
mendatangkan ide kepada masyarakat kita untuk memperlakukan orang-orang yang
dianggap memiliki kekurangan dengan cara yang sama seperti yang mereka
pertontonkan? Membuat orang berpikir, “Ooh, ternyata tonggos itu bentuk
kekurangan toh.”
Bukan rahasia lagi jika tontonan bisa mempengaruhi pola pikir dan perilaku
sebagian orang, apalagi anak-anak kita. Sebaiknya para pembuat sinetron bijak
dalam memproduksi sebuah tayangan. Adegan-adegan mengenai reaksi yang seragam
seperti mengejek dengan cara menyorak-nyoraki orang yang kekurangan atau yang
melakukan kesalahan janganlah dijadikan bentuk kewajaran. Karena semua itu tak
sesuai dengan kepribadian orang Indonesia.
Mari buat tayangan yang logis dan sesuai dengan kepribadian bangsa kita!
Makassar, 26 Februari 2013
Silakan juga dibaca:
Share :
"bencana" budaya mbak -_-'
ReplyDeleteYa, ini bencana
Deleteyup..miris bunda, :(
ReplyDeleteIya mimi ...
DeleteDuh. mau BW dan balas2 komen tapi mati lampu euy ...
dari dulu hampir semua sinetron seperti itu...sinetron yang katanya islami cuma sebatas kerudung , kopiah dan assalamualaikumdoank, esensinya nol ....alhamdulillah saya tdk pernah nonton, terakhir nonton sinetron sekitar belasan tahun lalu ...,... . Say no sinetron untuk anak-anak, sinetron apapun....
ReplyDeleteIya, mereka menonjolkan identitas seperti itu saja *miris*
Deletesetuju kak!
ReplyDeleteMakasih Diena :)
DeleteTontonan indonesia apalagi berbau sinetron, nggak berkualitas dan nggak mendidik. Miris kalau lihat sinetron seperti itu.
ReplyDeleteHarusnya yang di perbanyak adalah tontonan yang memberi inspirasi
Itulah kalo penyedia hiburan memikirkan sisi komersil saja
Deleteentah lah knp sinetron kita tu kek gtu :(
ReplyDeleteMiris ..
Deletepaling tidak mendidik ya acara sinetron, sayangnya ratingnya selalu tinggi. dari sekian banyak acara di saluran tivi, lebih banyak tidak mendidiknya. mending blogwalking, lebih terarah dan bisa dapat banyak ilmu.
ReplyDeleteBetul, mending BW :)
DeleteSama, kurang begitu mengenal dunia sinetron.
ReplyDeleteUntuk pendapatnya sangat setuju bahkan banget hehe... Tidak seharusnya menggambarkan prilaku "walaupun dalam bentuk seni peran" yg kurang wajar, karena secara tidak langsung memberikan inspirasi yang mengarah pada hal tsb yg sangat jelas bersifat negatif.
Yup, tepat seperti itu yang saya maksud. Justru menimbulkan ide baru sebenarnya padahal yang seperti itu tidak lazim dalam masyarakat kita :)
Deletebukan hanya sinetron kok, berita, talk show dsb,
ReplyDeletesemua ada di tangan penonton kok, pada akhirnya :)
Iya benar :)
Deletetipi kita memang banyak ngaconya bu
ReplyDeletemakanya anak anak aku pisahin dari tipi
Iya ya mas
DeleteSutradara film sinetron dan juga produsernya ... memang perlu di "kalibrasi" wawasannya ...
ReplyDeletemereka perlu lebih banyak melakukan observasi langsung ke kehidupan nyata ...
yang saya tau ... di perkampungan sekitar rumah saya ... juga tidak ada anak-anak yang berlarian mengejek seperti itu ...
kalau berantem rebutan layangan ... nah itu sering saya liat ... Tapi kalau mengolok-olok orang rasanya kok ... saya belum pernah liat.
salam saya
Iya om Nh, mereka harusnya mengkalibrasi wawasan. Hmm ... apa ini peran penulis skenario ya?
DeleteNah, berarti olok2 itu tida sesuai dengan kepribadian bangsa kita yaa
Makanya saya sangat membatasi anak2 menonton TV, karena hanya memberikan mudharat, bukan manfaat. Seharusnya pemerintah lebih peka lagi akan tayangan2 di TV. Kasihan generasi muda kita nanti :(
ReplyDeleteIya mbak ... tayangannya makin ngasal
Deletementong... kasian nih disguhin terus tayangan gak bermutu dan gak mendidik dari media
ReplyDeleteitu mi kalo media hanya memperhitungkan komersialnya saja. Sedikit sekali tayangan yang bermutu
DeleteMau nonton dimana yaa
ReplyDelete