Tulisan ini dibuat untuk webnya komunitas blogger Anging
Mammiri
Bincang-Bincang Tentang Kota dan Pasar
Sayangnya saya terlambat datang pada acara Tudang Sipulung komunitas
blogger Anging Mammiri tanggal 8
Februari lalu. Saat tiba, Yulianti Tanyaji (pemerhati masalah perkotaan) sudah
hampir selesai menyampaikan materinya.
Saya sempat menangkap penjelasannya bahwa ada file tentang rencana
pembangunan kota (RTRW: Rencana Tata Ruang Wilayah) yang bisa diakses bebas
oleh warganya. Ini berguna agar warga tahu, sekian tahun ke depan ada rencana
apa yang hendak pemerintah kota lakukan di daerah warga yang bersangkutan.
“Jangan sampai di tahun dua ribu tiga puluh, rumah kita mau dijadikan jalan tol
dan kita tidak tahu itu,” ungkap Yuli.
Agung Prabowo (dari AcSI: Active Society Institute) memaparkan tentang
pasar Terong yang sudah “digaulinya” sejak lama. Sebelumnya, ia menceritakan
tentang skripsinya ketika kuliah di fakultas Isipol yang menulis tentang pasar.
Ia sempat berdebat dengan pembimbingnya yang mermpertanyakan apakah ada hubungan
antara pasar dengan politik. Dengan mantap ia menjawab, “Ada.” Dan memberikan
alasan yang akhirnya diterima oleh pembimbingnya.
Agung memaparkan 3 cara pemilik modal besar dalam menguasai pasar, yaitu: menguasai regulasi (menciptakan pasar
dengan kompetisi yang sangat bebas – sebuah kompetisi yang sebenarnya sangat
tidak fair karena tak mungkin pasar
tradisional bisa bersaing dengan mart besar/mal dalam persaingan seperti ini), akuisisi (pengambilalihan), dan kekuatan militer (semoga tidak pernah terjadi).
Pasar sangat memerlukan perhatian dari warga sekitar. Betapa banyak orang
menggantungkan hidupnya di pasar tradisional. Kesukaan kita berbelanja di pasar
tradisional akan membantu banyak orang yang mengais rezeki di sana.
Mengenai kondisi pasar yang kotor, bukanlah keinginan para penghuni pasar.
Beban biaya yang mereka keluarkan setiap bulan seharusnya mampu membuat pasar
tradisional bersih. Untuk biaya retribusi saja, misalnya jika setiap kios
dikenakan Rp. 3.000/hari sementara ada 90 kios di dalam pasar yang
bersangkutan. Maka selama 30 hari, pasar tersebut menghasilkan retribusi[i]
sebesar Rp. 8.100.000.
Itu baru pungutan dari retribusi. Belum pungutan keamanan, listrik, sampah,
dan lain-lain. Kalau dihitung-hitung, besar juga pemasukan pemerintah kota dari
pasar-pasar tradisional yang jumlahnya mencapai 57 buah di Makassar ini, belum
termasuk pasar-pasar liar. Jadi sebenarnya, pasar berhak mendapatkan “layanan”
berupa pemeliharaan yang layak dari pemerintah. Tapi apa daya, seperti yang
kita saksikan sehari-hari: kotor, bau, dan becek tak bisa terpisahkan dari
pasar tradisional.
Gerakan sipil yang terarah dan sistematis dapat menjadi bentuk perlawanan
untuk memperjuangkan hak-hak orang-orang yang hidupnya tergantung pada roda
kehidupan pasar. Apa lagi jika ada beberapa gerakan serupa yang serentak.
Buku ini bisa diperoleh di Ininnawa/Kampung Buku |
Festival Pasar Terong digagas AcSI. AcSI bekerjasama dengan sebuah
komunitas arsitek – Arkom untuk “mematerialkan mimpi”. Dalam festival itu
diluncurkan buku Dunia dalam Kota
yang berisi kisah-kisah dinamika pasar Terong, termasuk “perda tandingan” –
sebuah inisiatif yang hendak ditawarkan kepada pemerintah sebagai solusi untuk
kebaikan, kemajuan, dan kesejahteraan pasar Terong.
Selain Agung, Yuli pun menekankan perlunya mengajukan rencana tata ruang
alternatif dari warga sebagai upaya perbaikan. Warga yang sehari-harinya
bersentuhan dengan pasar tradisional lebih tahu kebutuhan dan kenyamanan
seperti apa yang mereka inginkan sementara para perencana yang bukan bagian
dari warga tersebut hanya merancang “dari atas”.
Satu hal lagi yang perlu diwaspadai, mengenai pembukaan pulau Lakkang yang
eksotis karena meski terletak di kota Makassar, pulau Lakkang terisolir dari
kemegahan kota. Pulau Lakkang terletak di delta sungai Tallo, tak ada akses
jalan untuk menuju ke sana. “Pemberdayaan” pulau Lakkang dengan rencana akses
jalan dari Makassar bakal membawa banyak perubahan bahkan yang mendasar. Bukan
tak mungkin terjadi eksploitasi yang tak diharapkan.
Satu “tantangan” Agung dalam hal mendukung keberlangsungan pasar
tradisional membuat saya tertegun: “Seberapa berani kita keluar dari sistem?”
Maksudnya, seberapa berani kita tidak berbelanja di mal/mart besar yang hanya
menguntungkan segelintir orang dibandingkan dengan berbelanja di pasar
tradisional di mana sangat banyak orang yang hidupnya tergantung di situ?
Hmmm ... beranikah?
Makassar, 19 Februari 2013
Silakan disimak juga:
[i]
Retribusi (berdasarkan KKBI):
pungutan uang oleh pemerintah (kotapraja dan sebagainya)srbagai balas jasa.
Share :
mbak, maaf singgah duang ya....#sok sibuk
ReplyDeleteGpp, yang penting ngomen *eh?*
Delete*memaklumi orang sibuk*
saya sih enggak berani..
ReplyDeleteke pasar cuman buat blanja sayuran aja..
banyak kebutuhan lain yang engga tersedia di pasar hehe..
Walah gak lengkap ya pasarnya, mbak? Kalo di sini di pasar tradisional lengkap sih. Tinggal kitanya saja, berani gak ...
Delete#gerakanpasarbersih :)
ReplyDelete#yuks ^_^
Delete