Imlek tahun ini sunyi, tak seperti tahun lalu. Tahun lalu, menjelang tengah
malam, bunyi petasan dan kembang api ramai terdengar dari segala penjuru kota.
Walau saya senang karena malam itu tenang sekali namun saya bertanya-tanya
dalam hati, “Ada apa gerangan?” Tak biasanya sesunyi ini.
Saat suami saya berbelanja keperluan bungsu kami di sebuah toko, ia
berbincang-bincang dengan pemilik toko. Pergantian tahun baru Cina yang tenang
menjadi topiknya. Pemilik toko, sebut saja Hadi berkata bahwa, mereka takut
terjadi pengganyangan. Saat seorang calon kalah pada pemilihan gubernur
baru-baru ini ada yang melempari rumah-rumah di jalan Sulawesi – kawasan
pecinan di Makassar.
Siapa pun bisa jadi pelaku, belum tentu suruhan calon tersebut. Bisa jadi
si A, si B, C, E, dan seterusnya. Kita mengusutnya, bukanlah hal yang penting.
Yang penting di sini adalah kenyataan masih banyak orang yang mau diperbudak
oleh emosinya. Masih banyak orang yang diperbudak keakuannya, merasa lebih baik
dan lebih tinggi derajat sukunya daripada suku lain. Menyedihkan.
Perayaan Cap Go Meh pada tahun ini pun tak semeriah tahun lalu. Tahun lalu,
suami saya sempat menyaksikannya dan pulang membawa oleh-oleh ratusan foto yang
saya olah menjadi bahan untuk 4 tulisan di blog ini (Bissu
pun Berkarnaval - Kemeriahan Cap Go Meh (4), Atraksi
Sepak Raga - Kemeriahan Cap Go Meh (3), Pesta
Budaya - Kemeriahan Cap Go Meh (2), dan Karnaval
- Kemeriahan Cap Go Meh (1)).
Kemeriahan Cap Gomeh tahun 2012 |
Tahun lalu perayaannya berupa karnaval yang diselenggarakan sepanjang berkilo-kilometer
di jalan-jalan utama di Makassar yang diikuti berbagai elemen masyarakat di
Sulawesi Selatan. Tahun ini diselenggarakan di sebuah mal. Terlalu sederhana
dibanding perayaan tahun lalu. Sekali lagi alasannya: TAKUT.
Beberapa waktu sebelumnya, hawa Makassar panas. Ada kasus pembunuhan yang
melibatkan etnis Tionghoa. Sayangnya, reaksi banyak orang di Makassar sama
seperti di waktu-waktu lalu: membawa kasus ini sebagai kasus yang harus
dihadapi oleh dua buah suku yang saling berlawanan dengan kekerasan. Lagi-lagi,
menyedihkan.
Mudah-mudahan kelak, orang-orang ini bisa memahami bahwa di mana pun tanpa
pandang suku, ada orang baik dan orang jahat. Siapa pun yang berbuat jahat
harusnya diserahkan ke tangan yang berwajib, bukannya diselesaikan dengan
kebrutalan yang mengangkat fanatisme suku.
Apa yang dialami ibu saya pada akhir bulan Januari lalu patut direnungkan.
Pada bulan Desember, seorang kerabat menelepon Ibu, menanyakan apakah Ibu mau
ke Surabaya. Seorang kawan lama Ibu – sebut saja namanya koh Ali, seorang keturunan
Tionghoa berniat membiayai akomodasi sekitar 100 orang ke Surabaya dalam rangka
peresmian hotel barunya. Hotel miliknya itu yang kedua di Surabaya, merupakan
hotel kesekian di Indonesia.
Di tahun 1940-an, keluarga koh Ali bertetangga dengan oma saya di
Gorontalo. Ibu saya, beserta sebayanya yang rata-rata kerabat Ibu di kampung
Ipilo sehari-harinya bermain dengan koh Ali beserta saudara-saudaranya. Sanak
saudara koh Ali saat ini sudah banyak yang menikah dengan penduduk pribumi. Saya
percaya bagi koh Ali sendiri, sama seperti Ernest (stand up comedian) dan banyak orang keturunan Tionghoa lainnya, Indonesia
ada dalam dada mereka. Indonesia adalah tumpah darah mereka.
Ibu saya pernah bercerita tentang kebaikan orangtua koh Ali. Jika di rumah
Ibu hendak diselenggarakan sebuah acara, orangtua koh Ali tak segan-segan
membantu. Bahkan seng-seng baru miliknya diikhlaskan untuk dipakai keluarga Ibu
sepanjang acara. Indah sekali keberbaurann mereka.
Keberbauran itu terulang kembali di Surabaya. Ibu berangkat dari Makassar
beserta beberapa kerabat kami dengan pesawat. Yang lainnya terbang dari
Gorontalo, Jakarta, dan dari kota-kota lain di seluruh Indonesia. Setiap hari
mereka bercengkerama, bernostalgia akan masa-masa kecil tanpa peduli perbedaan
mereka. Secara kasat mata, siapa pun bisa melihat perbedaan dari wajah-wajah
mereka: ada tiga golongan besar yang berbaur di sana: orang-orang asli Gorontalo,
orang-orang Gorontalo keturunan Arab, dan orang-orang keturunan Tionghoa.
Setiap hari, selama seminggu keberbauran mereka, akan menjadi kisah yang
tak lekang dalam ingatan mereka. Ah, indah sekali. Berapa banyak orang sukses
yang seperti koh Ali ini yang mengundang 100 orang dari masa kecilnya tanpa
pilah-pilah suku untuk berbagi kebahagiaan dengannya?
Makassar, 21 Februari 2013
Silakan juga disimak:
Share :
.koh ali keren bngt ngundang semua teman kecilnya euy...semoga nanti kita termasuk orang sukses yang juga bermanfaat bagi yang lain ya mb'..#pengeen.. aamiin ;D
ReplyDeleteIya ... keren ya? :)
DeleteAamiin
Baik banget Koh Ali ya...
ReplyDeleteAku gak habis pikir mbak, sama yang berantem gara2 suku gitu :|
Sama, saya juga gak habis pikir, Na
Deletesaya teringat lagu lawas Rama Aiphama "Torang Samua Basudara", tapi terkadang fanatisme menghanguskan semua persaudaraan itu, bukan hanya untuk penduduk lokal, karena ada juga pendatang yang sangat kental fanatismenya...dan eksklusif,,tidak semua memang, dan hanya segelintir saja yang bersikap demikian, namun segelintir inilah yang merusak tatanan persaudaraan itu...sehingga bila ada kasus..maka bisa terjadi gesekan-gesekan yang membuat bara menjadi api, namun apapun itu kita harus menyadari,,bahwa semua hamba ALLAH pada hakikatnya sama asal mulanya, berasal dari anak cucu Adam, dan kemudian menyebar ke seluruh permukaan bumi...jadi memang benar..sejatinya Torang Samua Basudara...salam :-)
ReplyDeleteYa, nila setitik rusa susu sebelanga ya Pak. Yang segelintir itu benar2 merusak. Torang samua basudara - begitu juga istilah di kampung ibu saya :)
Deletehehe pengen ngeliat deh. Bosen soalnya klo liat karnaval yg biasa aja hehe..
ReplyDeleteunik2 juga tuh ya mb.
Unik sekali, boleh mampir di postingan yang 4 itu :)
Deletesayangnya di palopo setauku blm pnh diadkan karnaval cap gomeh -__-"
ReplyDeletepengen liad jugaaaaaa :D
Hanya ada di beberapa kota besar di Indonesia, Nhis :)
Deletebaca postingan ini jd terharu mb..alangkah indahnya kebersamaan tanpa pilih2 suku atopun etnis ya..
ReplyDeleteSo sweet mbak Enny :)
Deletedi jaman seperti ini, orang-orang yang berpikir kebenaran hanya datang pada seorang ustadz adalah bodoh!
ReplyDeletedi jaman seperti ini, orang-orang yang berpikir kebaikan hanya datang pada golongan tertentu adalah primitif!!
benar sekali bunda, lucu sekali kalau ada orang yang menyalahkan seseorang atau menjudge seseorang buruk hanya karena golongannya berbuat jahat/kesalahan.
Ya ampun.
Orang masih suka mencerna perkataan dengan melihat "pakaian" dari orang yang bicara. Padahal siapa pun bisa bicara kebenaran, tak peduli apa pakaiannya.
Deletebelom pernah liat perayaan cap go meh :-D
ReplyDeleteWiiiiiih rame banget ;-)
suka fotonya
Tahun lalu yang rame mbak. Tahun ini, sayangnya tidak :|
DeleteWaah... ramai ya, acara imlek nya :)
ReplyDeleteCap gomeh tahun lalu mbak :)
Deletecoba baca bukunya Agustinus Wibowo yang ketiga: Titik Nol atau yg sebelumnya: Garis Batas.
ReplyDeletedi situ banyak sekali renungan tentang perbedaan-perbedaan, tentang garis batas yg tercipta karena perbedaan suku, ras, agama dll.
bagus buat renungan
Ada "sebab2" yang disengaja di "masa lalu"kah? Setahu saya ada, kayaknya pernah baca di mana gitu ...
DeleteHmm .. Agustinus Wibowo ya? Boleh juga bukunya ...
sesungguhnya segala perbedaan fisik atau suku jangan di jadikan alasan untuk berselisih ya mbak. perbedaan sebenarnya justru indah manakala kita bisa menghargai nya.
ReplyDeleteIya mbak. Perbedaan itu indah. Perbedaan itu rahmat, sayang kalau dipertajam dan dijadikan alasan untuk berseteru
Deletebaru tau mbak kalo acara cap go meh samapi pawai seperti itu, jadi pengen ke makassar..
ReplyDeleteoh ya, pada imlek ane juga pergi ketempat orangtionghoa yang dikenal, dapet ampau dan kue bakul
Ada di beberapa kota besar di Indonesia selain Makassar koq :)
DeleteOya, dapat berapa duit tuh? Kirain anak2 saja yangd apat. Memangnya, usianya berapa sih? :)