Terlepas dari apakah kepatuhan mereka karena takut sanksi mistis yang bisa
menimpa ataukah karena kesadaran menjaga lingkungan, nilai-nilai yang mereka
pegang erat tetaplah menghasilkan tindakan arif terhadap lingkungan.
Secara tak sadar, apa yang mereka lakukan pada saat ini
merupakan tindakan adaptasi terhadap perubahan iklim yang sedang terjadi.
Seperti yang kita ketahui, efek rumah kaca menyebabkan suhu bumi makin panas,
dan menimbulkan berbagai macam dampak seperti makin meningkatnya permukaan air
laut, semakin parahnya bencana banjir di mana-mana akibat cuaca ekstrim, dan
lain-lain sebagainya (seperti yang saya paparkan dalam tulisan berjudul Bersinergi
dalam Adaptasi Perubahan Iklim).
Definisi adaptasi dalam hal ini
adalah: bentuk penyesuaian
dalam sistem alam atau manusia sebagai respon terhadap rangsangan iklim aktual
atau yang akan terjadi atau efeknya untuk mengurangi bahayanya atau
mengeksploitasi kemungkinan manfaatnya. (IPCC 2001, Annex B)
Banyak di antara aturan adat itu mengatur hubungan mereka dengan alam.
Sebut saja masyarakat adat adat Karampuang, di desa Tompo Bulu, kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Ada larangan
mengambil kayu ataupun rotan dari dalah hutan adat tanpa izin dari Dewan Adat.
Ada pula larangan untuk mengambil madu pada saat-saat tertentu, yang jika
dihubung-hubungkan pada masa itu kegiatan mengambil madu bisa mengganggu
kedamaian lebah dan berfek kepada terganggunya proses penyerbukan tanaman yang
memerlukan perantaraan lebah.
Demikian pula di Enrekang, masyarakat
Massenrengpulu dilarang sembarangan mencabut ranting. Di Dongi,
Sorowako, sumber mata airnya amat jernih. Masyarakatnya masih memelihara hutan
yang masih sangat alami.
Di kabupaten Soppeng, di sekitar Danau
Tempe, eksploitasi ikan di danau dilakukan dengan mengadakan pembagian area
yang diumumkan sebelumnya lelang penentuannya. Ada pula waktu-waktu yang
ditetapkan. Tak sepanjang tahun, ada waktu-waktu di mana semua kegiatan eksploitasi
ditiadakan, memberi kesempatan bagi ikan-ikan untuk berkembang biak.
Masyarakat adat Kajang, Bulukumba memiliki
pesan-pesang moral (Pasang ri Kajang)
yang terpelihara sejak zaman dulu, seperti: jagai
linoa lollong bonena, kammaya tompoa langika, siagang rupa tauwa, siagang
boronga (peliharalah bumi beserta isinya, demikian pula langit, demikian
pula manusia, demikian pula hutan).
Ada pula pesan yang berbunyi “Dijadikan bumi
beserta isinya, untuk dimanfaatkan oleh manusia yang hidup di bumi, tetapi
ingatlah apabila bumi marah kepadamu, tak ada yang dapat mencegahnya.”
Pesan lain berbunyi punna a’danggangmo pamarentayya, panra’mintu lamung-lamunga, panra’
tommi pa’rasanganga, siurang tu ta’ balaya, battu tommi pa’sihu-sihu
sibilangngang patampulo. Artinya: apabila pemerintah sudah berdagang,
maka binasalah tanaman, binasalah negeri, serta rakyat banyak, dan muncullah
seratus empat puluh jenis petaka.
Untungnya masih ada penghargaan dari berbagai
pihak dalam melestarikan upaya masyarakat seperti ini sehingga mereka, yang
bisa dibilang “masih” terasing ini tak merasakan dampak dari bencana banjir
yang bulan Januari lalu melanda masyarakat bersama 9 kabupaten lainnya di
Sulawesi Selatan.
Bukan lagi rahasia bila pembangunan
besar-besaran di kota seperti Makassar banyak mengabaikan etika lingkungan[i],
tengok saja ruang hijau kota (taman kota) yang amat minim di kota ini, tak
sebanding dengan pertumbuhan ruko dan mal. Tindakan pemeliharaan pun tak
maksimal, contohnya pemeliharaan kanal yang seharusnya bisa mencegah banjir tak
berarti apa-apa karena mengalami pendangkalan yang parah.
Lihatlah kemegahan mal bawah tanah di bawah lapangan Karebosi - alun-alun kota Makassar. Memang lapangan Karebosi tetap hijau tetapi di bawahnya, areal resapan air jauh berkurang ribuan meter kubik karena terganti dengan bangunan (mal) besar berbahan beton, termasuk "terowongan" penghubung ke mal di seberangnya.
Lihatlah kemegahan mal bawah tanah di bawah lapangan Karebosi - alun-alun kota Makassar. Memang lapangan Karebosi tetap hijau tetapi di bawahnya, areal resapan air jauh berkurang ribuan meter kubik karena terganti dengan bangunan (mal) besar berbahan beton, termasuk "terowongan" penghubung ke mal di seberangnya.
Setitik harapan muncul dalam hati saya ketika
membaca sebuah berita[ii]
baru-baru ini. Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin berkata, “Ke depannya, pemkot Makassar akan berupaya mengoptimalkan beberapa kawasan sumber daya
alam yang sudah ada, dan mengembangkan kawasan baru dengan harapan kawasan itu
mampu menjadi contoh yang berorientasi pada perbaikan lingkungan seiring dengan
konsep tata ruang Makassar. Oleh karena itu, dokumen analisis perubahan iklim
ini akan menjadi pendukung konsep itu.”
“Janji” ini diungkapkannya ketika menerima kunjungan tim
analisis tiga lembaga badan dunia (UNDP, UNEP-Roap, dan
UH-Habitat), di ruang kerjanya, pada hari Selasa, 12 Februari 2013. Selama di Makassar, ketiga lembaga dunia itu melakukan penelitian dan
kajian analisis di danau Balantonjong dan sungai Tallo.
Ilham optimis jika dokumen analisis atau penilaian kerentanan terhadap dampak perubahan
iklim sudah diterimanya maka dalam waktu dekat Kota Makassar akan menjadi
contoh daerah penanggulangan resiko perubahan iklim di Indonesia.
Walau kelihatannya - dari bencana yang sudah
melanda hal ini agak terlambat, setidaknya kita harus menyambut dengan tangan
terbuka upaya pemerintah. Apalagi adaptasi bukanlah aktivitas yang berdiri sendiri,
namun perlu diintegrasikan ke dalam pembangunan berkelanjutan yang utuh. Barangkali saja Makassar punya langkah “kecepatan tinggi” dalam
mengimplementasikan adaptasi terhadap perubahan iklim. Semoga.
Berbagai pihak telah cukup lama mengupayakan
dengan serius tindakan adaptasi terhadap perubahan iklim. Karena efeknya
mengglobal, memang perlu gerakan dari berbagai arah, apalagi PBB telah mewadahi terbentuknya kesepakatan banyak negara dalam sebuah konvensi (United Nations
Framework Convention on Climate Change – UNFCCC) di Rio de Janeiro, Brasil
pada tahun 1992.
Banyak individu dan organisasi independen yang telah mengusahakannya, dengan atau tanpa dukungan pemerintah. Sebut saja Oxfam. Oxfam adalah konfederasi Internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan.
Banyak individu dan organisasi independen yang telah mengusahakannya, dengan atau tanpa dukungan pemerintah. Sebut saja Oxfam. Oxfam adalah konfederasi Internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan.
Yah, agak terlambat tak mengapa, daripada tidak
sama sekali. Kami tunggu janjinya pak walikota!
Makassar, 15 Februari 2013
Tulisan ini diikutkan dalam lomba blog Oxfam yang bertema “ Masyarakat dan Perubahan Iklim “
Referensi:
- http://green.kompasiana.com/iklim/2011/05/03/suku-baduy-air-romantisme-kearifan-lokal-sepanjang-masa-361753.html
- http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/31082126.pdf (dalam artikel berjudul Hurupu’ Sulapa’ Eppa, Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal yang ditulis oleh M. Asar Said Mahbud)
- http://www.streamindonesia.org/resource-center/adaptasi-perubahan-iklim?language=id
- http://cakrawalaberita.com/metro-makassar/pemkot-segera-miliki-dokumen-perubahan-iklim
- Buku kumpulan tulisan “Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan”, penyunting Andi M. Akhmar Syarifuddin, Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sulawesi, Maluku, dan Papua Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI bekerjasama dengan Masagena Press, 2007.
Silakan disimak juga:
[i]
Menurut
Keraf (2005) Etika Lingkungan adalah disiplin ilmu yang berbicara mengenai
norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan
alam serta nilai dan prinsip norma yang menjiwai perilaku manusia dalam
berhubungan dengan alam tersebut, dinukil dari artikel berjudul Hurupu’ Sulapa’ Eppa, Etika Lingkungan
dan Kearifan Lokal yang ditulis oleh M. Asar Said Mahbud)
[ii]
Selengkapnya, baca di: http://cakrawalaberita.com/metro-makassar/pemkot-segera-miliki-dokumen-perubahan-iklim
Share :
Stunning tulisannya kak ... :)
ReplyDeleteBtw semoga janji pak wali bisa segera terealisasi dan makassar jadi 'hijau' bersemi yaa :)
Sukses lombanyaaa
Stunning? Iyakah?
DeleteAamiin, semoga. Sy berharapnya sih yang diperhatikan seluruh kawasan kota ini, bukan hanya beberapa kawasan ...
heh? di enrekang juga ada yah? wah, sya baru tau mbak. maklum di enrekangnya "saya", masyarakatnya sudah heterogen, manusianya juga sudah kompleks. jadinya tergerus sedikit demi sedikit.
ReplyDeleteIya ada. COba deh tanya2, trus nanti bikin reportasenya kalau sudah jalan2 di sana. Dan, jangan lupa colek saya kalo sudah posting ya Aci ... :)
Deleteserba susah sekarang ini ya mbak, untuk suku yang dipedalaman itu malah bagus bisa menjaga alam... semua memang berhubungan jadi cuaca sekarang ini susah ditebak, dan para petani jadi susah...
ReplyDeleteyang hidup di pedasaan masih mengalami kemudahan mencari air, tapi suatu saat nanti saat industri mulai masuk semua akan berubah...
Mudah2an makin banyak yang memperjuangkan kearifan di daerah2 terpencil hingga tidak perlu dimasuki industri ya mas Agus
Deletequote nya bener2 ngena banget ya mbak
ReplyDeleteIya mbak. KOq kebetulan ya nyari referensi tulisan ini dapat pesan kuno itu ... dan kebetulan pula, saya baru baca ttg janji pemerintah itu ...
Deleteitu pak walinya kalau lupa harus di ingetin, karena penghijauan selain sebagai paru papru kota juga pemanis tem[at obyek obyek vital pariwisata khususnya, nice share
ReplyDeleteApalagi Makassar mau dijadikan kota dunia. Terimakasih mas. Postingan ini utk mengingatkan juga
Deletebagus tulisannya
ReplyDeletebikin makin sadar tentang "kesehatan" bumi.
Semoga kita semua makin sadar ya mbak
Deletetulisannya inspiratif mbak, hebat, Mampu menyadarkan saya untuk peduli lingkungan. Hal kecil yang sudah terbiasa saya lakukan ya buang sampah pada tempatnya.
ReplyDeleteKebanyakan yang belum sadar dengan lingkungan adalah masyrakat menengah, kalo yang atas udah sadar, cuma ngga dipraktikkan semata-mata mengejar kepentingan komersial
Yang pertama kali yang harus diusahakan sebaik mungkin ya membuang sampah pada tempatnya ya mas.
DeleteKalangan bawah memang yang masih banyak yang tidak peduli soal sampah padahal mereka sendiri yang kena dampaknya (dengan cepat dan langsung). Kalangan atas, masih ada saja yang buang sampah tidak pada tempatnya.
As usual, tulisan2 mbak Niar selalu padat, berisi dan penuh makna. Tulisannya keren mbak, semoga menang :)
ReplyDeleteAduh mbak Ecky, biasa saja mbak. Mbak Ecky membuat saya kembang kempis nih :D
DeleteAamiin. Ikutan yuk
oh masih menjabat walitota toh... :)
ReplyDeleteternyata masih ada janjinya yang belum terpenuhi, tagih terus bro :)
Masih dong, kan melanjutkan masa jabatannya :D
DeleteAyuk ditagih sama2 :)