Saat tiba, sudah ada mbak Emi di beranda. Seseorang sedang membersihkan
buku-buku di rak-rak buku yang terletak di beranda. Rupanya kesatuan beberapa
rak di beranda inilah perbendaharaan Kampung Buku. Kampung Buku adalah perpustakaan yang menjadi ruang bersama oleh
sejumlah komunitas penulis, perajut, peneliti, penggiat seni rupa, mahasiswa,
dan relawan berbagai hal yang berupaya menuju kebaikan[i].
Seorang anak perempuan balita mendatangi kami dan menegur, “Namanya siapa?”
Saya mengulurkan tangan, ia menyambutnya.
“Tante Niar,” jawab saya.
“Namanya siapa?” saya balik bertanya.
“Yasmin Isobel – Bobel,” jawab gadis kecil itu. Belakangan baru saya tahu,
gadis cilik yang disapa Bobel ini adalah putri dari pak Jimpe.
Sumber: http://penerbit-ininnawa.blogspot.com |
Saya dan mbak Emi berbincang-bincang selama beberapa menit hingga seorang
perempuan keluar dari dalam rumah.
“Pak Jimpe, ada?” saya bertanya padanya.
“Ada. Dia kan tinggal di sini,” jawabnya.
Oalaaah, baru tahu. Saya kira belum nyampe.
Tak lama kemudian pak Jimpe keluar dan menemani kami ngobrol.
Obrolan berkisar seputar dunia penerbitan di Makassar, aktivitas Ininnawa,
dan Kampung Buku. Selama kami ngobrol, teman-teman IIDN yang lain berdatangan.
Walaupun Makassar merupakan kota terbesar di Indonesia timur, penerbitan
belum menjadi bisnis yang menjanjikan seperti di Jakarta atau di kota-kota
besar lainnya di pulau Jawa. Bila di Jawa, sudah ada orang-orang yang
menjajakan buku (bacaan) di dalam bis. Di Makassar, hal itu masih merupakan
sesuatu yang aneh.
Terkadang, keluarga kita sendiri bisa menjauhkan kita dari buku. Misalnya saja ada ibu yang mengatakan kepada
anaknya, “Untuk apa buang-buang uang beli buku!” atau suami yang mengatakan hal
serupa kepada istrinya.
Sumber: http://penerbit-ininnawa.blogspot.com |
Sumber: http://penerbit-ininnawa.blogspot.com |
Bila dipersentasikan, aktivitas Ininnawa adalah: 60% idealisme dan 40% berdagang.
Pak Jimpe sampai pernah melakoni hidup 6 tahun tanpa gaji, guna membesarkan
Inninawa. Membangun Inninawa seperti membentuk sebuah budaya. Karena penerbitan
buku – budaya ini belumlah berjaya di Makassar.
Atas kerja keras orang-orang yang seidealisme dan support dari para pemerhati, secara perlahan Ininnawa tumbuh. Naskah
buku Identitas dalam Kekuasaan buah karya Imam Mujahidin Fahmid misalnya,
dahulu sudah sempat masuk dapur penerbit besar. Atas support dari pak Darmawan Salman – seorang guru besar di UNHAS,
naskah itu ditarik dan dimasukkan ke Ininnawa, atas dasar keyakinan bahwa
Makassar – Ininnawa khususnya bisa tonji
menerbitkan buku.
Saat ini sudah ada sekitar 30-an buku yang diterbitkan, umumnya berkisar
pada topik kebudayaan Bugis/Makassar. Inninawa konsisten menerbitkan buku yang
sudah di-list dan terjemahan, bila
bukan termasuk yang sudah mereka daftar bisa juga hanya saja dikenakan sejumlah
biaya. Agak berbeda dengan penerbit-penerbit lain (penerbit mayor) yang
bertebaran di pulau Jawa yang menerima segala macam genre naskah dan tidak
mengenakan biaya apapun kepada naskah yang lolos untuk dibukukan. Sah-sah saja,
inilah “warna” Ininnawa. Dengan idealisme ia mampu bertahan dan menghidupi
dirinya. Warna ini, juga bagian dari idealismenya.
Sumber: http://penerbit-ininnawa.blogspot.com |
Buku-buku yang telah diterbitkan Ininnawa, antara lain:
- Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis
- Perkawinan Bugis: Refleksi Status Sosial dan Budaya di Baliknya
- Diaspora Bugis
- Kuasa Berkat dari Belantara dan Langit: Struktur Transformasi Agama Orang Toraja di Mamasa, Sulawesi Barat
- Kekuasaan Raja, Syeikh, dan Ambtenaar: Kekuasaan Tradisional dan Pengetahuan Simbolik Makassar.
Bila hendak menjadi anggota di Kampung Buku, dikenakan biaya registrasi Rp.
50.000. Selanjutnya ada aturan mengenai jumlah buku yang bisa dipinjam, jangka
waktunya, dan dendanya bila terlambat mengembalikan. Uang registrasi sejumlah
Rp. 50.000 tadi akan dibelikan buku lagi, untuk melengkapi koleksi Kampung
Buku.
Menjelang pulang, teman-teman bertanya-tanya pada istri pak Jimpe mengenai
aktivitas merajut
yang diselenggarakan setiap hari Ahad siang di Kampung Buku. Teman-terman sepertinya
tertarik, ada yang berencana hendak mengikuti kegiatan di hari Ahad keesokan
harinya.
Begitulah sedikit cerita tentang kunjungan kami di Kampung Buku, kawan.
Pernahkan ke perusahaan penerbitan di kotamu?
Maassar, 8 Februari 2013
Catatan:
Untuk lebih jelasnya mengenai Kampung Buku dan Ininnawa, bisa dibuka-buka
link berikut:
http://tanahindie.net/?cat=11
http://koleksi-perkampunganbuku.blogspot.com
http://penerbit-ininnawa.blogspot.com/
http://koleksi-perkampunganbuku.blogspot.com
http://penerbit-ininnawa.blogspot.com/
Facebook
Kampung Buku
Silakan juga dibaca:
[i]
Seperti yang tertera di facebook
Kampung Buku (https://www.facebook.com/pages/Kampung-Buku/130695786998889?sk=info)
Share :
luar biasa kalo dipikir" perjuangannya untuk sebuah kerja keras untuk membesarkan sebuah penerbitan yang pada saat itu mungkin blm populer
ReplyDeleteYup, tanpa idealisme tentu akan tumbang
DeleteIya Pak, untuk menghidupkan penerbit di sini, harus seperti itu dulu :)
ReplyDeleteperjuangan yang membuahkan hasil
ReplyDeleteALhamdulillah. Mudah2an ttp istiqamah
Deleteakhirnya ... huft bisa juga komen dimarih, dari kemaren lolos trrus neh mba ;D #duhkok oot seh
ReplyDeleteYaah komen OOT .. untung gak frustrasi ya mas he3
DeleteKalau bisa menumbuhkan minat baca disana, menulis dan menjual buku bacaan bisa menjadi bisnis yang menjanjikan seperti di kota Jakarta
ReplyDeleteSaya belum pernah, Mugniar...jadi nggak bisa berbagi cerita deh...
ReplyDeletesaya juga belum pernah mba, ke penerbit & semacem'a soalnya memang bukan penulis & tidak punya bakat menulis
ReplyDeletetp ngomong2, itu buku berat2 banget pasti isi'a,udah ketahuan dari cover + judul buku'a :)
wah..bapak Anwar Rahman..agak lucu saya rasa
ReplyDeletehihihii