Kenaikan muka air laut diproyeksikan 9,88 cm pada tahun 2100. Akan terjadi pula
peningkatan frekuensi kejadian
iklim yang ekstrim seperti gelombang panas, curah hujan yang
berlebihan, dan badai secara lebih intens.
Estimasi WHO terhadap trend
pemanasan dan peningkatan curah hujan akibat perubahan
iklim selama 30 tahun terakhir telah menyebabkan kerugian nyawa sebanyak 160.000 orang dan sekitar 77.000 kematian
terjadi di wilayah Asia Tenggara.
Berdasarkan data observasi dan
model di Indonesia, kenaikan tinggi
muka laut pada tahun 2030 berkisar antara 12cm - 20 cm. Tinggi muka laut berpotensi naik lebih dari 1m
pada tahun 2100. Juga akan terjadi kenaikan suhu 2
– 2,5 derajat Celsius pada tahun 2100. Kenaikan suhu
permukaan laut 0.2 oC/dekade. Selain itu, kenaikan curah hujan di Indonesia diproyeksikan sebesar 5 – 10% pada tahun 2100.
Untuk iklim yang berlangsung konstan, tentunya tak ada masalah. Namun dengan terjadinya perubahan iklim
seperti ini maka perlu berbagai usaha
untuk memperkecil ataupun mengatasi dampaknya.
Perubahan Iklim
Sebagian panas yang diterima bumi dari matahari akan terperangkap di
atmosfer akibat adanya beberapa jenis gas. Gas-gas yang menangkap panas tersebut dikenal sebagai gas rumah kaca (GRK) karena cara kerjanya yang seperti rumah kaca (green house). Seperti yang kita ketahui, di dalam green house suhunya diatur agar cukup
hangat sehingga tanaman dapat tumbuh. Terperangkapnya panas oleh gas-gas di atmosfer dikenal
dengan istilah “efek rumah kaca”. Sejatinya, efek rumah
kaca diperlukan agar permukaan bumi cukup hangat untuk didiami. Namun aktivitas manusia membuat
konsentrasi GRK semakin tinggi dan menyebabkan
suhu permukaan bumi semakin panas sehingga terjadilah perubahan iklim.
Aktivitas Manusia yang Mampu Mengubah Iklim
Emisi dari pembangkit listrik dan
kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar yang bersumber
dari fosil – seperti minyak bumi
dan batubara, adalah sumber utama
karbondioksida (CO2). CO2 merupakan GRK yang memiliki pengaruh terbesar terhadap terjadinya perubahan iklim. CO2 juga banyak terkandung pada pohon sehingga kebakaran dan penebangan hutan menyebabkan meningkatnya
konsentrasi GRK.
Pemakaian pupuk buatan pada pertanian menghasilkan
nitro oksida (N2O). Selain itu, pembusukan pakan ternak, kotoran hewan, dan
sampah organik akan melepaskan gas metana (CH4). Proses serupa terjadi
pada tanah yang
tergenang air, seperti daerah rawa-rawa dan persawahan. N2O dan CH4
juga termasuk ke dalam golongan GRK.
Penggunaan
gas-gas untuk freon AC dan campuran produk kaleng semprot serta proses produksi beberapa industri, terutama peralatan listrik, juga
menghasilkan GRK.
Dampak Perubahan Iklim
Laju pertambahan penduduk yang tinggi dan modernisasi makin
meningkatkan emisi karbon dan sekaligus mendorong
eksploitasi hasil laut yang tidak ramah lingkungan sehingga menyebabkan
rusaknya terumbu karang makin meluas dan penggundulan hutan dan penebangan pohon yang
berperan sebagai penyerap karbon yang diemisikan ke atmosfer. Dampaknya adalah:
Banjir dan tanah longsor di beberapa tempat di Sulawesi Selatan yang terjadi Januari lalu Sumber: http://supirpete2.com |
- Harga pangan meningkat karena hasil produksi yang menurun.
- Siklus yang tidak sehat karena peningkatan suhu ditambah dengan populasi global akan menaikkan permintaan energi sehingga memicu lebih banyak lagi emisi. Sedangkan curah hujan, diproyeksikan akan menurun sebanyak 40 persen di beberapa lokasi.
- Rusaknya infrastruktur setelah banjir dan bencana tanah longsor.
- Krisis air bersih karena penyedotan besar-besaran terhadap sumber air yang ada akibat meningkatnya jumlah penduduk/permintaan air.
- Meningkatnya penyakit pernapasan, karena menurunnya fungsi dari paru-paru. Juga demam berdarah, diare, malaria dan leptospirosis.
- Bencana hidrologi, misalnya meningkatnya badai dan cuaca ekstrim.
- Meningkatnya permukaan air laut menyebabkan beberapa wilayah kehilangan daratan dan beberapa pulau tenggelam, juga mengakibatkan kurangnya daya tahan pesisir pantai sehingga rentan tehadap erosi.
- Terjadi pergeseran musim karena adanya perubahan tekanan dan suhu udara. Alhasil musim kemarau berlangsung lama mengakibatkan bencana kekeringan dan penggurunan di beberapa tempat. Sebaliknya musim hujan berlangsung dalam waktu yang singkat dengan intensitas curah hujan lebih tinggi, mengakibatkan banjir dan tanah longsor di tempat-tempat lain.
- Hilangnya berbagai jenis keaneragaman hayati (seperti terumbu karang) karena tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan suhu bumi yang tidak menentu.
Video banjir di Maros, Sulawesi Selatan, Januari lalu
Sumber: www.youtube.com/watch?v=aLvro8qUKxM
Yang Bisa Dilakukan untuk Mengatasi Perubahan Iklim: Mitigasi dan Adaptasi
Mitigasi adalah mengurangi emisi GRK hasil aktivitas manusia di atmosfer. Misalnya dengan
menggunakan sumber energi yang lebih bersih (seperti beralih dari batu bara ke
gas), menggunakan biomassa, atau sumber energi terbarukan.
Ada pula usaha mitigasi secara global yaitu
melalui Konvensi Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on
Climate Change – UNFCCC) pada KTT Bumi tentang lingkungan dan pembangunan (UN
Conferenced on Environment & Development – UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil
pada tahun 1992.
Setelah itu dilanjutkan dengan Protokol Kyoto (amandemen
terhadap UNFCCC, pada tahun 1997), dan yang terakhir Doha
Climate Gateway (kelanjutan Protokol Kyoto periode komitmen kedua pada bulan Desember 2012).
Adaptasi adalah mempersiapkan diri dan hidup dengan berbagai perubahan akibat perubahan iklim, baik yang telah terjadi
maupun mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi.
Pemerintah dalam Menghadapi Perubahan Iklim
Pada
bulan Juli 2008, pemerintah Indonesia mendirikan Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI) berdasarkan Keputusan Presiden no. 48 tahun 2008 sebagai institusi utama
yang bergerak dalam perumusan dan koordinasi kebijakan perubahan iklim. DNPI diketuai oleh
Presiden sendiri. Dalam kesehariannya, DNPI dipimpin oleh Rachmat Witoelar
(mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup) dan beranggotakan 16 Menteri.
Kegiatan
DNPI ditunjang oleh sekretariat dan 7 kelompok kerja yang masing-masing
bergerak dalam bidang (1) Mitigasi, (2) Adaptasi, (3) Transfer Teknologi,
(4) Mekanisme Pembiayaan, (5)Penggunaan Lahan, Perubahan Fungsi lahan dan
Kehutanan (LULUCF), (6) Program pasca 2012, (7) Dasar Keilmuan dan
Inventarisasi Data Iklim.
Kelompok
kerja bertugas untuk mengumpulkan dan melakukan analisa data serta memberikan
masukan kebijakan dan menyiapkan respon pemerintah atas berbagai isu perubahan
iklim. Keanggotaannya terdiri atas pakar dan penggiat dari berbagai sektor,
baik dari instansi pemerintah, swasta maupun LSM. DNPI berfokus pada reformasi koordinasi di kalangan
kementerian dan lembaga sektoral yang relevan, untuk mengutamakan isu perubahan
iklim.
Adaptasi Perubahan Iklim dalam Kearifan Lokal
Indonesia terdiri atas beragam komponen
masyarakat yang memiliki kearifan lokal yang masih terjaga hingga saat ini. Ada
larangan yang harus dipatuhi, siapa yang melanggarnya akan dikenakan sanksi. Kearifan
lokal yang dimiliki ini secara tidak langsung berdampak kepada kesejahteraan
lingkungan.
Sebagai masyarakat modern di luar komponen
masyarakat tersebut, kita perlu meninjaunya kembali dan menirunya dalam
keseharian kita.
Beberapa contoh komponen masyarakat yang masih
menjunjung tinggi kearifan lokal:
Komunitas adat Karampuang, desa Tompo Bulu, kabupaten Sinjai, Sulawesi
Selatan yang masih memelihara hutan adat Karampuang.
Dalam masyarakat ini berlaku beberapa ajaran bersifat
kearifan. Salah satunya adalah: “Aja
muala aju ripasanre taniya iko pasanreki. Aja to muala hilare risape’ taniya
iko sapeki.” Artinya: “Jangan mengambil kayu yang sandar bila bukan engkau
yang menyandarkannya. Jangan pula mengambil rotan yang terpotong bila bukan
engkau yang memotongnya.”
Maksud larangan ini adalah: setiap warga sekitar
hutan adat Karampuang dilarang mengambil kayu atau rotan tanpa seizin Dewan
Adat. Segala yang tumbuh dalam hutan merupakan milik adat sehingga segala
kegiatan harus seizin atau diputuskan melalui proses musyawarah adat.
Kelompok-kelompok masyarakat di pulau Selayar, Sulawesi Selatan yang
memelihara lingkungan perairan.
Di desa Appatana, pada suatu masa pernah ada
eksploitasi yang merusak lingkungan. Terdapat kerusakan terumbu karang dan
biota lainnya sehingga hasil tangkapan nelayan berkurang. Akhirnya para nelayan
menyadari untuk menerapkan kembali kearifan lokal yang pernah mereka miliki di
masa lalu.
Maka ada larangan menangkap ikan pada wilayah
tertentu kecuali seizin pemerintah dusun/desa. Selain itu nelayan dilarang
memakai bahan peledak atau penyelaman dengan menggunakan kompressor. Jika
melanggar, ada sanksi pembakaran kapal dan tidak diberi izin untuk kembali
menangkap ikan.
Di desa Layolo, ada pranata yang menentukan Taka
Sasamata sebagai DPL bersama 3 desa sekitar yang hanya boleh dikelola bila yang
bersangkutan mendapat izin dari pemerintah atau desa setempat pada musim barat.
Pada wilayah yang dilindungi hanya boleh menggunakan peralatan yang ramah
lingkungan seperti pancing, jaring rawe, dan pukat maroami.
Khusus nelayan teripang, tidak boleh mengambil
teripang yang dalam keadaan berdiri karena konon “bukan teripang biasa”.
Logikanya adalah, teripang yang akan melakukan pemijahan (melepaskan telur)
akan berdiri dengan posisi lubang anus pada bagian atas.
Jagung Berusia 18 Tahun di Rongi
Rongi adalah sebuah desa di pulau Buton, Sulawesi
Tenggara. Masyarakatnya memilki kebiasaan turun-temurun dalam menyimpan jagung
untuk jangka waktu lama. Seorang tokoh masyarakat bersama Haruddin bahkan
menuimpan biji jagung ketika anak tertuanya belum lahir dan masih awet di dalam
gudang penyimpanannya hingga anaknya berusia 18 tahun, dengan rasa yang tidak
berubah.
Ini karena mereka memiliki kebiasaan menyimpan
jangung di lumbung yang terletak di langit-langit rumah mereka. Jagung simpanan
mereka “terasapi dengan sendirinya” setiap hari karena terkena asap dapur yang
berada tepat di bawah lumbung.
Padi gunung yang mereka tanam pun bisa bertahan
lama. Padi yang disimpan di bawah rumah mereka tetap berada dalam
batang-batangnya dan diikat dalam ukuran tertentu. Padi yang masih dalam bentuk
gabah, masih berkulit tahan terhadap kutu yang biasa menyerangnya. Juga tahan
terhadap cuaca dan binatang pengganggu lainnya karena ditutup rapat-rapat
dengan kain.
Saat kelaparan hebat menyerang kesultanan Buton pada
suatu masa kemarau panjang, seluruh daerah menderita kelaparan kecuali Rongi.
Warga dari desa-desa lain pergi ke Rongi untuk menukarkan barang-barang mereka
dengan bahan makanan simpanan masyarakat Rongi.
Biota Langka di Tanimbar Kei
Di pulau kecil Tanimbar Kei, ada beberapa
Kelompok Pelestari Kampung yang berdedikasi tinggi dalam menjaga kelestarian alam
dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat dan petinggi adat di sana.
Perpaduan aturan adat (disebut sasi)
dan pendekatan adaptasi membuat populasi trochus meningkat pesat.
Ada pula pemberdayaan ekonomi alternatif seperti
pengelolaan rumput laut, kini amat berkembang. Di kampung Ohoiren, populasi
biota laut langka seperti sea cucumbers dan trochus turut meningkat dengan
adanya sasi.
Adaptasi Perubahan Iklim yang Diusung Lembaga Independen
Lembaga-lembaga independen pun tergerak untuk
melakukan usaha mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim. Di antaranya:
Oxfam
Oxfam adalah konfederasi Internasional dari
tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari
sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari
ketidakadilan akibat kemiskinan
Oxfam menangani
masalah peningkatan jumlah kekeringan dan banjir dengan sangat serius dalam
beberapa tahun terakhir. Oxfam juga membantu masyarakat miskin untuk
beradaptasi, seperti melalui teknik-teknik yang lebih baik menyangkut
pertahanan terhadap banjir atau kekeringan. Contohnya, ketika tsunami dan gempa mengguncang Aceh dan Nias, Oxfam terlibat dalam pemberdayaan perempuan
BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia)
BaKTI adalah sebuah organisasi yang mengumpulkan
dan menyebarkan informasi tentang program dan bantuan untuk pembangunan di KTI
(meliputi 12 provinsi dalam wilayah Maluku, Nusa Tenggara, Papua, dan
Sulawesi). Hal ini sangat membantu para pelaku pembangunan dalam mengefektifkan
pekerjaan mereka.
Salah satu dari peran-peran BaKTI dalam adaptasi
perubahan iklim adalah dengan memprakarsai Diskusi Regional Forum KTI di Lombok
NTB pada tanggal 17 – 18 Oktober 2011. Dengan dukungan Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Pengembangan Daerah Tertinggal, Dewan Nasional Perubahan
Iklim, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kompas, dan beberapa mitra pembangunan
internasional, Diskusi Regional tahunan ini mengusung tema besar “Adaptasi
Terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil di Kawasan Timur Indonesia”.
Kegiatan ini dihadiri unsur pemerintah, aktivis LSM, akademisi, dan mitra donor
pembangunan.
Diskusi ini menghasilkan 5 tawaran dan solusi
untuk tantangan pembangunan yang terkait dengan adaptasi, yaitu:
- Perencanaan pembangunan yang lebih komprehensif, terpadu, dan berkelanjutan, dengan tidak melupakan kearifan lokal. Kebijakan yang diimplementasikan hendaknya berpihak kepada masyarakat pesisir serta memastikan adanya sinergi antara program dan anggaran pemerintah, lembaga mitra internasional, serta masyarakat.
- Mendorong pulau-pulau yang berdekatan untuk bekerjasama dan saling menguatkan, dengan mengandalkan produk dan kelebihan komparatif yang dimiliki oleh masing-masing pulau. Kerjasama ini merupakan permulaan dari gerakan kemandirian pulau yang diharapkan mendorong pulau-pulau lain untuk melakukan hal serupa.
- Kerawanan pangan hendaknya dilihat tidak dengan hanya menekankan beras sebagai satu-satunya komoditi pangan tetapi mendorong konsumsi komoditi-komoditi pangan lainnya yang sesuai dengan budaya, sejarah, dan kondisi setempat.
- Mendorong promosi dan replikasi 12 inisiatif cerdas yang diangkat lewat Diskusi Regional ini, yang merupakan tawaran solusi untuk tantangan di bidang penyediaan air bersih, penyediaan listrik, ketahanan pangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta pendidikan lingkungan hidup, ke berbagai wilayah KTI dan tingkat nasional.
- Mendukung rencana strategi nasional untuk pembangunan di kawasan daerah tertinggal, pesisir, dan pulau-pulau kecil di KTI yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Pengembangan Daerah Tertinggal, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Dewan Nasional Perubahan Iklim, melalui upaya-upaya adaptasi yang diangkat dalam Diskusi Regional ini.
Adaptasi Perubahan Iklim Oleh Perorangan
Beberapa orang melakukan usaha sendiri dalam menyelamatkan lingkungan. Di antaranya:
Kamir R. Brata (Bogor)
Peneliti Institut Pertanian Bogor sekaligus staf
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan ini menemukan fakta bahwa lubang
serapan biopori (LRB) mampu mencegah banjir. Biopori adalah
lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk akibat berbagai aktivitas organisma
di dalamnya seperti cacing, perakaran tanaman, rayap, dan fauna tanah lainnya.
Lubang-lubang yang terbentuk akan terisi udara dan akan menjadi tempat
berlalunya air di dalam tanah.
Caranya dengan membuat lubang-lubang di tanah
dengan kedalaman, lebar, dan jumlah tertentu dengan menggunakan alat bor. Lalu
lubang-lubang tersebut diisi dengan sampah organik. Sampah organik ini nantinya
akan menjadi sumber energi bagi organisme yang berada di dalam tanah sehingga
aktivitas mereka meningkat yang akan berimplikasi kepada semakin banyaknya
lubang biopori. Lubang-lubang biopori ini berfungsi sebagai lubang peresapan
air yang dapat membantu mengurangi, bahkan mencegah banjir.
Walaupun ide ini belum ditanggapi secara serius
oleh pemerintah, beberapa daerah sudah menerapkannya secara swadaya atau atas
inisiatif pemerintah daerah setempat, contohnya di Bogor, beberapa titik di
Jakarta, dan Bontang.
Maria Loretha (NTT)
Tata dan sorgumnya Sumber gambar: http://thejakartapost.com |
Murniati (Takalar, Sulawesi Selatan)
Dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap
lingkungan tempatnya mengajar, guru SD di pulau kecil Tanakeke, Takalar ini
“memasukkan muatan” tentang pentingnya hutan bakau bagi kawasan pantai di
kepulauan kepada murid-muridnya. Pada pelajaran IPA ia membawa murid-muridnya
ke lapangan dan meminta mereka mencatat perbedaan kehidupan di antara pantai
yang masih banyak bakaunya dengan pantai yang jarang tumbuhan bakaunya.
Pada pelajaran Bahasa Indonesia, ia meminta
murid-muridnya untuk menuliskan hasil pengamatan mereka terhadap kedua kondisi
tersebut. Anak-anak ini menyimpulkan bahwa pantai yang ada bakaunya terjaga
dari abrasi pantai. Jika di wilayah mereka yang sudah kekurangan bakau ditanami
kembali tentu banyak kehidupan lain yang bisa tumbuh sehingga bisa dimanfaatkan
penduduk sekitar.
Tanpa disuruh, murid-muridnya mengajaknya untuk
menanam pohon bakau. Bibitnya mereka ambil dari pohon-pohon bakau sekitar
pulau. Hasilnya, kini Tanakeke jauh lebih hijau dan pantainya mulai terjaga.
Kini kegiatan menghidupkan kembali bakau di pulau tersebut dilakukan oleh
hampir seluruh warga, bukan hanya murid-murid Murni.
***
Adaptasi terhadap perubahan iklim bukan semata isu internasional, nasional,
atau lokal. Ia juga merupakan isu individu yang menggerakkan beberapa orang
tangguh untuk melaksanakannya walaupun tanpa kesadaran bahwa apa yang mereka
melakukan merupakan suatu bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim. Mereka
hanya peduli dengan kelestarian lingkungan dan nasib masyarakat sekitarnya bila
bencana datang menerjang.
Adalah bentuk sinergi yang amat signifikan bila kemudian ada lembaga
independen dan komunitas yang juga peduli dengan adaptasi perubahan iklim. Amat
dahsyat sinergi yang terjadi sekiranya pemerintah daerah maupun pusat
meresponnya semaksimal mungkin apalagi mitigasi internasional sudah lama
diupayakan.
Dukungan dana lembaga-lembaga donor juga sangat membantu Indonesia dalam
melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim, selama itu berlangsung wajar tentu
saja. Maksudnya, tidak merongrong kedaulatan bangsa.
Makassar, 15 Februari 2013
Referensi:
- Kebijakan Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam bentuk file PDF, bersumber dari: http://kebijakankesehatanindonesia.net/images/2012/asm2012/Kementerian%20LH%20Maret%202012..pdf
- http://campaign.pelangi.or.id
- http://id.wikipedia.org/wiki/Protokol_Kyoto
- http://pslh.ugm.ac.id/id/index.php/archives/1526
- http://sains.kompas.com/read/2013/01/20/17502648/Enam.Dampak.Perubahan.Iklim.pada.Hidup.Kita
- http://www.oxfam.org
- http://dnpi.go.id
- http://iklimkarbon.com/2010/05/04/dewan-nasional-perubahan-iklim-dnpi/
- http://blog.cifor.org
- http://biopori.com
- Daniel Murdiyarso, “Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim”, penerbit KOMPAS, 2003.
- Buku kumpulan tulisan “Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan”, penyunting Andi M. Akhmar Syarifuddin, Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sulawesi, Maluku, dan Papua Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI bekerjasama dengan Masagena Press, 2007.
- BaKTINews volume V September – Oktober 2011, edisi 71.
- Booklet BaKTI – Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia
- Buku kumpulan tulisan “Makassar di Panyingkul”, editor: Lily Yulianti Farida dan Farid Ma’ruf Ibrahim, Insist Press, 2007.
Silakan juga disimak:
Share :
panjang bgd pantesan ini untuk GA Perubahan Iklim..
ReplyDeletesetuju saya sama mbak Niar.
Bener bgd nih. mesti kita ini yg hars jaga diri sama lingkungan kemungkinan besar tahun2 yg disebutkan diatas bisa2 jadi kenyataan.
tak pernah terbayngkan jika gersang pans tiada henti.
bagus mb., menarik artikelnya,
dan finally Sukses untuk Lombanya.
@___@ semoga menang mb
Terimakasih Annur. Aamiin :)
DeleteTanam beberapa pohon setiap musim penghujan tiba, bisa ikut mengurangi efek pemanasan global juga ya .., itu yang kulakukan selama ini.
ReplyDeleteWaah komitmen yang bagus itu. Insya ALlah menjadi amal yang besar buat penanamnya :)
Deletegudlak mbak niar..doakan aku segera nyusul nulis.:D
ReplyDeleteAyo menulis mbak ANik :)
Deletepanjang banget kalimat, kalau boleh saran dibuat simple aja alias gaya bahasa ilmiah populer, jd inti dari kalimat mudah dicerna :)
ReplyDeletedan semoga menang deh, ikut kontes'a mba
Ini sudah dipersimpel mas ... kalimatnya sudah diusahakan tidak terlalu panjang lagi :) Makasih ya :)
Deletepingin ngerasain jagung berumur 18 tahun jadinya, bisa gak ya ?? xixixixi :p
ReplyDeletesepertinya perlu usaha luar biasa untuk tetap menjaga iklim stabil ya mba, sekarang aja, cuaca udah gak jelas, ujan panas susah di prediksi ^_^
Sayajuga pingin, mas Stumon :)
DeleteIya, cuaca jadi gak jelas begini ya. Tahun 80-an dulu, musim hujan dan kemarau signifikan sekali datangnya. Sekarang .. ? Wuuiiih
Waahh.. tulisannya komplit MAk..
ReplyDeleteSukses yah ngontesnya...
eh, ngomong2, gara2 banjir Maros waktu itu, kakak saya yang dari kampung ke Mks kena dampak, harus jalan kaki dari Maros sampai bandara. Untungnya gak ketinggalan pesawat..
Banjir oh banjir..
Waduh kasihan. Ada yang dai Sorowako ke Makassar 24 jam lho, padahal biasanya 12 jam. Mudah2an ada langkah signifikan supaya ini tak terjadi lagi tahun depan ya mom ..
Deleteperubahan iklim yg memang menyesakkan...
ReplyDeletekita memang harus belajar beradaptasi dengan lingkungan yg makin ekstrim...
sukses buat ngontesnya :D
Iya Jiah ... harus beradaptasi ya. Sekuat mungkin harusnya ...
Deleteternyata banyak juga ya orang2 keren yg aktif mengatasi perubahan iklim. baru tau aku mba.
ReplyDeleteBanyak sekali mbak Win, di referensi yang punya masih banyak, tapi itu saja yang bisa saya tuliskan (kalo mo ditulis semua bisa panjaaaang sekali tulisan ini) :D
DeletePanjang dan lengkap.... global warming memang topik paling seksi dewasa ini ya Niar... karena memang telah menjadi issue paling serius dan butuh kerjasama dari semua pihak untuk mengendalikannya....
ReplyDeletesukses yaaaa..... ikutan ah!
hahaha iya kak, topik seksi. Ditunggu tulisannya, pasti keren secara kak Al kan orang NGO yang biasa turun ke daerah2 :)
Deletemengerikan ya mba T_T
ReplyDeletesukses ya kak... buat lombanya ^^
ReplyDelete