CERITA INI
DIIKUTKAN DLM KUIS Buku (facebook) SOUL TRAVEL IN BADUY by Eni Martini
“Itu mi Saya tidak sukanya kalau
orang lain yang jaga Tini. Tidak seperti kalo Saya yang jaga. Kalau Saya jaga
anaknya orang, betul-betul Saya perhatikan,” ujar mbak Mun (Tini dan mbak Mun
merupakan nama samaran).
Saya manggut-manggut, membenarkan. “Ya iyalah, jangan berharap orang lain
menjaga cucumu seperti dirimu yang menjaganya, Mbak,” saya membatin.
Ups lupa, Tini bukan cucu
kandungnya. Tini itu cucu tirinya. Ia tak memperoleh anak dari suaminya yang
sekarang. Dua anaknya dari perkawinan pertama sepantaran saya usianya,
sedangkan dari perkawinan kedua dan ketiga, ia tak dikaruniai anak.
Inilah "kampung" saya ^__^ |
Mungkin karena sering ngobrol dan merasa akrab dengan saya, sesekali ia
berkeluh kesah. Khas perempuan. Kalau tak betah mendengarnya (siapa sih yang
betah berlama-lama mendengar keluh–kesah orang lain?), saya berusaha menyela
untuk memotong pembicaraannya.
Untungnya hanya sesekali. Karena sejatinya ia adalah perempuan tangguh. Saya
suka ngobrol dengannya, ketika menyambangi kediamannya untuk membeli songkolo’ (makanan khas Makassar terbuat
dari ketan) buatannya atau membeli lauk dagangannya. Ia amat piawai membuat songkolo’, kebolehannya bisa diadu
dengan orang asli Makassar.
Karakter perempuan yang usianya mendekati 60 tahun ini amat menarik. Tahun
1980-an ia datang dari pulau garam. Di kota ini ia berpindah-pindah rumah
kontrakan. Takdir membawanya pada ketentuan bersuami sebanyak 4 kali. Tiga
lelaki terdahulu meninggalkannya. Ada yang terpikat perempuan lain dan
perempuan lain itu tega mengiriminya guna-guna padahal ia tak pernah lagi
berhubungan dengan mantannya.
Dengan suami yang sekarang, ia istri ketiga atau malah keempat. Saat
dinikahi, suaminya sedang dalam status pernikahan dengan perempuan lain. Ia
“terpaksa” menerimanya karena lelaki itu – sebut saja Juma, selalu saja
mendatanginya dan berlama-lama di warungnya. Daripada menuai fitnah ia menerima
saja lamaran Juma.
Istri Juma – sebut saja Jum, adalah pekerja salon. Saya pernah melihatnya
dua kali. Usianya jauh lebih muda dari mbak Mun, jauh lebih modis, bahkan jauh
lebih seksi. Tapi Juma tak mau pulang kepada Jum. Karena mbak Mun amat mandiri.
Kontrakan ia yang bayar. Tak pernah tangannya menengadah pada Juma. Dikasih
uang ia terima, tak dikasih ia diam saja. Tetapi servisnya setia tersedia,
kebutuhan pangan Juma tercukupi bersamanya.
Menjelang
meninggalnya Jum pada suatu hari di setahun yang lalu, Jum menyebut-nyebut nama
mbak Mun, berharap dikunjungi oleh mbak Mun. Mbak Mun sering mengingatkannya
untuk memperbaiki diri dalam melayani suami tapi ia pernah melakukan perbuatan
tercela pada mbak Mun. Merasakan ajalnya sudah dekat, ia ingin minta maaf.
Mbak Mun menjaga Tini seperti menjaga cucu kandungnya. Bila sakit
dirawatnya dengan telaten. Ia rela mengejar-ngejar bocah dua tahun itu untuk
menyuapinya. Melihat seorang nenek kandung mengejar-ngejar cucunya saja membuat
saya terenyuh, ini cucu tirinya? Ia pun ikhlas membiarkan Nini – ibu Tini
(bukan nama sebenarnya) bekerja di rumah makan yang berarti nyaris sepanjang
hari Tini bersamanya.
Jangankan Tini, Ninot – anak ketiga Jum dirawatnya sejak usia satu tahun.
Saat ini Ninot sudah duduk di kelas 2 sekolah dasar. Ada yang bilang Ninot itu
“anak ditahan”, maksudnya biar mbak Mun bisa “merampas” Juma. Tapi saya tak
percaya. Kalau memang Ninot anak yang sengaja ditahannya, pastilah ia sudah
minggat sejak lama. Anak-anak kan masih polos, pasti bisa merasakan ketulusan
perawatnya. Saya pun menyaksikan sendiri ketulusan mbak Mun pada Ninot, Tini,
dan orangtua Tini. Mereka semua tinggal di rumah petak sempit kontrakan mbak
Mun.
Suatu waktu mbak Jum bercerita tentang Ninot yang sudah berhasil melewati
Iqra’ 6. Baginya, amat penting Ninot bisa cepat naik bacaannya. Ia tak
memikirkan bagus atau tidaknya tajwid Nino. “Waktu naik qur’an besar, saya selametin. Saya potongkan ki ayam,” ujar mbak Mun.
Saya senang mengamati mbak Mun mengurut suami saya ketika tangannya
terkilir. Beruntung mengenal orang yang punya ilmu menyembuhkan cedera
terkilir. Saya senang mengamatinya menceritakan nama tumbuh-tumbuhan untuk
pengobatan penyakit tertentu. Bahkan saya suka mengamatinya mengomel – asal tak
lama-lama saja. Ia sungguh sosok yang
lengkap, keras, tangguh, penyayang, peduli, dan ahli. Mengamatinya membuat jiwa
saya bertualang.
Sebagai orang yang terbatas dalam melakukan perjalanan jauh, Inilah travel soul bagi saya. Tak perlu jauh-jauh. Cukup dari
seberang jalan saja, maka jiwa saya mengembara. Saya memang tinggal di kota
besar yang sepertinya sudah menjadi metropolitan tapi lingkungan tempat tinggal
saya masih amat kampung.
Di sini masih sering saya dapati laki-laki bertelanjang dada, hanya
mengenakan handuk berkeliaran di gang. Atau perempuan yang hanya mengenakan
sarung atau handuk dalam beraktivitas di sekitar rumahnya. Para perempuan yang
bercengkerama sambil mencari kutu pun pemandangan biasa. Nenangga adalah kebiasaan warga sini sehari-harinya. Ungkapan “it needs a village to raise a child”
masih terlihat di sini. Ngobrol, bercanda, ataupun saling memaki dalam bahasa
daerah juga masih sering terdengar.
Masih menarik melakukan soul travel di
tempat yang masih banyak sosok dan hal uniknya ini. Sekali lagi, travelling tak harus jauh karena bagi
saya yang terpenting dalam sebuah perjalanan adalah perolehan bagi jiwa, bukan
bagi fisik saya.
Makassar, 3 Maret 2013
Catatan:
Saya sangat berminat membaca buku ini karena saya selalu penasaran dengan
orang Baduy. Saya pernah membaca tentang kehidupan mereka yang masih sangat
alami. Salah satunya adalah, mereka tak punya kamar mandi. Segala aktivitas
yang melibatkan air pasti melibatkan sungai. Mulai dari mengambil air untuk
minum dan memasak. Mandi dan mencuci pun mereka lakukan di sungai, ada
“pembagian wilayah” dalam hal ini yang menyebabkan sungai mereka tetap bersih,
tidak tercemar.
Anggapan saya, soul travel yang
dimaksud mbak Eni di sini adalah sebuah perjalanan yang bukan hanya
memperjalankan fisik, tetapi juga memperjalankan jiwa. Saya berharap banyak
makanan bagi jiwa ada di dalam buku ini mengingat saya penggemar topik soul travel.
Silakan juga disimak:
Share :
Buat teman-teman yang mau ikutan, DL-nya sampai 15 Maret. Ini info dari penulis bukunya:
ReplyDeleteCaranya:
-Ceritakan pengalaman perjalanan anda ke suatu tempat yang membawa 'makna'*Tulis pada awal kisah anda:CERITA INI DIIKUTKAN DLM KUIS Buku SOUL TRAVEL IN BADUY by Eni Martini
-Alasan apa yang membuat anda ingin membaca Soul Travel In Baduy by Eni Martini
-cerita ditulis dengan menyertakan pic anda ketempat yang anda ceritakan dan tag saya plus 10 teman anda,selamat berpartisipasi
Hadiah diumumkan 15 Maret jam 11.00
Akan terpilih 2 cerita
-pemenang pertama Buku Soul Travel In Baduy by Eni Martini dan Satu Pashmina cantik
-hadiah kedua Buku Soul Travel in Baduy dan sebuah Bross cantik
Hanya cerita yang sangat 'cetar' yang terpilih^^
semoga menang aja bunda..klo udah menulis seperti ini,miminyerah deh heheheh :)
ReplyDeleteYa Mimi .... masak belum nyoba dah nyerah? ^__^
Deletegimana cara ikutannya??
ReplyDeleteItu ada di komen paling atas :) Ayuk ikutan
Deletepengalaman perjalanan yang mengandung hikmah ya mbak
ReplyDeleteIya mbak Lidya
Deletesukses buat GAnya...
ReplyDeleteaq jg tinggal d desa, ya gitu deh kehidupannya...
Jiah ikutan ini deh, pengalaman ke mana2nya pasti banyak
Deletesukses mbak GA nya kalo menang jangan lupa aku . :D
ReplyDeleteMakasih Putra ... ooh begitu ya. Ok, kalo menang, saya tidak lupa koq sama Putra :D
Deleteceritanya membuat aku terharu...dan tersentuh..
ReplyDeletesemoga bs dapat bukunya ya.. kalo dapat boleh pinjem kan? hehe :)
Aamiin. Pinjem? Wah apa gak kejauhan mas? :D
Delete