Mengapa
Kita Membingkai Dunia adalah salah satu tulisan yang saya suka di blog seorang
ibu dari dua orang putra yang saya sapa dengan “Kak Evi”.
Bingkai (adalah) alat kita
memandang dunia. Alam semesta, dunia dan kehidupan terlalu luas untuk bisa
dipahami serentak. Kita perlu memecahnya jadi jutaan potongan kecil agar lebih
mudah dimengerti. Karena itu kita memerlukan bingkai, yang seperti fungsi
jendela, digunakan untuk memandang keluar dari tempat kita berpijak.
Suka atau tidak bingkai itu
menempel di mata. Karena cuma maut yang mampu mencopotnya dia jadi bagian dari
eksistensi kita. Kita pakai kapan saja dan dimana saja. Artinya bingkai bekerja lewat pengalaman sepanjang hidup
kita.
Dari sini bisa dipahami bahwa “bingkai” itu “menempel” pada diri setiap
orang. Melalui bingkai, setiap orang memaknai segala sesuatu yang dicerapnya.
Tingkat Kesadaran Diri
Setiap orang memaknai segala sesuatu secara subyektif. Seperti sang empunya
yang unik, bingkai yang dimilikinya pun unik. Tak ada orang yang memiliki
bingkai yang sama. Tepat seperti yang ditulis oleh kak Evi: luas
bingkai itu berbanding lurus dengan tingkat kesadaran diri.
Secara kebetulan ketika membaca tulisan itu, saya baru membaca mengenai “kesadaran”
dalam buku Titik Ba karya Ahmad Toha Faz[1].
Dalam buku itu disebutkan bahwa: binatang
hampir selalu belajar secara naluriah sampai tuntas. Akibatnya potensi mereka
selalu sama dengan prestasi mereka.
Sebagai contoh disebutkan bahwa lebah madu (apis mellifera) meraih prestasi puncaknya dengan mampu membuat
sarang dengan arsitektur yang menakjubkan. Secara naluriah, anak-anak lebah
belajar membuat hal yang sama dan kelak pada waktunya menggantikan induk mereka
dalam membuat sarang.
Sumber: www.zawaj.com |
Binatang “diasuh” Allah secara langsung melalui alam dengan cara indra
mereka merespon terhadap alam sekitar. Pada pencapaian prestasi puncak, boleh
dibilang di situlah pertumbuhan mereka berhenti. Banyak pula manusia seperti
ini, memilih bertumbuh pada usia muda. Sebagai makhluk yang (seharusnya) berakal budi, orang-orang ini “melupakan”
fitrahnya sebagai makhluk pembelajar.
Pertumbuhan secara biologis boleh saja berakhir beberapa tahun setelah alat
reproduksi manusia matang. Namun sejatinya manusia berpeluang untuk terus bertumbuh sampai mati. Yakni
bertumbuh secara maknawi seperti: bertumbuh dalam hakikat diri manusia. Atau bertumbuh
dalam pengetahuan, kebijaksanaan, kebesaran jiwa, kematangan pribadi, dan kepercayaan
diri. Satu kata kunci yang disebut dalam buku itu, adalah: kesadaran.
Pentingnya Perluasan Kesadaran
Perluasan kesadaran amat berperan dalam mengatasi problema hidup. Dua orang
berbeda yang dirundung masalah yang sama beratnya bisa menanggapinya dengan
cara berbeda. Ada orang yang hidupnya sehari-hari dirundung susah tapi lidahnya
dan hatinya tak pernah kering dengan ungkapan syukur karena ia tak fokus pada
masalahnya, melainkan justru melihat betapa masih banyaknya karunia Allah yang
wajib ia syukuri.
Sementara orang lain dengan kesusahan yang sama mengeluh saja setiap
harinya, menyalahkan semua hal selain dirinya. Bagi orang semacam ini
dirinyalah pemegang predikat “makhluk penderita terhebat” di dunia. Tak ada kata
syukur dalam kamusnya.
Atau seperti yang kak Evi tulis: Mereka
yang termotivasi memperbaiki apa yang kurang dari dirinya punya bingkai lebih
luas dibanding mereka yang taked for granted hidup yang melintas di depannya.
Menganggap diri serba cukup, serba berpengalaman, atau serba tahu.
Dan: jika sebagian besar pengalaman cuma berisi kepahitan hidup mungkin ia tak mengakui bahwa dunia beserta kehidupan
yang berlangsung di dalamnya adalah kegembiraan yang diciptakan Tuhan bagi umat
manusia. Si tukang gosip selalu curiga, gak enak makan dan tidur karena merasa
dirinya sasaran omongan saat melihat orang bisik-bisik[2].
Cara memandang masalah dan kemudian bagaimana menyikapinya, erat kaitannya
dengan luas-sempitnya (atau
dalam-dangkalnya) kesadaran. Adanya masalah pada kesadaran tertentu,
solusinya akan diperoleh jika kita tak berdiam pada tingkat kesadaran itu. Hati
dan otak harus sama-sama sinkron mencari solusi terbaik, senantiasa bergerak lincah
melintasi segala asumsi, dogma, hukum atau apapun yang mendukung.
“Masalah-masalah penting yang kita hadapi tidak dapat dipecahkan pada taraf
berpikir yang sama ketika kita menciptakannya,” ujar Albert Einstein.
Sumber: cherrywoodvillage.net |
Dalam buku Titik Ba diuraikan: Sebaliknya
bila kita menemukan sesuatu pada tingkat kesadaran tertentu tetapi kemudian
kesadaran menyempit, sesuatu itu pun akan berubah menjadi masalah yang
mengganggu. Bila ruang dada atau pikiran sempit (yakni kesadaran makna tidak
cukup luas), masalah kecil pun akan terlihat begitu besar. Sebaliknya bila dada
kita cukup luas, masalah besar pun akan ditampung dan ditangani dengan kepala
dingin.
Ahmad Thoha Faz mengambil analogi seperti ini: garam sesendok dalam secangkir air, asinnya tentu sangat terasa. Sebaliknya, apabila garam dengan ukuran yang sama dimasukkan ke dalam danau besar, hilanglah rasa garam di dalamnya. Seperti pula yang diungkapkan bung Hatta: bila dunia telah disempitkan orang lain, maka bangunlah alam semesta di dalam dada.
Saya teringat sebuah hadits yang saya pikir bersesuaian dengan ini, yaitu: “Langit dan bumi-Ku tak mampu memuat-Ku, namun hati
hamba-Ku yang lembut dan sabar dengan imannya dapat memuat-Ku.”
Masya Allah. Orang yang beriman pasti bisa menjadi orang yang berhati
lembut dan sabar. Orang seperti ini pasti memiliki kesadaran yang luas. Orang yang
memiliki kesadaran luas (atau bingkai yang luas) pasti akan selalu tenteram
hatinya walau seberat apapun ujiannya karena ia yakin ada Allah, sebaik-baik
pelindung dan penolong.
Semoga kita menjadi orang-orang yang memiliki kesadaran luas.
Makassar, 24 April 2013
Silakan juga
dibaca:
[1]
Thoha Faz, Ahmad. 2008. Titik Ba – Paradigma Revolusioner dalam
Kehidupan dan Pembelajaran. Bandung: Penerbit Mizan.
[2]
Khusus paragraf ini, saya mengedit
sedikit redaksinya. Sudah tentu tanpa mengubah maknanya.
Share :
Subhanallah, review yang sangat mendalam sekali.
ReplyDeleteSaya suka bagian ini : Mereka yang termotivasi memperbaiki apa yang kurang dari dirinya punya bingkai lebih luas dibanding mereka yang taked for granted hidup yang melintas di depannya. Menganggap diri serba cukup, serba berpengalaman, atau serba tahu.
Dan: jika sebagian besar pengalaman cuma berisi kepahitan hidup mungkin ia tak mengakui bahwa dunia beserta kehidupan yang berlangsung di dalamnya adalah kegembiraan yang diciptakan Tuhan bagi umat manusia. Si tukang gosip selalu curiga, gak enak makan dan tidur karena merasa dirinya sasaran omongan saat melihat orang bisik-bisik[2].
Saya suka juga kata2 kak Evi yang itu mbak Dwi, makanya saya masukkan di sini :)
Deletejadi keinget kata2nya eyang habibie mbak, "sebenarnya saya kasian sama orang yang menggunjing saya, karena dia memikirkan saya 24 jam tapi saya tidak sedetikpun memikirkan dia"
ReplyDeleteKalo tentang kesadaran, sudah terbukti negara ini individunya mayoritas masih egois. terbukti dari masalah solar
Tepat sekali. Artinya sebenarnya orang2 yang menggunjing itu perhatian ya :)
DeleteOrang yang memiliki bingkai luas, melihat lebih luas. Dalam keluasan memampukannya melihat lebih banyak, yang berarti mempertinggi tingkat kesadarannya..Nah yang unik, begitu tinggkat kesadaran meninggi, ego jadi merendah..Keren ya Niar makhluk ciptaan Allah ini :)
ReplyDeleteTerima kasih sudah ikut meramaikan ya Niar..Tercatat :)
KEsadaran yang luas, meluaskan bingkai. Yup, ego merendah. Orang yang mampu merendahkan egonya adalah juga yang dimaksud dalam:
DeleteLangit dan bumi-Ku tak mampu memuat-Ku, namun hati hamba-Ku yang lembut dan sabar dengan imannya dapat memuat-Ku
Manusia memang keren, apalagi penciptanya.
Terimakasih dah menyempatkan mampir kak :)
Mbak Niar kalau nulis apapun keren aja ya... (y).
ReplyDeleteSaya belum ikutan GA ini nih.
Aih mbak Niken, paling bisa deh bikin hidung saya kembang kempis. Kalo mbak Niken ikutan, pasti lebih keren deh :)
Deletenamun ada perbedaan antara binatang dan manusia, binatang memiliki nafsu dan tidak memiliki akal budi, sedangkan manusia memiliki semua itu, dan terkadang nafsunya mengalahkan akal budi , itulah yang banyak terjadi sekarang, akal hanya digunakan untuk memenuhi ambisi nafsu manusia...dan potensi yang selalu sama dengan prestasi hampir tak pernah kita jumpai dalam masa kini ...,
ReplyDeleteselamat berlomba, semoga menjadi salah satu yang terbaik...salam :-)
kalau manusia yang tinggi akal budinya, semestinya prestasinya bisa melampaui potensinya ya :)
DeleteSalam juga pak :)
Hmmm saya sedang terus berproses dan belajar membuat bingkai yang luas mbak
ReplyDeleteterima kasih sudah menyemarkakkan GA mbak Evi ya..
sudah saya bingkai artikelnya sebagai peserta
Terimakasih sudah datang untuk membingkai tulisan saya, pak juri. Moga berkenan :)
DeleteSuka dengan tulisan ini. Juga quote-nya.
ReplyDeleteSemoga sukses ngontesnya ya.
Oh, ternyata uncle jadi jurinya, ya? Wah...
Iya mbak, uncle Lozz juri tunggal. Ayo ikutan mbak Susi ...
Deleteheummm,bener2 renungan siang yang mempesona mbk....
ReplyDeletesukses GA nya ya
Terimakasih mbak. Sukses juga buat mbak Hanna :)
DeleteReviewnya keren banget Mbak Niar....kata - katanya daleeemm
ReplyDeletesemoga sukses yaa.... :)
Sekaligus review buku sih sebenarnya mbak Lies. Buku yang ada sama saya ini keren juga :)
DeleteMakasih. Sukses juga buat tulisannya mbak.
mba niar, aku kayak baca tarbawi nih. tulisanmu benar2 menggugah nurani, persisi bgt kayak di majalah2 >
ReplyDeleteIni sekaligus "mini review" buku Titik Ba, mbak Windi. Bukunya menggugah :)
Delete*Mini review? Istilah apa ituh?*
what? begini lengkap dan detil masih disebut "mini review"?..waaaaaa... gimana review lengkapnya kalau gitu? jangan-jangan jadi satu buku sendiri?
Deletemugniar selalu hebat kalau nulis artikel.. lengkap dan runut
Waah bukunya lengkap kap mbak, bisa ratusan mini review dari situ :)
DeleteAih mbak Ade ini .. bisa saja bikin kuping berkibar :D
sukses ya buat lomba nya.. :)
ReplyDeleteAamiin. Terimakasih :)
DeleteSuka dengan kutipan yang ini
ReplyDelete"Mereka yang termotivasi memperbaiki apa yang kurang dari dirinya punya bingkai lebih luas dibanding mereka yang taked for granted hidup yang melintas di depannya. Menganggap diri serba cukup, serba berpengalaman, atau serba tahu."
Quote-nya kak Evi keren ya :)
Deletepencerahan yang luar biasa mba, salam kenal yaa :)
ReplyDeleteSalam kenal mbak eh jeng Devi :)
DeleteSuka dengan kata2 pak Pakies:
ReplyDeleteluasnya hati mampu menuntun langkah memaknai hidup dengan memilah dan memilih kebaikan dan kemanfaatan dengan ukuran bingkai yang tepat.
Iya pak. Dan luasnya hati berbanding lurus dengan luasnya bingkai
Mungkn pemikiran albert Enstein yang "“Masalah-masalah penting yang kita hadapi tidak dapat dipecahkan pada taraf berpikir yang sama ketika kita menciptakannya,” yang menjadi salah satu dasar trecetusnya Hukum Relativitas ya Mbak..
ReplyDelete#gud luck ya mbak:)
Sepertinya, mbak Rie :)
Delete