Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging
Mammiri, minggu pertama.
Namanya Viviani. Di undangan pernikahannya tertulis nama panggilannya
Viviet tetapi semua orang memanggilnya Pipi’.
Prosesnya begitu cepat hingga tahu-tahu ada kabar Pipi’ hendak menikah.
Sudah cukup lama saya mengenal Pipi’ – anak tetangga depan rumah yang usianya
hanya lebih muda dua tahun dari saya. Jadi saya tahu, perempuan ulet, cerdas,
aktif, manis, dan insya Allah shalihah ini banyak didekati oleh lelaki. Tapi
takdir jodohnya baru tiba sekarang. Mitsaqan
ghalizha (perjanjian agung/perjanjian yang amat berat) baru resmi
dilakoninya pada 12 April 2013.
Saya turut bahagia dengan berita ini. Buku-buku pernikahan saya hadiahkan
padanya. Saya tahu Pipi' suka membaca maka saya berani menghadiahkan buku padanya. Saya berikan kado itu dua hari sebelum hari H. Saya bungkus kertas kado lalu
saya bungkus koran.
Tabere' (lihat catatan kaki) |
Saya menelepon Pipi’, rupanya dia sedang mengantar undangan yang tersisa.
Lalu saya katakan padanya, “Pi saya titip sama Mama Aji[1]
nah. Saya bungkus koran lagi. Soalnya takut nanti dibilang pamali sama yang
melihatnya. Kalau mau dibuka, saat Kamu sedang sendiri ya.”
“Tidak apa-apa ji, Kak. Itu kan ilmu,” terdengar suara Pipi’ di
seberang.
“Bukan begitu. Niatnya kan ini
kado tapi menurutku bagusnya Pipi’ baca-baca dari sekarang biar makin mantap.
Tapi kan bisa saja orang lain – Mama
Aji misalnya ndak setuju. Nanti
dibilang belum apa-apa koq sudah kasih
kado, makanya saya bungkus lagi dengan kertas koran. Ini mi kadoku nah Pi’,” saya
menjelaskan sekali lagi.
Yang di atas meja itu namanya bosara' (lihat catatan kaki) |
Maka saat melihat Mama Aji ada di depan rumahnya, kado dalam kertas koran
itu saya berikan kepadanya. Saya katakan bahwa saya sudah menelepon Pipi’ dan sudah
mengatakan pada Pipi’ hendak menitipkan buku padanya.
Tanggal 11 malam, tenda dipasang. Sebuah tenda sederhana berwarna biru,
persis seperti judul lagu: Tenda Biru yang pernah dipopulerkan oleh Dessy
Ratnasari. Kursi-kursi yang dipinjam dari Lembaga Kesejahteraan Ummat (LKU) –
sebuah LSM di lingkungan sini dititipkan di pekarangan rumah kami.
Tanggal 12 pagi, hingga pukul 9.30 masih terlihat sekelompok perempuan
sedang memotong-motong sayur di teras rumah padahal rencananya akad nikah
dilangsungkan pada pukul 10.
Beberapa tamu duduk di pekarangan rumah kami |
Untuk memastikan, saat lewat di depan rumah Pipi’ (yang sekaligus depan
rumah saya juga), saya bertanya pada kak Amir – kakak Pipi’, “Jam berapa akad
nikahnya?”
“Jam sepuluh, Dik,” jawab kak Amir.
Waduh. Melihat situasi
di teras rumah masih berantakan begitu, sepertinya bakal molor nih akad nikahnya.
Menjelang pukul 10 ada suara seorang perempuan meminta izin kepada ibu saya
untuk menggunakan ruang tamu kami sebagai ruang ganti baju mempelai laki-laki.
“Di ruang tamu saja Bu. Kan laki-laki
ji, praktis. Tidak seperti
perempuan,” kata perempuan itu.
Mempelai pria berangkat dari rumahnya di Takalar, baju pengantin ada di
rumah Pipi’. Oleh karena itu pengantin laki-laki butuh tempat untuk berganti
baju pengantin.
Mempelai laki-laki berganti pakaian pengantin |
Rombongan pengantar mempelai laki-laki |
Tak lama kemudian, mempelai laki-laki tiba. Ia kelihatan gugup bin tegang.
“Mungkin sedang menghafal redaksi ijab qabul,” saya membatin sok tahu. Dua
orang perempuan perias pengantin memakaikannya baju adat Bugis/Makassar yang
atasan berwarna putih dan bawahan ungu. Nuansa rumah Pipi’ berwarna ungu bahkan
sampai tabere’[2]
dan bosara’[3]-nya
pun berwarna ungu. Pipi’ memang pecinta warna ungu.
Pengantin laki-laki dijemput oleh utusan keluarga Pipi’. Ibunda Pipi’
berdiri di depan pagar rumah, menunggu calon menantunya. Lalu mereka sama-sama
masuk di ruang tamu untuk pelaksanaan prosesi akad nikah.
Sayangnya, tak ada pengeras suara disiapkan jadi tak terdengar ijab
qabulnya. Tahu-tahu saja pak imam kelurahan sudah tergopoh-gopoh keluar dari
ruang tamu. Sepertinya ada acara pernikahan lain karena ia tak duduk lagi
menikmati hidangan yang disediakan.
Selama acara, Ayad senang sekali. Ia menjelajah tak kenal lelah. Bila
berada di luar, ia maunya masuk ke dalam rumah. Bila sudah di dalam, tak lama
kemudian ia keluar lagi. Athifah pun demikian, syukurnya ia tak selasak
adiknya. Mereka sangat excited dengan
hari bahagia ini, suasana sekitar rumah berbeda dengan hari-hari biasa. Saya
dan suami bergantian mengawasi mereka.
Yang berbahagia |
Sebelum berpamitan pulang, saya melihat sesi pemotretan Pipi’ dan laki-laki
yang telah sah menjadi suaminya. Fotografer mengarahkan gaya mereka berdua agar
kelihatan mesra. Lucu melihatnya. Ada mimik bahagia, malu-malu, dan kaku.
Barakallah Pi’. Menikah itu seperti masuk ke balik tembok tinggi. Kita tak
pernah tahu apa di balik sana sampai kita berada di situ dan gerbang di
belakang kita tertutup lalu terkunci. Nikmatilah semua pengalamanmu. Di sana
lengkap, dari yang paling manis sampai yang paling pahit sekali pun. Nikmatilah
karena bila tidak dan dirimu nekat berbalik, pasti akan amat menyakitkan dan
berdampak buruk luar biasa karena engkau harus membobol tembok itu[4].
Barakallah Pi’. Semoga pernikahanmu sakinah mawaddah wa rahmah.
Makassar, 13 April 2013
Postingan ini disertakan dalam #8MingguNgeblog Anging Mammiri
Silakan juga
disimak:
[1]
Ibunda Pipi’
[2]
Hiasan yang diletakkan di tembok paling
atas rumah pengantin, dekat langit-langit ruangan
[3]
Tempat kue khas Bugis/Makassar
[4]
Pengingat juga bagiku yang memasuki
14 tahun usia pernikahan pada 14 April
Share :
seperti itu ya mbak pakaian menikah adat bugis, pihak laki model androk juga ya....
ReplyDeleteIya mas Agus :)
DeleteMBak hebat ikutannya banyak sekali semoga menang ya mbak> aku pingin ikutan deh besok ya deadlinennya
ReplyDeleteIni karena sebagian materi (cie istilahnya) sudah ada di kepala mbak Lidya, sudah lama pingin di tulis, foto2 sudah dikumpulin. Nah mumpung sekarang ada momen yang kali2 saja bisa dapat hadiah ya sudah ... saya gempur jurinya.
Delete*Maaf juri: daeng Ipul dan kk Rara. Mudah2an ndak bosan baca tulisan2ku. Ini karena temanya sangat mamak2, cocok sekali dengan saya :) *
Ikut berbahagia dengan pernikahan Pipi...smoga selalu bahagia dan sejahtera, dan ada dalam lindungan Allah Swt.
ReplyDeleteBetul Mugniar, pernikahan itu seperti kita masuk ke balik tembok tinggi.
Tak ada seorangpun yang bisa menduga, apa yang ada dibalik tembok itu...
Aamiin. Semoga. Terimakasih mbak Irma
DeleteNiar, titip salam untuk Pipi. SElamat bahagia, jadi keluarga muslim teladan ya. Amin
ReplyDeleteAamiin. Terimakasih kak Evi
Deletejadi ikut seneng,, semoga mawadah warohmah ya, salam dari jawa .... Dan semoga lekas di beri buah cinta
ReplyDeletesemoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahma ya "Pi",
ReplyDeletedan buat pemilik blog nan super ini...banyak sekali'a mi postingan gaya makassar ta ,..mudah-mudahan jadi salah satu pemenangnya ya :-)
semoga pernikahannya barokah ya mbak pipi'....
ReplyDeleteJadi rindu ingin makan kue botting .. :D
ReplyDeleteSEPERTINYA SAYA KENAL RUMAH ITU, JALAN LORONG YANG BIASA SAYA LEWATI. ITU KAN TEMAN SAYA. KAK VIVI, YANG SEBELUMNYA SAYA SUKA NONGKRONG DIKAMARNYA, NEMENIN DIA JAHIT BAJU. LHA, BENER DUGAAN SAYA, ITU KAK VIVI. SAYA JUGA SEMPAT HADIR ACARA NIKAHNYA. :)
ReplyDelete