Warung kak Ebo |
Orang-orang sekitar rumah ada yang memanggilnya daeng Ebo. Saya
memanggilnya dengan “kak
Ebo”. Ia bekerja sama dengan seorang tetangga – daeng So’na namanya,
membuka warung yang menjua aneka lauk. Amat dekat dari rumah saya, hanya
sekitar tiga puluh meter jaraknya. Modal awal, peralatan masak, dan tempat
usaha berasal dari daeng So’na. Selanjutnya modal diputar terus. Omzet, setelah
dikurangi modal merupakan keuntungan yang mereka bagi dua.
Kak Ebo adalah langganan saya ketika persediaan lauk di rumah tak
mencukupi. Ia pandai masak. Cita-citanya adalah kerja di rumah makan. Sayang mendengarnya
masih ingin bekerja di rumah makan. Karena dengan kemampuannya, ia sebenarnya
amat mandiri. Ia bisa berbisnis sendiri di tempat yang amat dekat dari rumahnya
sehingga bisa selalu memantau anak-anaknya plus
mengatur sendiri waktu kerja. Kalau sedang ada acara di kampung atau ketika
ada di antara keempat anaknya yang sakit, warung lauknya ditutup.
Lauk dagangan kak Ebo |
“Lebih untung mana ki’, sekarang
dengan dulu?” tanya saya pada suatu waktu.
Dulu ia bekerja dengan seorang tetangga tapi kedudukannya hanya sebagai
buruh. Dari pagi hingga malam ia bekerja, biasa sampai pukul setengah sebelas malam.
Ia harus mempersiapkan bahan, memasak, menjual, dan mencuci piring. Tenaganya betul-betul
terkuras. Ia hanya dibayar sebesar tiga puluh ribu rupiah per hari. Tidak peduli
penjualan sedang bagus, keuntungan sedang berlipat, tetap segitu saja yang diterimanya. Belum lagi kalau keempat anaknya
makan di situ, tentu saja jatahnya harus dipotong sebesar harga lauk yang
diambil mereka.
“Lebih untung sekarang iya. Sekarang, kalau ada keuntungan baku bagi dua ka’[1].
Seberapa keuntungan, sebegitu yang dibagi. Tidak seperti dulu. Terus kalau
siang, habis mi jualanku, pulang maka’[2]
istirahat,” jawabnya.
“Biasa sampai jam berapa ki’[3]
menjual kah?”
“Biasa jam jam tiga habis mi.”
Warung yang menjual ikan bakar enak |
Banyaknya kos-kosan, petak-petak kontrakan, dan rumah kontrakan berdampak
pada hidupnya roda ekonomi di Rappocini. Baik di jalan besar maupun di gang-gang
tersebar warung-warung yang menjual lauk. Harganya amat murah. Tempe dan tahu
goreng (berbumbu dan kering) juga perkedel jagung maupun perkedel mairo[4] dijual
seharga lima ratus rupiah per potongnya.
Ikan yang sudah dimasak juga dijual amat murah. Ikan bandeng ukuran agak
besar dibagi tiga lalu oleh kak
Ebo dijual seharga dua ribu lima ratus rupiah per potong. Ikan tongkol berukuran
agak kecil, seekornya dijuga juga dengan harga dua ribu lima ratus rupiah. Memasaknya
dengan cara digoreng, dibakar atau dibuat pindang (pallu mara). Kalau harga ikan naik, mau tidak mau kak Ebo menaikkan
harga jualnya. Tapi kalau harganya turun, harga jualnya pun turun kembali.
Fleksibel.
Tak semua warung menjual ikan yang ukurannya sama dengan harga yang sama
dengan dagangan kak Ebo. Beberapa warung menjualnya lebih mahal.
Ada satu warung yang saya suka sekali ikan bakarnya. Letaknya di dalam
lorong 6, di belakang tembok belakang
sebuah perumahan yang cukup elit di Rappocini. Ikan bandengnya dibagi
dua lalu dibelah tengahnya (di bagian punggung). Di bagian dalam ikan
disisipkan bumbu yang terbuat dari bawang merah, cabe merah, kemiri, dan daun
kemangi. Setelah itu, ikan dibakar menggunakan arang. Rasanya ... hmm maknyus,
membuat saya selalu nagih. Harganya
murah, hanya enam ribu rupiah per potongnya.
Warung ini selalu ramai oleh warga sekitar. Ada yang makan di situ, ada
yang membawanya pulang. Suatu waktu saat sedang menunggu ikan matang, saya
mendengar percakapan antara pemilik warung dengan seorang pemuda – tampaknya ia
mahasiswa.
“Berapa perkedel Kau makan?” tanya pemilik warung.
“Enam,” jawab si pemuda.
“Hah ... enam?” pemilik warung
tak bisa menahan keheranannya.
Mendengar itu, saya tersenyum geli. Memang jumlah yang cukup fantastis
untuk lambung seorang pemuda bertubuh kurus. Tapi untuk kantung mahasiswa,
enam buah perkedel jagung sangat terjangkau harganya, mengenyangkan pula. Tiga ribu
rupiah ditambah beberapa (sedikit) ribu lagi untuk lauk lain, untuk sebuah
makan siang, bukankah sebuah keberuntungan?
Makassar, 12 April 2013
Postingan ini disertakan dalam #8MingguNgeblog Anging Mammiri
Silakan juga
disimak:
[1]
Maksudnya: “Kami bagi dua”
[2]
“Pulanglah Saya”
[3]
Kata ganti orang kedua (anda)
[4]
Ikan teri
Share :
wah, klo di tempatku itu perkedel harganya Rp 1.000
ReplyDeleteMahal yaa ... dua kali liat harganya dengan di sini ...
Deletekalo di deket kos q juga seribu. soalnya kentang, bukan jagung.
Deletetapi yang lainnya sma donk.
masih murah di solo :p
Di sini masih ada perkedel kentang 500 rupiah tapi kayaknya dicampur ubi deh ^_^
Deletemasih ada ya harga segitu
ReplyDeleteberasa di jogja tuh. di sini boro boro ada makanan murah...
Yah .. begitulah ...
Deleteditempatku jg masih murah...
ReplyDeletejd mau nulis lagiiii :D
Yuk nulis lagi :)
Deletedi tempatku dah pada mahal Mak..
ReplyDeletemuraah banget disana, pidah ahh jadi tetangganya emak deh :p
Asyik nih kalo bisa tetanggan sama mak Nchie :D
DeleteDisini ada yang murah ada yang mahal mbak
ReplyDeleteBisa milih ya mbak
DeleteWah, masih murah ya disana, Niar. Kalo di Bandung udah mahal, di Aceh jauh lebih mahal lagi... btw, foto lauknya itu, bikin selera makan bertambah deh. :)
ReplyDeleteWaah mahal sekali ya ...
DeleteEnak2 lho kak makanan di foto itu :)
paling mahal makanan di pariaman, beuhhh jangan harap ad yang 6000, plg murah langgananku 7000-an i2 pun skrg sdh naik mie semua sdh tdk mau ksh 7000, skrg hrgx kalo cuman lauk saja 8000 sampe 10.000 kalo pake nasi 11.000, nasinya porsi kuli booo, hahahaa :D
ReplyDeleteWiiii tetanggaku masih ada yang jual 5000 per bungkus tawwa nasi kuningnya, jualan dalam lorong ji tapi laku. Mahalnya di' di sana padahal di kabupaten? :D
DeleteMurah2 mi lauk di sana! Nanti pi kalo nakke jadi maen ka makasar, mau ki traktir nakke? Hehehe
ReplyDeleteMurah ces. Bolehlah kalo perkedel 500 sebanyak 6 biji hahaha
Deletedi semarang juga masih ada kok mba gorengan yang seharga 500, tapi untuk ukuran Makassar ya murah banget ya
ReplyDeleteDulu waktu masih di Makassar pernah gak beli makanan warung, mbak?
Deletemakanan yang begini emang cocok bagi kantong mahasiswa, selain murah bisa kenyang dengan hanay berbekal 20 ribu. heheheehehehehe
ReplyDelete6 ribu pun bisa kenyang. Bayangkan deh kalo makan 12 perkedel jagung hehehe
DeleteMugniar, seandainya saja warung ini letaknya bertetangga dengan rumah saya, pasti saya juga bakal jadi langganannya...
ReplyDeleteNgomong-ngomong, perkedel jagungnya itu bikin saya penasaran, sampe habis enam gitu lo...wah, wah, pasti rasanya mantap banget!
Enak2 mbak Irma. Sederhana tapi enak :)
DeleteSaya pun kalo lupa diri mungkin bisa habis 6, dijadikan cemilan hehehe
wah, enak bener bund...500 perak udah dapat lauk, kalau deket mau dong...
ReplyDeleteharga lauk ikan di tempat saya rata2 Rp 7.000,-
makanya, saya agak mikir kalau mau jajan, jadi mending masak sendiri...
Waah kalo begitu pasti harus masak sendiri ya mbak.... mahal juga
Deleteduh, lauk dan sayur nya harganya ramah sekali ya mbak. kalo dekat saya pasti mampir kesitu tiap hari deh...hehe
ReplyDeleteDi Batam mahal ya mbak?
Deletewah masih murah tu harganya kak, yumi pngn icip-icip kalau di aceh mahal benar kata cuk kak alaika :)
ReplyDeleteWaduh harus masak sendiri ya ... padahal ibu2 kan pingin rehat juga sekali dua kali, tiga kali ... eh itu namanya malas ya hehehe
DeleteDi Bali ada perkedel jagung yang 500an tp jagungnya sedikiiittt sx dibanding tepung. hahaha
ReplyDeletesukses yah GAnya mba :D
waduh ndak asyik makannya :D
DeleteAndai warung Kak Ebo buka cabang di deket rumah saya.. Pasti saya sering-sering beli ikan bandengnya. Sudah jarang makan ikan bandeng bakar bumbu itu di Jakarta. Padahal dulu sering dibuatkan sama ibu di Bone..
ReplyDeleteKalo yang di foto itu, bukan di warungnya kak Ebo. Kak Ebo kadang2 saja bikin ikan bolu seperti itu tapi kayaknya kalo direquest mau ji dia ka baik sekali orangnya :)
Deletewahdari photonya bikin laper mbak Niar..
ReplyDeletewah masih relatif murah ya mbak..
saya sendiri kalo makan tidak neko2 mbak, apa yang disiapin di meja makan ya disikat, gak pilih2...
lama ya gak mampir kesini
Mas Insan apa kabar :)
DeleteMasih murah, alhamdulillah. Yang mahalan juga ada. Tinggal pilih mas kalo mau beli .. pengusaha makanan buanyaknya minta ampun.
wah aku suka aku suka.kalo yang murah murah begini makannya jadi lebih lahap ya niar :)
ReplyDeleteLebih lahap karena murah ya mbak hehehe. Yang jelas rasanya enak :)
DeleteEmang praktis jika ada yang jual sayur dan lauk matang. Setidaknya mengurangi biaya utk memasaknya hehehe.
ReplyDeleteAku sih pakai catering aja :)