![]() |
4 dari 6 warung yang berada dalam radius 50 meter dari rumah |
Dalam tahun ini sepertinya harga gula sudah naik tiga atau empat kali.
Sebagai warga negara yang (mengakunya) baik, mau tidak mau ini (terpaksa) harus
saya terima mengingat gula dibutuhkan setiap harinya sebagai pemanis teh melati
di pagi hari.
Mau bagaimana pun berjingkraknya pergerakan harga gula, warung sebelah
barat rumah adalah tempat favorit saya untuk membeli gula. Mau bagaimana pun
naiknya, di warung pak Ardis inilah harga gula termurah dan terdekat lokasinya
dari rumah kami.
![]() |
Aneka kerupuk, keripik, dan cemilan anak-anak digantung |
![]() |
Sisi ini dekat sekali dari gang sebelah rumah, amat memudahkan orang untuk mampir |
![]() |
Air galon, aneka biskuit, sosis siap saji |
Di warung Hj. Timang, di sebelah selatan rumah, harga gulanya termasuk
murah pula, sama dengan harga di warung pak Ardis. Sebenarnya, di warung-warung
yang menjual bahan kebutuhan pokok di dalam lorong-lorong di kota ini harganya
memang segitu sebab pembelinya kebanyakan dari kalangan menengah ke bawah.
Kalau dijualnya bersaing dengan harga mart-mart
modern di luar sana, siapa yang mau beli?
Saat ini, baik di warung pak Ardis maupun di warung Hj. Timang, harga gula
pasir Rp. 13.500 sekilonya. Gulanya putih dan manis. Bandingkan dengan harga di
mart-mart baik besar maupun kecil
itu, mana ada yang harga segitu sekarang. Paling murah sekitar Rp. 14.000.
Mata anak-anak saya berbinar-binar bila melihat aneka cemilan yang dijual
pak Ardis. Harganya murah. Bila di mart modern
beberapa cemilan berharga Rp. 600-an, di warung ini hanya Rp. 500. Cemilan yang
di mart modern berharga lebih dari Rp.
1.000, di warung ini Rp. 1.000 pas. Cemilannya pun up to date, yang sedang diiklankan dijual di sini. Bahkan terkadang
ada produk baru yang iklannya belum tayang, barangnya sudah dijual oleh pak
Ardis. Begitu iklannya tayang di TV, anak-anak sini bisa pamer pada teman-teman
sekolahnya bahwa mereka sudah merasakan cemilan itu J.
Setiap pagi, aneka kue basah dijual di warung pak Ardis. Ada donat (yang
digoreng, bukan dipanggang) tabur meises, donat tabur gula halus, roti goreng,
kue dadar, songkolo’ (penganan
berbahan dasar beras ketan) bertabur kelapa, dan cake. 1 atau 2 kali seminggu ada produsen roti rumahan yang
memasukkan aneka roti seharga Rp. 1.000 per bungkusnya. Ada pula roti tawar
produksi bakery kelas menengah. Teman
makan roti tawar pun tersedia, seperti margarin dan meises.
Alat-alat tulis: pinsil, pulpen, buku tulis, penghapus, rautan pinsil, dan
buku gambar komplit di warung ini. Obat-obatan pun cukup lengkap: obat sakit
kepala, obat flu, dan obat mencret ada. Bahkan vitamin untuk nyeri otot,
vitamin C bentuk tablet dan cairan juga ada. Minuman energi sampai minuman
isotonik ada. Minuman bersoda beberapa merek juga ada.
Mau susu dan teh (cair) kemasan? Ada. Susu beruang dan jus jambu pun ada. Sandal
jepit aneka ukuran, pulsa elektrik, obat nyamuk bakar maupun cair, deterjen,
sampo, tisu, tisu serbet, aneka kopi dan minuman instan lainnya pun ada.
Komplitlah. Tak perlu susah-susah keluar ke jalan besar untuk mendapatkan
barang-barang itu. Harganya murah.
Suatu ketika, adik saya yang sedang liburan bersama keluarganya membutuhkan
batere kecil ukuran AAA. Awalnya saya ragu pak Ardis menjualnya karena biasanya
kan batere itu dipergunakan untuk AC
atau alat-alat elektronika. “Tidak ada deh
kayaknya di sebelah,” kata saya. Rupanya saya salah, pak Ardis juga
menjualnya!
![]() |
Songkolo', donat, roti goreng |
![]() |
Aneka kue, gula pasir, terigu |
![]() |
Sandal jepit, permen |
Itu baru di warung pak Ardis, di warung Hj. Timang pun cukup komplit. Ada
beberapa jenis cemilan yang dijual Hj. Timang berbeda dengan di warung pak
Ardis, seperti pop corn. Hj. Timanh
juga menjual aneka bumbu kemasan ekonomis. Itu baru dua warung, dalam radius 50
meter dari rumah kami ada 6 warung. Jadi, untuk urusan memenuhi kebutuhan
sehari-hari dan memanjakan (atau menyengsarakan?) lambung, bertempat tinggal di
dalam lorong Rappocini
ini cukuplah menyenangkan.
Warung dalam lorong memiliki 3 kelebihan yang pasti tidak dimiliki mart modern yaitu:
- Selama belum dipergunakan, barang bisa ditukar. Beberapa kali saya membelikan anak-anak cemilan. Sampai di rumah mereka protes, “Bukan yang rasa ini, Ma tapi yang rasa itu.” Terpaksa deh saya balik ke warung untuk menukarnya. Pemilik warung tidak keberatan sama sekali.
- Kalau uang tidak cukup atau tidak bawa uang, boleh membawa barangnya dulu nanti balik lagi untuk membayar.
- Bisa saling curhat dengan pemilik warung.
Hanya satu yang tidak menyenangkan. Ini saya anggap dampak buruk dari
adanya warung-warung yang bertebaran ini. Yaitu: ancaman bahaya pola hidup
kosumtif mengintai anak-anak saya. Anak-anak sekitar rumah saya terbiasa
konsumtif. Kebiasaan jajan sudah seperti menjadi budaya bagi mereka. Biarpun
sudah dibelikan jajan di pagi hari, di siang dan malam hari bisa saja Athifah
minta jajan lagi.
Cara memintanya unik, “Ma, minta sesuatu!”
Kalau saya menjawab dengan, “Itu ada sesuatu di meja makan. Ada kue kan yang dibawa Oma tadi.” Ia menjawab,
“Bukan itu. Sesuatu, yang di
warung!” Baginya “sesuatu” dalam kalimat itu artinya sangat khas, yaitu cemilan
yang dijual di warung.
Saya biasa melihat anak usia 1 atau 2 tahun sudah biasa membawa lembaran
uang Rp. 1.000 atau Rp. 2.000 untuk jajan di warung. Dan itu bisa berkali-kali
dalam sehari. Saya pernah mendengar ada orangtua yang mengeluhkan kebiasaan
jajan anak-anaknya. Herannya, ia mengeluh tapi diberi juga anaknya meski sambil
mengomel.
Sebagai orangtua yang (mengakunya) baik, sudah tentu saya tak selalu
memenuhi keinginan Athifah. Saya tak mau ia ikut-ikutan konsumtif. Saya
berharap bisa melatih anak-anak saya menahan diri sejak kecil, untuk
pembentukan kecerdasan emosional dan adversity
quotient[i]-nya. Anak-anak
kecil sekarang dalam sehari bisa menghabiskan Rp. 1.000 – Rp. 2.000 beberapa
kali dalam sehari. Di saat usia remaja, kalau terbiasa bisa-bisa yang
dihabiskannya Rp. 5.000 – Rp. 10.000 beberapa kali dalam sehari. Di saat dewasa
bisa-bisa menghabiskan puluhan ribu sebanyak beberapa kali dalam sehari. Waduh.
Makassar, 10 April 2013
Postingan
ini disertakan dalam #8MingguNgeblogAnging Mammiri
Silakan juga disimak:
[i]
Adversity quotient: kecerdasan
untuk bertahan hidup, saya suka menyebutnya dengan “kecerdasan ketangguhan”.
Share :
warung warung makin banyak
ReplyDeletedi setiap sudut gang ada
yang senang adalah anak anak walaupun bikin ibunya repot
Ibunya puyeng :)
Deleteboros jadinya ya... :D
ReplyDeleteHehehe iya
Deletesama mbak ...di tempatku juga anak2 kecil itu banyak yg udah pinter jajan...orang tuanya ya kok ngasih aja
ReplyDeleteDi mana2 ya mbak Monda
DeleteWarung plus biro curhat ya mbak hahaha
ReplyDeletewarung banyak anak senang, tapi ibune puyeng hehehe
sukses kontesnya mbak Mugniar
Hahaha iya ... kalo datang ke situ, saya saling curhat sama pemilik warung. Makasih mas Lozz
Deletesongkolo itu apa mbak?
ReplyDeleteAda di footnotenya mbak Lid :)
DeleteAda kelebihan dan kekurangannya kak, jadi ingat dengan masa-masa kuliah dulu, depan kos ada warung jajanan, jadi kadang kalau dompet kering bisa ambil barang dulu, ada uang bayarnya
ReplyDeleteSama dong dengan warung di sini :) Warung yang bersahabat
DeleteWarungnya komplit ya..
ReplyDeleteMau dong songkolo'nya.. qiqiqi..
Enak songkolo'nya, mama Wilda ... :)
DeleteKrn harga murah & akses mudah, maka hati2 dgn cemilan tidak sehatnya.
ReplyDeleteIya. Memang banyak makanan tak sehat dijual :(
Deletekapan-kapan kalo saya ke makassar, diajak belanja ke mini market itu ya mbak,hehe
ReplyDeletepertanyaannya,"Kapan saya ke Makassar?"
Hahaha boleh .. boleh.
DeleteNah, saya juga baru mau tanya :P
Wah mbanya sudah nyetor berapa nih... keren tuisannya.
ReplyDeleteSoalnya tema ini yang paling saya kuasai kodong. Tema yang cocok untuk mamak-mamak hehehe
Deletebersaing sama alfa mart kayaknya bund, kalo k makassar i2 toko tahambur bukan main banyaknya, ckckckck :)
ReplyDeleteEdede jangan mi kalo mart2 itu ... ada mi mini market lokal yang duluan berdiri mati ka bagaimana letaknya hanya 5 meter dari mart modern itu :(
DeleteNah kalo warung2 lorong ini amanji kalo dalam lorong. Daripada keluar ki' beli baru mahal ji, mending beli yang di warung :)
Iya Mugniar, rumah yang berdekatan dengan warung, selalu menggoda anak-anak buat jajan tiada henti. Kita sebagai orang tua sebaiknya membuat kesepakatan, berapa uang jajan per hari dan jajan-jajan apa saja yang boleh atau tidak boleh dibeli...
ReplyDeleteAhahaha...saya mulai main nasihat lagi nih, maaf :(
Tida apa2 mbak Irma, namanya berbagi pengalaman kan?
DeleteIya benar, harus buat kesepakatan dengan anak2 kalo tidak mau jebol hehehe
Aku kira mart mart itu bisa kasih harga lebih murah, karena kan lebih kompetitif. Tapi ga juga ya ternyata.
ReplyDeleteSedih juga rasanya eksistensi warung disingkirin ama mini market modern T.T
Tergantung barangnya Na. Kalo macam Tango, choki-choki, mending beli di warung deh. Kalo di mart itu kayaknya kalo lagi promo memang murah. Nah, di warung2 harus murah barangnya karena pelanggannya kan dari strata menengah ke bawah
Deletemelihat barang jualannya, ingin saya borong semua :p
ReplyDeleteboleh tidak saya minta 'sesuatu'? hihihi... anak-anak pintar yaaa ^^
Iya mbak ... pingin mborong bawaannya :D
DeleteWahh senangnya melihat masih ada warung yang eksis ^^ Di sekitar rumah saya sudah pada gulung tikar, gak mampu bersaing dengan mart-mart itu...
ReplyDeleteOh ia, anan-anak sekarang sudah "pinter" pegang duit. Saya pribadi gak suka lihatnya. Saya takut jika nanti mereka besar semua hal akan mereka nilai dengan uang.
Waah di mana2 mart2 melalap usaha2 kecil ya.
DeleteAnak2 akan semakin konsumtif kalo terbiasan jajan :|
di sekitar kostku malah nda ada warung kecil. di kantor yang lama malah ALFAMARTnya seberangan dengan kantor, jadinya lebih sering belanja di situ :D
ReplyDeleteWaah ngekos di manakah Nie? Kalo di sini banyak kos2an, warung juga banyak
Delete