“Ibu mau ke Manokwari lagi,” kata suami saya.
“Hah. Mau balik ke sana?” tanya
saya.
“Iya. Dua ART berbeda, yang membantu Suleha menelantarkan anak-anaknya. Yang
pertama, disuruh beli makanan tidak membelikan untuk anak-anak, hanya buat
dirinya sendiri. Ada yang mengunci anak-anak di dalam rumah lalu dia pergi
entah ke mana,” panjang lebar suami saya menjelaskan.
Suleha adalah adik suami saya. Ia bersama suami dan kedua anaknya tinggal
di Manokwari. Sebagai ibu bekerja (PNS – guru di sebuah SMK), ia menggunakan
jasa ART (asisten rumahtangga atau pembantu rumahtangga). Ibu mertua saya
pernah ikut Suleha. Suleha sangat terbantu dengan kehadiran Ibu yang senantiasa
membantu mengasuh kedua jagoannya.
Hampir setahun ini ibu mertua kembali ke Pare-Pare yang letaknya sekitar
seratus lima puluh kilometer dari Makassar. Berita tentang cucu-cucunya yang
ditelantarkan ART membuatnya tergerak untuk kembali ke Manokwari.
Sungguh kagum saya pada beliau. Saya pernah menyaksikan bagaimana beliau
membuatkan susu, menyuap sambil mengejar-ngejar, juga menceboki cucu-cucunya
yang lasak itu. Ahmad dan Althaf[1] –pernah
dibawanya ke Pare-Pare karena ada hal mendesak yang membuat Suleha harus
berpisah sementara dengan anak-anaknya.
Ahmad terkena cacar air ketika itu. Mengingat ada seseorang di kampung yang
bisa mengobati penyakit itu dengan cara tradisional, ibu mertua bergegas
berangkat ke kampung. Bersama Ahmad, ia menumpang ojek. Butuh waktu sekitar
satu jam naik motor untuk sampai ke kampung. Ibu tak mengeluh. Seandainya butuh
sepuluh jam pun, ia pasti menjalaninya. Setelah diobati, berangsur-angsur Ahmad
sembuh.
Saya kagum sekali dengan ibu mertua. Di masa lalu ia membesarkan tiga orang
anak. Saat bapak mertua meninggal di tahun 1994, ia berjuang sendiri membiayai
kuliah ketiga anaknya. Di masa sekarang, ia selalu tulus membantu, tanpa
diminta bila Suleha – anak perempuan satu-satunya butuh pertolongan.
Bukan hanya kepada Suleha, kepada dua anak laki-lakinya demikian pula
sikapnya. Apapun pertolongan yang bisa diberikannya, ia segera memberi. Entah itu
tenaga atau biaya. Waktu saya sakit sehabis melahirkan Afyad, saya tak punya
tenaga untuk mencuci pakaian saya sendiri. Pakaian-pakaian kotor hanya saya
rendam dalam ember, menunggu suami mencucinya. Ibu mertua kelihatannya sudah berniat
hendak mencucikan.
Kepada suami saya berbisik dan mendelik, “Awas kalau Ibu yang cucikan. Kita’[2]
yang cuci!” Galak ya? Ya, begitulah saya bisa galak juga. Saya kan sakit usai melahirkan, yang punya
andil hingga saya harus melahirkan kan si Papa, jadi kalau saya belum sehat ya
dia dong yang harus mencucikan
baju-baju saya, bukan ibunya.
Pernah, tiba-tiba saja saya terserang sesak nafas semalaman. Duh, amat tidak nyaman. Baru sekali ini
saya merasakan yang namanya sesak nafas. Walau mengantuk dan lelah, tak bisa
baring. Mau duduk pun susah. Mana si bayi Afyad menangis minta disusui
sementara semua posisi yang saya ambil rasanya serba salah.
Suami tentu tak bisa tidur, ia menemani saya begadang, memijat-mijat
punggung dan menggendong Afyad. Untungnya ada ibu mertua yang bergantian shift dengan suami. Saya masih mengingat
wajah khawatirnya memandangi saya. Saya masih ingat jemarinya memijat-mijat
punggung saya. Ah, Ibu ...
Kabar yang disampaikan Suleha melalui telepon tentang para ART-nya hanyalah
curhat seorang anak kepada ibunya. Bukan meminta beliau untuk menjadi pengasuh
cucu-cucunya. Tapi oleh ibu mertua, langsung ditanggapinya dengan niat untuk
segera berangkat ke Manokwari. Ia takut terjadi apa-apa dengan cucu-cucunya
bila hanya ditinggalkan dengan ART.
Padahal perjalanan ke Manokwari bukan perjalanan singkat. Setiap ke sana, beliau
hanya mau naik kapal laut, di kelas ekonomi pula. Bila ditanyakan, “Kenapa
tidak pilih kelas?” Beliau menjawab, “Enak naik ekonomi. Banyak teman.”
Di zaman sekarang, menjadi ibu bekerja sangat dilematis. Meninggalkan anak
dengan siapa selama ibu bekerja tentu bukan hal sepele. Meninggalkan anak
dengan ART? Sang ibu mesti selalu memastikan apakah anak-anaknya aman sentosa
di tangan ART.
Patut dipahami oleh ibu yang meninggalkan anaknya kepada ART bahwa mengasuh
anak sambil mengerjakan pekerjaan rumahtangga tentu tak mudah. Saya paham
sekali karena nyaris sepanjang usia pernikahan saya yang sudah masuk angka
empat belas tahun ini, saya tak menggunakan jasa ART.
Bila satu rumahtangga memiliki dua ART, mungkin lebih mudah. Para ART bisa
membagi beban. Tapi kalau hanya satu ART menangani segala tetek bengek
pekerjaan rumahtangga plus mengasuh
anak (apa lagi bila itu lebih dari satu anak)? Wajar sekali kalau ART menjadi
lalai atau stres. Wong ibunya sendiri
bisa stres koq.
Sumber: redcrosspdx.blogspot.com |
Beruntung sekali ibu-ibu yang memiliki ibunda seperti ibu mertua saya ini.
Insya Allah, saudari ipar saya akan tenang meninggalkan anak-anaknya dalam
pengawasan beliau nanti.
Saya kemudian bertanya kepada suami, “Tapi, nanti Suleha tetap mengambil ART
kan? Kasihan Ibu kalau harus menjaga
kedua anak itu dan mengerjakan pekerjaan rumah. Ibu sudah tua, tak sekuat dulu.”
“Nanti Saya bilang sama Suleha supaya mencari ART,” kata suami saya.
Iya dong. Ibu kan hanya bertindak
sebagai pengawas. Untuk kerjaan rumah, baiknya tetap mengambil ART. Tidak tega
saya membayangkan kalau Ibu ikut membantu mencuci pakaian, mencuci piring, dan
memasak. Kasihan, dua tahun lagi usia beliau masuk kepala 7.
Saat ibu mertua ke Makassar mengunjungi kami, saya menanyakan rencana
keberangkatannya. Beliau sudah bulat mau ke Manokwari. Beliau menceritakan lagi
kepada saya ulah para ART itu, “Pembantu yang pertama itu, dilaporkan sama
tetangga ulahnya kepada Suleha. Katanya ia suka memukul anak-anak dan tidak
memberikan makanan kepada anak-anak. Yang kedua, menguncikan pintu anak-anak
baru dia pergi. Waktu Suleha pulang, Ahmad menutup mukanya dengan bantal, marah
dia sama mamanya.”
Mendengar lebih lengkap cerita ini, membuat saya bertanya-tanya. Anak-anak
saya kelak, di zaman yang mungkin lebih kompleks dari sekarang, bagaimana
mereka mengasuh anak-anak mereka? Apakah mereka mengharap saya turun tangan
menjadi penjaga dan pencebok anak-anak mereka?
Hm ... Affiq, Athifah, dan
Afyad, kalau kalian membaca tulisan ini, pikirkan baik-baik hal itu ya?
Makassar, 22 April 2013
Postingan ini disertakan dalam #8MingguNgeblog Anging Mammiri
Beberapa tulisan tentang
perempuan inspiratif ini:
Silakan juga
disimak:
[1]
Ahmad dan Althaf sekarang berusia
hampir 5 tahun dan 2 tahun
[2]
Kita’ : kata ganti
orang kedua (halus/sopan). Biasa ditujukan kepada orang yang dihormati.
Share :
kalo aq di desa mah ngga banyak yg pake ART mbak, paling pol kerjaannya satu. kalo ngasuh ya ngasuh aja, kalo dapur/nyuci ya nyuci aja. Ngga banyak yg dobel.
ReplyDeleteYah menghawatirkan juga. Salut buat mertuanya Mbak :D
Iya, mengkhawatirkan ... terimakasih yaa :)
Deletekalau pake jasa ART memang sangat mengkhawatirkan, banyak kasus terjadi dari penyiksaan sampai pembunuhan ngeri nntn di TV...begitulah kasih sayang ibu sepanjang masa kepada anaknya :), nice post kk saya suka sukses ya
ReplyDeleteJangankan ART, baby sitter saja tanda tanya :)
DeleteTerimakasih yaa
kalo ngomongin soal ART nih jadi serba salah saya mbak.tapi memang anak" lebh baik di jaga sama keluarga entah itu ibu, kakak, bibi atau adik, membangun chermistri dengan ART memang susah, dan anak" itu kan memang ikut kemauannya bukan ikut pikiran kita yg udah dewasa
ReplyDeletebtw, pekanbaru dulu di mananya mbak?
Iya serba salah ya mbak ...
DeleteDulu saya di Rumbai :)
hal yang paling sulit memang memelihara dan membesarkan anak kecil. Ibu yang bekerja di luar rumah bakal sangat sulit menjalani hal (kewajiban) ini.
ReplyDeletePasti sulit, dihadapkan pada pilihan2 yang tidak mudah
Deletemertuanya baikkk >.<
ReplyDeletesemoga mertua saya nanti juga mau mengasuh cucu2nya
*eh
telaten sekali mertua Mak Mugniar, beruntungnya ... :)
semoga terpilih kisah ini, Mak! ^^
sebentar, sepertinya saya juga pernah membaca kisah serupa. Apa dulu pernah ikutan lombanya Mbak Aida? Yg tentang wanita hebat itu?
Alhamdulillah, tapi walau beliau baik saya bersyukur tak pernah merepotkan beliau mengurusi anak2 saya mbak :)
DeleteIya benar, dengan kisah yang berbeda, saking ngefansnya saya sama beliau
Semoga saya nantinya bisa mendapatkan ibu mertua sebaik beliau :) Yaampun ngerinya mempekerjakan ART sekarang ini >.<
ReplyDeletemasyaAllah, kak niar beruntung punya mertua yg inspiratif... Salam sama beliau yah, kak :')
ReplyDeletesemoga sehat selalu
Waduh.. sama dengan mertuaku mbak..
ReplyDeleteMakanya saya kadang menyembunyikan pakaian kotor kalau belum sempat saya cuci. Kalo tidak, di angkat semua sama mertua tuk di cuci...
Duh miris juga yah kak baca ceritanya, apalagi yang sampai gak kasi makanan. Memang harus cermat milih ART, mungkin syarat yang biasa terpasang di iklan lowongan kerja "Bersedia bekerja dibawah tekanan" harus digunakan juga :)
ReplyDeleteSubhanallah... ibu mertua yg baik sekali...
ReplyDeleteSemoga ibu mertunya selalu sehat, dan iparta semoga diberi ART yang amanah, aamiin :)
ReplyDeleteSubhanallah beruntung punya ibu mertua penyayang mbak..aku merasakan punya ibu mertua cuma bentar bgt ;(
ReplyDeleteNgeri juga ya dengan model ART seperti itu. Beruntung sekali Mak Mugniar punya Ibu mertua yg luar biasa. Semoag beliau sehat selalu, aamiin.
ReplyDelete