Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging
Mammiri, minggu kelima.
Cinta pertama seorang bayi adalah ibundanya. Besarnya cinta ibunda mampu
membuat sang bayi bertahan menghadapi dunia baru setelah alam rahim yang
ditempatinya. Lalu cinta ibunda terus mendampingi pertumbuhan sang bayi hingga
semua inderanya mampu mencerap, hatinya mampu merasai cinta, dan akalnya mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kekuatan cinta jualah yang mampu membuat banyak ibu mampu bertahan menjadi single parent dalam membesarkan
anak-anaknya. Walau lamaran dari seorang laki-laki menghampirinya, mereka
bergeming, tak menerimanya. Karena bertekad membesarkan buah hatinya. Bagi mereka
pernikahan baru akan menghalangi proses tumbuh kembang anak-anak yang menjadi
tanggung jawabnya. Kewajiban membesarkan anak-anak bisa keteteran karena ada
kewajiban baru sebagai istri orang lain.
Ibu mertua saya misalnya, suaminya meninggal pada tahun 1994 ketika ketiga
anaknya masih duduk di bangku kuliah. Sebuah pengharapan dari seorang duda yang
bersimpati ditampiknya mengingat ketiga anaknya masih membutuhkannya.
Sumber: lovequotespics.com |
Beruntung beliau seorang pegawai negeri dan memiliki dua buah rumah
sehingga kepergian suaminya tidak menakutkannya. Akhirnya satu per satu dari
ketiga anaknya bisa lulus kuliah lalu berumahtangga. Kini beliau masih menjadi
pejuang cinta yang selalu siap membantu anak-cucunya bila diperlukan. Dalam waktu
dekat beliau akan mengarungi perjalanan laut menuju Papua, tempat putrinya
berdomisili. Kepergian beliau didasari kegelisahan karena tak ada orang yang
bisa dipercaya untuk dititipi cucu-cucunya kala ibu kedua bocah itu bekerja.
Pertemuan saya dengan seorang perempuan – sebut saja namanya bu Ety
beberapa waktu lalu, membuat saya merenungkan perjuangan cinta yang
diceritakannya kepada saya.
“Tidak terasa, sudah lima belas tahun suamiku meninggal. Waktu itu anak bungsuku
masih kelas tiga es de,” bu Ety mulai berkisah.
Lalu mengalirlah rentetan kisah pilu lima belas tahun lalu dari bibirnya. Tapi
kisah pilu itu tinggal menjadi sebuah kenangan yang memberinya pelajaran hidup
yang teramat besar. Tak ada lagi tangis dalam tuturnya seperti lima belas tahun
silam. Ia menceritakannya dengan teramat ringan.
Berat sekali mulanya bagi bu Ety, ditinggal suami tercinta. Empat orang
buah hatinya masih membutuhkan perhatian besar dari kedua orangtuanya. Tapi ia
tak mampu melawan kehendak Sang Mahapencipta yang mengambil kembali kekasihnya
yang baru berusia tiga puluh tujuh tahun sedang ia sendiri hanya lebih muda dua
tahun dari suaminya.
“Sakit apa suaminya Bu?” tanya saya.
“Tidak sakit. Sehat sekali. Hari Jum’at dia masih olahraga. Hari Sabtunya
kami jalan-jalan ke mal. Hari Minggu dia meninggal,” bu Ety mengenang kembali
kejadian itu.
“Pasti berat sekali ya Bu. Beda kalau orang sakit berat. Biasanya yang
ditinggal lebih siap kalau suaminya sakit berat sebelumnya,” saya bersimpati.
“Iya. Dia jatuh dari pohon mangga. Tidak tinggi pohonnya, pohon mangga
cangkokan. Waktu itu dia mau memperbaiki kabel televisi yang tersangkut di atas
pohon,” ringan sekali bu Ety menceritakan hal ini.
Hati saya tergetar mendengar kisahnya. Pasti pilu sekali. Siapa yang siap
ditinggal secara tiba-tiba seperti itu. Apalagi bu Ety seorang ibu rumahtangga
tulen, tak memiliki penghasilan selain gaji suaminya.
Sumber: commons.wikimedia.org |
“Dua tahun Saya tak menginjak dapur. Tidak kuat. Kalau ke dapur mau masak,
air mata meleleh lagi. Saya pikir, dulu Saya masak untuk suamiku. Sekarang Saya
masak untuk siapa. Jadi selama dua tahun itu beli makanan jadi,” tutur bu Ety.
“Selama dua tahun itu Saya tidak tahu mau bagaimana. Saya berpikir kenapa
bukan Saya yang meninggal duluan. Untungnya ada yang menenangkan, katanya kalau
Saya duluan, anak-anak mungkin terlantar. Itu hikmahnya suami Saya yang
mendahului. Setelah lima tahun meninggalnya suami, teman-teman kantor suami
memasukkan saya bekerja di koperasi kantor. Alhamdulillah sudah sepuluh tahun
sampai sekarang. Alhamdulillah anak-anak tidak ada yang menyusahkan. Sebagian sudah
menikah,” lanjut bu Ety.
“Pasti berat sekali ya Bu,” saya menghela nafas.
“Ada laki-laki yang mau dengan Saya tapi Saya tidak mau,” bu Ety
melanjutkan kisahnya.
“Iya Bu ya. Perempuan tidak sama dengan laki-laki. Bagi kebanyakan laki-laki,
gampang saja menikah lagi. Tapi tidak bagi perempuan. Pemikirannya panjang
sekali,” saya menimpali,
“Iya. Walau namanya perempuan normal ya, ada juga kepinginnya. Tapi jauh
lebih besar rasa tanggung jawab Saya sama anak-anak. Bagaimana kalau suami baru
tidak bisa menerima empat orang anakku?” tadas bu Ety.
Bu Ety bahagia dengan kehidupannya hingga saat ini. Ia mampu memilah antara
cinta dan nafsu. Ada sekilas keinginan dimanja lawan jenis tapi itu bukan
cinta, itu nafsu. Cinta sejatinya adalah cinta seumur hidupnya kepada keempat
buah hati yang harus ia dampingi. Ia sadar tanggung jawabnya kepada keempatnya
teramat besar, mengalahkan pemenuhan nafsu yang sesaat. Cinta itu memberikannya
ketegaran, kekuatan, dan kesabaran luar biasa hingga saat ini.
Cinta sejati sekilas dariluar
tampaknya hampir-hampir tidak terbedakan dengan nafsu, padahal keduanya
berbeda. Cinta adalah tentang memberi sedangkan
nafsu adalah tentang memuaskan diri.
Cinta yang belum matang menurut Fromm – mengatakan, “Saya cinta Kamu maka Saya
perlu Kamu”; cinta yang sudah matang mengatakan, “Saya perlu Kamu karena Saya cinta
Kamu.”
Nafsu (impulse) adalah
hakikat sekunder manusia, yang dapat menghalangi kesadaran untuk bersikap adil
atau untuk sampai kepada tauhid. Allah berfirman dalam hadits qudsi, “Wahai anak Adam, lawanlah nafsumu karena ia
diciptakan untuk melawan-Ku.”[1]
Makassar, 10 Mei 2013
Silakan disimak
juga:
[1]
Thoha Faz, Ahmad. 2007. Titik Ba, Paradigma Revolusioner dalam
Kehidupan dan Pembelajaran. Bandung: Mizan Media Utama.
Share :
Bu ety kuat sekali ya. membesarkan ke empat anaknya sendirian.
ReplyDeleteIya mas Hadi .. subhanallah ...
DeleteAku jg banyak bertemu dengan perempuan2 tegar seperti yg dikisahkan mbak Niar. Ada hikmah dari tulisan ini. Makasih mbak Niar.
ReplyDeleteSemoga sukses dengan kontesnya.
Banyak perempuan seperti ini mbak Niken. Yg sampai meninggal memilih memperjuangkan cintanya untuk anak cucunya.
DeleteTerimakasih ya mbak
perjuangan yang kuat ya dari ibu Ety
ReplyDeleteIya mbak
DeleteBeberapa hari lalu saya dan teman-teman kantor juga membahasa tentang prosentasi wanita dan pria yang menikah lagi seteah ditinggal pasangannya, seperti pengamat pernikahan saja :-)
ReplyDeleteWalau tadi dibantah oleh Pak Herul :-) cari cerita tandingan dong Pak, Pria yang tidak menikah lagi walau sudah ditinggal istrinya. saya sangat jarang mendengar tentang hal itu sih :-)
Kalau menurut saya pribadi sih, banyak laki-laki yang memilih menikah lagi setelah pasangannya meninggal, mungkin karena terbiasa dilayani oleh istri, tugasnya hanya kerja cari uang urusan yang lain sudah ada yang mengatur. makanya harus segera cari pengganti jika tidak ingin kehidupannya kacau.
Tapi nggak semua sih, Kita bisa lihat contah nyata kecintaan Pak HAbibie pada Bu Ainun yang mengispirasi banyak orang. :-)
Wanita-wanita itu memang pantang diajungi jempol, tangguh dan tegar.
Berarti sebenarnya wanita itu lebih hebat dari laki-laki ya, hehehe... nanti laki-laki diseluruh dunia protes lagi :-)
Tak penting siapa yang hebat, masing-masing sudah diciptakan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. :-)
Kk Haerul juga mengatakan kebanyakan laki2 begitu, tidak semua.
DeleteSaya juga mengatakan begitu.
Laki2 biasanya mempunyai satu kebutuhan yang tidak bisa tergantikan, harus istri membantunya dalam hal ini. Sementara perempuan tidak selalu membutuhkannya :)
Yup, laki2 dan perempuan masing2 punya kelebihan dan kekurangan. Bukan hal yang patut untuk dipertentangkan ataupun diperbandingkan untuk mencari siapa yang lebih hebat :)
Makasih ya, diskusi dengan teman2nya bagus tuh ...
Emang kisah seorang pejuang yg penuh perjuangan... Bahkan ini lebih dari skedar memperjuangkan cinta...
ReplyDeleteJadi inget gimana ortu memperjuangin gue ampe sekeren ini! Hiks...
Komentar yang keren, dari orang keren ^__^
Deleteseperti nenekku. dulu nenekku ditinggal kakek pergi. kata mamah sih waktu mamah masih SMP. sedangkan adik mamah ada 2, kakaknya 1. jadi nenek berjuang demi keempat anaknya yang masih belum dewasa. :'(
ReplyDeletehebat memang perempuan itu...
Wow .. nenek yang hebat ... subhanallah
DeleteSubhanallah...dua tahun dalam berkabung, memang sulit sekali jika tiba2 ditinggal sang kekasih hati, nahkoda kapal rumah tangga dengan 4 awak kapal yang masih kecil2. Sungguh luar biasa bu Ety...
ReplyDeleteSUbhanallah. Perempuan hebat ...
DeletePerempuan tegar ya yang begini.. :)
ReplyDeleteTEgar .. luar biasa. Mudah2an saya sempat lagi berbincang2 dengannya jika bertemu besok2
Deletewaduh tadi saya terjebak baca judulnya pejuang cinta, kukira ttg perjuangan meraih cinta tpi rupanya perjuangan mempertahankan cinta. salut bu niat, tulisannya enak dibaca....
ReplyDeleteWaaah terimakasih bu .. alhamdulillah kalo enak dibaca :)
Delete