“Habis main, rapikan ya!”
Itu titah saya bila teman-teman Athifah datang bermain. Bukan tanpa alasan
saya harus menjadi galak saat mereka ada. Jika tidak, semua mainan
diporak-porandakan oleh anak-anak ini. Untuk mengambil mainan saja mereka mesti
mengeluarkan bunyi “BRAK” dan “BRUK”, tidak ada halus-halusnya.
Pertama kali menerima mereka bermain di rumah, saya stres karena harus
merapikan sendiri mainan yang berhamburan di mana-mana dan juga kursi-kursi
yang tergeser ke sana ke mari. Jauh lebih berantakan dibanding jika yang
bermain anak-anak saya saja. Makanya saya harus membuat aturan dan tak
bosan-bosan mengingatkan anak-anak ini. Sebab jika saya lupa mengingatkan, bagi
mereka itu berarti “boleh tak merapikan”.
Saya tidak mau dong yang seperti ini terjadi Sumber: admission.vanderbilt.edu |
Anak-anak ini sepertinya tak biasa merapikan peralatan bermain mereka.
Mereka suka seenaknya. Diberitahu pun harus berkali-kali. Pernah suatu ketika
seorang teman Athifah – sebut saja Dita pergi bermain ke rumah tetangga
seberang rumah setelah puas bermain di rumah kami. Athifah – sebagai penanggung
jawab, saya suruh memanggil Dita balik, untuk merapikan kekacauan yang terjadi.
Athifah tentu saja harus merapikan bersama teman-temannya, bukannya menjadi bos
kecil. Kepadanya saya mewanti-wanti, “Kalau sampai mereka pulang belum
merapikan mainan, Athifah harus merapikannya sendirian!”
Lama-kelamaan teman-teman Athifah bisa juga merapikan mainan setiap usai
bermain. Tak terlalu rapi sih, tapi
jauh lebih baik ketimbang mereka membiarkannya begitu saja. Sebenarnya kasihan
juga, tapi mau bagaimana lagi, kami tak punya PRT. Sementara mereka bisa
berkali-kali datang bermain dalam seminggu kalau sedang ingin bermain di rumah
kami. Membiarkan mereka seenaknya berarti menyiksa diri saya. Sebaliknya, menyuruh
mereka kan berarti juga turut
mencerdaskan mereka. Mencerdaskan perilaku mereka agar peduli dengan kondisi
tuan rumah. Iya kan?
Tapi saya kemudian harus berkali-kali mengingatkan anak-anak ini. Bukan
hanya mengenai urusan merapikan mainan tetapi juga urusan perilaku-perilaku
mereka yang tidak bisa saya terima. Sempat terlintas di benak, “Tapi kan mereka hanya anak-anak?” Lintasan
pikiran itu saya bantah sendiri, “Anak-anak ini perlu diajar tentang banyak hal
yang tak mereka ketahui.”
Berkali-kali dilarang masuk area pribadi (kamar tidur), teman-teman Athifah
tak mengindahkannya. Berkali-kali mereka mencoba melakukannya. Begitu pun
dengan naik-naik kursi dan lompat-lompat di atas kursi. Sesekali Athifah memang
mencontohkannya itu kepada teman-temannya. Jika Athifah melakukannya, langsung
saya tegur di depan teman-temannya. Namun berkali-kali mereka melakukannya
sendiri. Saya tahu karena saya hampir selalu ada di sekitar mereka.
Jika saya mengingat masa-masa di usia 6 – 7 tahun seperti mereka, saya
sudah tahu jika diberitahu seperti itu apalagi berkali-kali oleh orang dewasa,
tuan rumah pula maka jangan coba-coba melanggar. Tetapi anak—anak ini ... tidak.
Kalau mereka tak sadar juga, maka sepertinya saya yang harus berkali-kali
menyadarkan mereka.
Kebiasaan anak-anak sekitar rumah adalah bermain tak kenal waktu. Dari pagi
hingga malam, berpindah-pindah tempat. Di rumah A lalu ke rumah B lalu ke C,
dan seterusnya. Athifah saya larang untuk bermain di rumah tetangga karena bisa
tertular kebiasaan ini. Bakal susah saya mengontrolnya kalau berpindah-pindah
tempat. Dan pulangnya pasti kelelahan, sudah tak bisa belajar lagi. Di samping
itu sejak usia 6 tahun (kalender hijriyah), Athifah sudah dibiasakan shalat. Akan
sulit mengontrol shalatnya kalau ia ikut teman-temannya bermain ke sana ke mari.
Anak-anak sekitar rumah terbiasa dengan umpatan. Ucapan TOLO (tolol) atau BODO’ (bodoh) amat biasa di lidah mereka. Bahkan ada yang terbiasa
memaki dengan cara yang lebih kasar lagi. Saya pun tak suka dengan cara bermain
dan bergurau dari beberapa orang dari mereka yang menurut saya kelewatan,
takutknya bisa menular kepada Athifah.
Saya juga tidak mau ini terjadi Sumber: luluboogie.blogspot.com |
Ada beberapa hal lain yang membuat saya merasa harus tegas memberlakukan
aturan kepada anak-anak ini:
Berbohong
Pagi menjelang siang itu beberapa anak mengetuk-ngetuk pintu rumah. Beberapa
kali mengetuk belum ada jawaban dari dalam, salah seorang anak berkata, “Athifah,
buka pintumu. Ini kita bawakan ko pisang.”
“Wah, baik benar anak-anak ini. Mereka membawakan pisang untuk Athifah?” saya
terenyuh.
Saat saya membuka pintu, di wajah-wajah mereka merekah senyum lebar. Saya memperhatikan
tangan mereka. Tak ada apa-apa. Bahkan sepotong kulit pisang pun tak ada. Anak-anak
ini berbohong. Keki rasanya sudah demikian terenyuh tadi dan ternyata mereka
berbohong. Taktik “pisang” ini beberapa kali mereka lakukan dan mereka ringan
saja melakukannya.
Di lain waktu, beberapa anak datang. Dita mengatakan, “Athifah yang suruh
kita datang.” Ketika saya mengkonfirmasikan itu kepada Athifah, Athifah
menjawab, “Tidak. Mereka sendiri yang mau datang. Saya tidak suruh.” Pernah
pula mereka berbohong dengan menyebut-nyebut suami saya. Kebohongan ini terjadi
beberapa kali. Saya tak suka. Berbohong seharusnya bukan merupakan kebiasaan
anak-anak. Tapi bagi mereka itu merupakan hal yang biasa.
Mengejek
Beberapa kali kedatangan anak-anak ini kami tolak karena berbagai alasan.
Tidak selalu, karena mau tidak mau anak-anak ini tetangga kami dan mereka
teman-teman Athifah. Biar bagaimana pun juga Athifah butuh bersosialisasi.
Beberapa kali mereka menjauh setelah ditolak. Ceria. Tapi saat beberapa langkah
mendekati pagar, ada yang berbalik, menunjukkan seringai mengejek atau menggeol-geolkan
pantat mereka di situ.
Pernah, dengan tanpa alasan dua orang anak mengejek si sulung Affiq, “Affiq
botto’, Affiq botto’. ” Affiq emosi. Ia berseru kepada kedua anak ini, “Pulang ko, pulang!”
Memang bukan ditujukan kepada saya atau orang dewasa lain di dalam rumah. Ejekan
itu ditujukan kepada Athifah atau Affiq atau Ifa – keponakan saya. Tapi saya
tak suka.
"Dengarkan Saya!" Sumber: ishouldhavesaid.net |
Memukul pintu dan ngeyel
Ketika Athifah sedang tak mau bermain bersama, anak-anak yang datang tak
kami bukakan pintu. Beberapa kali mereka tetap memaksa masuk. Saat itu saya
biarkan Athifah sendiri yang mengatakan “tidak” kepada teman-teman kecilnya. Anak-anak
itu keukeuh, masih berdiri di teras. Saya
memperhatikan saja ulah mereka dari balik kaca jendela yang berwarna agak gelap.
Mereka tak sadar sedang diperhatikan. Saya melihat salah seorang dari
mereka – sebut saja namanya Ina, berbisik kepada Dita. Ina kemudian memberikan
sapu ijuk yang biasa tersandar di dinding teras kepada Dita. Oleh Dita, ujung
tangkai sapu itu dipukul-pukulkannya ke pintu. Rasanya tanduk di kepala saya hampir
menyembul. Saya membuka pintu dan berkata dengan tegas kepada mereka, “Tidak
main ya hari ini. Tidak boleh masuk. Kalian tidak sopan, pukul-pukul rumah
orang pakai sapu. Pulang saja!”
Beberapa kali, jika saya menolak mereka karena Athifah sedang tak
enak badan. Anak-anak itu malah ngeyel,
“Mana bede’ Athifah, coba liat.” Mata mereka begerak-gerak
memeriksa sudut-sudut rumah yang terjangkau oleh tatapan mereka, seperti tak
percaya diberi alasan itu.
Tak cukup yang diberi
Beberapa kali jika sedang ada makanan di rumah, kami membaginya kepada
anak-anak ini. Namun memberikan mereka makanan seperti ujian terhadap kesabaran
dan keikhlasan saja. Jatah untuk mereka sering kali tak cukup. Mereka minta
lagi. Jika diberi tambahan, mereka minta lagi. Begitu terus, padahal tak selalu
kami berkelimpahan. Makanan yang ada perlu disimpankan untuk anggota rumah yang
belum menyantapnya.
Malah ada yang berani, nyelonong masuk sampai ruang makan dan membuka-buka
makanan yang tertutup tudung saji atau membuka toples yang berada di atas meja
makan. “Minta,” ujarnya sembari menyambar makanan tanpa menunggu persetujuan.
Saya ternganga menyaksikannya. Maka dari itu saya harus tegas mengatakan kepada
mereka, “Tidak boleh lagi. Tinggal sedikit. Disimpankan untuk orang rumah!” Pernah, mereka ngeyel, berusaha masuk ke ruang makan untuk memeriksa sendiri isi toples kami!
***
Nah, atas semua alasan inilah maka saya menciptakan image galak bagi mereka. Sekarang ini mereka kelihatannya fine-fine saja. Tetap saja mereka balik
ke rumah untuk bermain bersama Athifah. Walaupun saya galak, bila saya keluar
rumah dan berpapasan dengan mereka, ada saja yang menegur saya sembari
tersenyum, “Mamanya Athifah.” Anak-anak
ini masih bisa tulus kepada saya, tanpa beban dan prasangka sama sekali.
Orangtua mereka begitu permisif akan sikap-sikap yang mereka perlihatkan di
rumah kami. Sayang saya tak bisa sepermisif orangtua mereka. Sering kali
rasanya menentang nurani memberlakukan aturan bagi mereka. Tapi saya tak bisa menerima
pembenaran bahwa “mereka kan masih
anak-anak”. Karena menurut saya justru saat
anak-anaklah mereka lebih mudah dibentuk. Kalau nanti – saat remaja baru
mau dibentuk pasti akan lebih sulit.
Kira-kira sepuluh tahun ke depan bila ditanyakan pendapat mereka tentang
saya, apa ya yang akan mereka katakan? Dan menurut Anda, pantas atau tidak saya
tegas atau galak pada anak-anak ini?
Mudah-mudahan anak-anak saya tak bersikap seperti dalam
kisah di atas saat berada di rumah orang.
Tolong tegur mereka jika Anda mendapati mereka berlaku
tak baik.
Affiq, Athifah, dan Afyad, jaga etika dan etiket ya.
Makassar, 18 Mei 2013
Catatan:
Botto' = bau
Silakan juga
disimak:
Share :
ahahahaha,,,gambar yang gigit laptop bikin saya ngakak Sob...
ReplyDeleteGemas soalnya hahaha
DeleteMemang ya mbak, anak-anak harus terus diingatkan, karena hal-hal sepele jika terus menerus dilakukan akhirnya akan menjadi kebiasaan :)
ReplyDeleteIya mbak. Malah harus super tegas dan membuat saya jadi kelihatan gualak hahaha
Deletewahh... teman main anak2 mb sungguh luar biasa ya nakalnya... klo sya pke aturan mainnya, hanya sore boleh main selepas mengaji... setelah itu gag blh main lagi..
ReplyDeleteDi luar kebiasaan :|
DeleteMemang harus diberi aturan ya ...
Kita punya masalah sama. Hmm...
ReplyDeleteada dua tambahan yang tak kusuka; bermain tanpa memperhatikan waktu, dan ketika datang tidak mengucapkan salam. Tiba2 nylonong masuk. GEMES.... rasa2nya pengen gigit laptop juga. hahaha
Iya mbak, ada saya tulis di atas ttg waktu, yaitu mereka kalo main pindah2 rumah. Dari rumah A ke rumah B, ke C, dst dari pagi sampai malam. Bbrp kali ke rumah, sudah main paginya eh sorenya muncul lagi. Jelas saja saya tolak.
DeleteKalo super GEMES rasanya pingin gigit lemari, kulkas, kursi juga hahaha
Sama Bu, anak saya Afghan and the gank, habis mainan semua dikeluarin, gangsing, crazy bird, ps, mobil2an semua berserakan, dan habis itu kadang keburu main sepedah atau bola, ditinggal berserakan gitu aja..
ReplyDeleteWaduh kasihan yang merapikan ya mas ....
Deletedulu adikku yg bungsu juga gitu, lama-lama di kasih tau ngerti trus pindah lapak main di teras tapi tetep aja berantakan..tapi jgn dibiasakan juga kak niar :)
ReplyDeleteAthifah ngerti, tapi masih harus diingatkan berkali2. Untungnya dia mengerti bila tidak merapikan bakal dihukum, dan dia bisa menerima hukumannya :)
Deletekalau saya ketika ngadepin keponakan harus memasang tampang galak biar nurut buat beresin mainan. giliran yang nyuruh bapak atau ibu mereka sendiri, dengan nada lempeng saja mereka nurut hiks hiks
ReplyDeleteBiasanya malah kebalik lho mbak. SAma orangtua sendiri anak2 tidak mau menuruti tapi sama tantenya mau :)
DeleteKata ibu saya kak, anak2 itu seperti selembar kertas putih. Tergantung orang tua dan gurunya mau menulis/menggambar diatas kertas putih itu seperti apa. Kalau kita menulis / menggambar diatas kertas itu sesuatu yg baik atau gambar yg indah maka akan menghasilkan tulisan yg baik / gmbr yg indah. kalau kita menulis / menggambar seadanya, corat-coret yg tak jelas maka hasilnya pun akan menjadi seadanya dan tidak indah.
ReplyDeleteYup, benar Nunu :)
Deleteya ampun, smakin anak besar tantangannya smakin mengerikan ya, tmsk melindungi mereka dr kbiasaan buruk tmn2nya..
ReplyDeleteIya mbak. Setiap masa perkembangan anak2 ada tantangannya dan semakin mengerikan karena pengaruh lingkungan dan juga media
DeleteKadang2 kita harus galak sama anak2 itu mbak, biar ga terbiasa. Tapi ada juga yg cuek dan tetep aja melakukannya dan kadang ditiru oleh teman yg lain.
ReplyDelete10 tahun lagi mungkin mereka akan bilang, tante dulu galak lho. . . Hehe
Iya mbak, anak2 kan sukanya meniru orang2 di dekatnya.
DeleteBiarlah kalau menreka mengatakan saya galak .. daripada saya tersiksa hehehe
satu kata: keren!
ReplyDeletejarang lho mbak orang tua jaman sekarang ada yg mendidik sprti mbak, begitu perhatian pada hal2 norma n kebiasaan yan kecil2, dan hal2 trsebut malah yg menjadi dasar pembentuk kepribadian yg sebenarnya. keren mbak! salut! :)
Waah mbak, msh banyak koq sepertinya, apalagi teman2 blogger. Terimakasih ya dah mampir :)
DeleteWaduh Bund, anak-anak itu sudah parah banget >_<
ReplyDeleteSaya cenderung setuju sama kalimat ini : "Karena menurut saya justru saat anak-anaklah mereka lebih mudah dibentuk. Kalau nanti – saat remaja baru mau dibentuk pasti akan lebih sulit."
Padahal masih berusia 6 - 7 tahun lho, menurut mas Mamet sudah parah banget. Mudah2an ke depannya tidak makin parah :|
DeleteSuami saya yang lebih "galak" pada anak, tapi sebenarnya memang tugas orang tua untuk mendidik dengan baik sejak kecil, semakin besar anak, semakin susah untuk membentuknya.
ReplyDeleteDan apa yang kita tanam saat ini, akan kita tuai dikemudian hari.
Lingkungan seringkali memang membawa dampak positif sekaligus negatif.
Anak saya 4,5 tahun yang masih duduk di TK kecil, pulang dari sekolah mengatakan."Mi, istri Yahya ada 2 Ajeng dan Nikita."
What? Istri? Dua? Oh Nooooo.... dapat dari mana tuh?
Namun saya kaget juga dengan istilah istri bukan pacar. (anakku dijalur yang benar cari isti bukan cari pacar, tapi tak terbayangkan diucapkan oleh anak sekecil itu)
Sepertinya lebih galak saya dibanding suami. Tapi untuk hal yang serius, kami berdua galak. Yang jelas diusahakan kompak, jangan sampai satunya galak satunya lagi membela si anak.
DeleteWaduh, "istri" ... anak2 ya, kalau istilah cepat sekali. Anak saya yang sulung (kelas 6) pulang sekolah pernah tiba2 nanya, "Apa itu film bokep?" hadeh ....
Astaghfirullah hal adzim
ReplyDeleteSampai gemes sendiri saya Mbak baca ini
Duh, anak2 itu kok keterlaluan ya
Tapi memang di linkungan saya juga seperti itu, klo dikasi tahu malah ngeyel
Mereka kan suka manjat pagar kita, takutnya jatuh
Lah malah niru2in ucapan kita ckckck
Syukurlah, bukan hanya saya yang gemas :D
DeleteBegitulah mbak Esti. Buat orangtua mereka sepertinya itu wajar. Padahal bikin orang lain geregetan.
Waah, di sana juga begitu ya. Seperti komen mbak Susi juga di atas. Berarti memang ada tipikal anak2 seperti ini ya.
alhamdulillah temen2 anak2 sy di lingkungan rumah gak seperti itu, sih, Mbak. Tp pernah ada 1 anak yg terkenal kasar bgt. Biasanya sy memberi pesan ke anak sy aja, kl mereka mau ngajak temannya main hrs ikutin peraturan yg udah sy buat. Tp sy minta anak sy yg memberi pesan. Alhamdulillah sejauh ini teman2 anak2 sy nurut. Termausk yg kasar itu, kalau di rumah sy sopan hehe
ReplyDeleteSyukurlah mbak. Kalo anak2 yang saya ceritakan ini memang butuh saya untuk campur tangan. Mana mereka dengar kalo Athifah yang ngomong. Ada yang bertindak sebagai "pimpinan" di antara mereka yang suka ngajak2 teman2nya untuk mengeksplorasi rumah.
DeleteYah, mau gimana lagi. Itulah lingkungan terdekat. Tidak semua sih, tapi mereka ini yang "dekat" dengan Athifah di sekitar sini.