Tak dipungkiri, ada kesan “lebih” bila melihat seorang polisi dalam pakaian
dinasnya. Sepertinya dalam pakaian itu disematkan “wibawa” selain
lambang-lambang dan “aksesoris” yang ada di seragamnya. Terlebih lagi bila
melihat ada polisi yang bersikap ramah dan sopan kepada warga, bertambahlah
wibawanya di mata saya.
Ketika saya menemani ibu mertua ke sebuah bank pemerintah beberapa waktu
lalu, saya terkesan dengan sosok polisi yang membukakan pintu bagi kami. Bagitu
melangkah, langsung disambut wajah sumringahnya. Polisi itu tersenyum lebar
sembari mengucapkan salam dan mengangguk. Ia bertanya dengan ramah, “Mau tarik
tunai?”
Saya mengiyakan. Pak polisi ramah yang bertubuh gempal itu kemudian
menunjukkan tempat untuk mengambil nomor antrian. Tempat mengambil nomor
antrian untuk nasabah yang hendak tarik tunai berbeda dengan yang hendak
bertemu customer service, kalau salah
mengambil nomor antrian ribet juga.
Kepada nasabah lain, pak polisi ini juga ramah. Ia mendengarkan keluhan
seorang ibu yang salah mengambil nomor antrian dengan sikap takzim. Kemudian tangan
kanannya tersilang di dada, ia membungkuk dan mengangguk-angguk mendengarkan
ibu tua itu bicara hingga selesai. Lalu ia menjawab dengan sikap yang amat
sopan.
Saking terkesannya, saya mengambil gambar pak polisi ini sembunyi-sembunyi
dengan kamera HP. Kalau mengambilnya terang-terangan, takutnya tidak diizinkan.
Saya teringat sebuah kejadian beberapa tahun lalu. Di sore yang gerimis
itu, saya menemani ibu ke toko yang menyediakan layanan foto kopi. Becak langganan
yang kami tumpangi parkir di depan toko. Pak tua pengemudi becak berdiri di
dekat pintu, memperhatikan kesibukan yang sedang berlangsung di dalam toko
sambil menunggui kami. Rencananya kami masih menggunakan jasa pak tua itu mengantar
ke tempat lain hingga pulang ke rumah.
![]() |
Polisi yang baik itu mendengarkan keluhan seorang ibu dengan takzim |
![]() |
Pak polisi yang baik itu bergerak kembali ke arah pintu untuk berjaga |
Seorang polisi muda berseragam, berwajah unyu keluar. Dengan gaya otoriter,
ia memerintahkan kepada pak tua itu untuk membeli sesuatu. Saya lupa barang apa
yang dimintanya, tapi saya mengingat sekali aksi otoriternya. Saya terperangah.
Arogan sekali polisi muda ini, ia menggunakan kata sapaan ko yang hanya layak ditujukan kepada yang sebaya atau lebih muda.
Apa hak dia menyapa orang tua yang tak dikenalnya dengan kata ko (kamu)? Dikiranya sebagai polisi ia
boleh saja berlaku tak sopan?
Sebagai orang muda, adalah adat Bugis-Makassar untuk menggunakan kata ganti
ki’ atau kita’ yang lebih sopan untuk orang yang usianya lebih tua. Gemas
saya, selain itu harusnya kan ia
meminta permisi kepada kami sebagai penumpang becak.
Tukang becak itu mengangguk hormat dan berlalu (huh kebalik, harusnya kan polisi
muda itu yang mengangguk hormat pada orang tua). Menunggu bermenit-menit membuat
kegemasan saya kepada polisi unyu ini semakin menjadi. Ibu saya terlihat excuse saja kepada polisi muda itu
tetapi saya tidak. Saya sengaja menatapnya sambil mendelik. Dengan harapan ia
salah tingkah.
Biasanya saya agak takut-takut bertemu polisi berseragam tapi kali ini
tidak sama sekali. Bermenit-menit polisi itu saya beri jurus tatapan mendelik.
Kalau ia berkeberatan dipelototi dan bertanya, saya bisa memberikannya argumen
jitu. Akhirnya ia memutuskan menyusul tukang becak tua itu, entah karena risih
menangkap tatapan seram (sok seram tepatnya) yang saya lemparkan padanya atau karena ia insyaf. Hhhh, dari tadi kek. “Kamu kan naik
motor, masih muda pula. Tak ada salahnya menerobos hujan gerimis ke toko yang
jaraknya tak jauh. Daripada bikin dosa menyuruh-nyuruh orang tua itu,” saya
membatin.
Melihat polisi model begini, luruh sudah wibawa yang sebenarnya tadi
disandangnya bersama seragamnya. Sayang sekali bila aparat negara tak menjaga
sikapnya di tengah masyarakat. Apalagi bila mendengar berbagai kejahatan dan
kenakalan yang dilakukan banyak oknum polisi. Bukannya menjaga, mereka malah
merusak tatanan masyarakat.
Kembali kepada pak polisi di bank yang saya ceritakan sebelumnya. Andai
saja semua polisi seperti dia, yang melayani masyarakat dengan sepenuh hati.
Subhanallah, pasti banyak orang yang dengan senang hati mendo’akannya agar
hidupnya dan keluarganya berkah dan rezekinya melimpah. Do’a seperti ini, insya
Allah dikabulkan.
Makassar, 19 Mei 2013
Silakan juga
disimak:
Share :
Ikut mengaminkan bagi orang-orang yang berhati mulia.
ReplyDeleteSukses selalu
Salam wisata
Aamiin. Terimakasih mas
DeleteKalo saya biasa pak satpam yg bersikap ramah di bank hehe.
ReplyDeleteKebanyakan pak polisi sikapnya angkuh jadi berasa aneh ya mbak kalo ada yg ramah gitu :)
Kebetulan di bank ini, waktu saya datang satpamnya lagi di dalam mbak. Jadi pak polisi ini yang menyambut. Iya, berasa aneh, rasanya koq kontras ya hehehe
DeleteWah, ternyata banyak juga ya yang mengikuti 8 minggu nge-blog. Koq bunda jadi ketinggalan info ya, hiks, hiks. (hayo3x, bunda jangan sok penasaran gitu deh, qiqiqi...hati kecil bunda mengingatkan.). Tulisan diatas. ketika sampai pada cerita polisi muda, jadi kheki banget. Tapi memang tidak sedikit yang bertindak seperti, seolah merasa dengan seragamnya (mereka) boleh bertindak sewenang-wenang. Mudahan bisa memenangkan lomba ya, Niar. Do'a dari bunda.
ReplyDeletePadahal saya infokan di BaW lho Bunda. Di grup sering ada info2 lomba :)
DeleteAamiin Bunda, terimakasih do'anya :)
petugas yang berseragam sejatinya adlah pelayan masyarakat, maka tak pantas jika bersikap arogan.
ReplyDeleteJadi ingat ada seorang bapak yang marah-marah datang ke kantor kami meminta dicarikan berkas pendaftaran haji Ibunya beberapa tahun yang lalu, diantara 3500-an tumpukan berkas yang ada. Padahal sebenarnya tiap jamaah telah menyimpan satu lembar arsipnya juga.
"Bapak, Ibu ini kan pelayan masyarakat! dan memang sudah menjadi tugasnya untuk melayani kami!."
Kami hanya tersenyum miris... ini namanya "masyarakat" yang arogan, hehehe....
"Iya pak, kami carikan, tapi beri kami waktu."
Ya namanya aza keren PNS namun sejatinya tetaplah pelayan masyarakat :-)
Ck ck ck .... mau minta tolong marah2 ya. Padahal bisa balik marah juga tuh mbak, lha kenapa berkas kopinya ndak dijaga :)
Deletekebaikan selaku mndtngkan simpati... dan keburukan pstinya akan mndtngkan umpatan..
ReplyDeleteIya .. benar sekali
DeleteDi duni ini tidak ada yang sama mbak yach...seperti pisang setandan tidak semuanya matang barengan..cerita ini kayaknya ada di mana2 dari kalangan bawah hingga kalangan atas,
ReplyDeleteSaya penah mengalami, seorang ibu penjual ikan asin yang begitu ramah...tetapi disatu sisi ada penjual bawang dan lombok yang terkesan angkuh.. kita mau nawar harga dia jawab "harga bawang lagi naik! kok main tawar2!"
Dan masih banyak cerita-cerita lain mbak..hanya saja kita tidak mau menceritakannya, saya yakin..profesi apapun yang kita sandang pada dasarnya kita adalah "Pelayan" tapi bukan sebagai "Pemuas" ;)
Iya bli, di mana-mana ada. Tapi masih jamak di negara kita, mungkin juga di negara lain, ada orang2 dalam profesi mereka yang "diharap lebih" oleh sekelilingnya. Seperti polisi, tentara, dan guru misalnya. Orang masih bisa excuse kalo mereka melakukan "kesalahan sikap" bila itu warga biasa seperti tukang becak atau pengangguran. Kalo polisi yang melakukannya, waduh langsung deh kesannya gimana gitu :)
DeleteSetuju ya, siapa pun kita, kita adalah pelayan bukan pemuas smua orang ...
selama ini, kalau ketemu Polisi yg ramah ya pas ngurus SIM itu Mbak
ReplyDelete#wah, salut Mbak Niar ikutan Angingmamiri, sukses ya Mbak
Sukses juga buat mbak Rie :)
Deletecoba semua polisi seperti yang ada di Bank itu ya kak, kebanyakan sih malah kayak si polisi unyu ini. jauh-jauh dari slogan nya 'melayani masyarakat' , masyarakat malah maless sama polisi...
ReplyDeleteIya, coba seperti itu semua ya ....
Delete