“Kaku, suram, dan usang,” adalah kesan saya terhadap perpustakaan sekolah sejak duduk di bangku
sekolah dasar. Perpustakaan adalah tempat yang paling sepi di sekolah/kampus.
Kalah jauh dengan kantin dan WC. Penataan ruangan terkesan seadanya. Buku-buku
yang dipajang tak menarik tampilannya dan tidak update.
Saat duduk di kelas 6 sekolah dasar, ada satu hari dalam seminggu yang
disebut “hari buku”. Oleh wali kelas, kami dibolehkan membawa buku cerita dari
rumah ke sekolah. Kami boleh saling bertukar buku dengan teman-teman sekelas
dan diperkenankan membacanya selama beberapa menit. Sayangnya, kami tak diajak
untuk mencintai perpustakaan. Selama 6 tahun bersekolah di situ, tak pernah
sekali pun saya membaca di dalam ruang perpustakaan.
Waktu kecil, saya bukanlah tergolong anak kutu buku tapi saya terbiasa
membaca majalah Bobo dan Ananda. Orangtua saya juga membelikan buku-buku cerita
yang jauh lebih menarik dibandingkan dengan yang ada di perpustakaan sekolah.
Pingin punya ruang perpustakan pribadi seperti ini Sumber: http://ideashomedesign.net |
Begitu seterusnya kesan saya tentang perpustakaan hingga di bangku
perguruan tinggi. Di kampus, perpustakaan hanya menjadi tempat mencari
literatur/referensi bagi mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir atau
tempat yang tenang untuk mengerjakan tugas mata kuliah. Malah karena sepi,
perpustakaan kampus dijadikan tempat pacaran pasangan-pasangan yang tengah
kasmaran walaupun mereka harus berbicara dengan cara berbisik-bisik di situ.
Perpustakaan yang menarik bagi saya adalah perpustakaan wilayah Makassar
yang terletak di jalan Sultan Alauddin, depan kampus Unismuh. Saat duduk di
bangku SMA saya sering bolak-balik ke perpustakaan yang dikelola oleh
pemerintah ini. Biasanya untuk mencari referensi berkenaan dengan tugas sekolah
pada beberapa mata pelajaran. Saya suka ke sini bukan karena penataan gedungnya
yang menarik, sama sekali bukan. Penataan gedungnya biasa saja, seperti
layaknya bangunan pemerintah. Koleksinya yang amat beragam menarik untuk
ditelusuri, termasuk buku-buku fiksi.
Khusus bagian buku-buku anak, penataan ruangannya lebih “user friendly” – meminjam istilah dunia
IT. Ruangannya (saat itu) terlihat diusahakan ditata semenarik mungkin bagi
anak-anak. Buku-buku anaknya pun menarik, sebagaimana buku-buku anak yang
beredar di toko-toko buku.
Saya masih ingat, saat duduk di kelas 1 SMA ada tugas meresensi buku.
Saya memilih sebuah novel detektif karya Agatha Christie. Selanjutnya setiap
minggu atau setiap dua minggu saya kembali lagi ke perpustakaan itu untuk
meminjam novel-novel karya Agatha Christie lainnya. Saya kemudian seperti
menjadi mabuk kepayang dengan novel-novel karyanya. Sepertinya puluhan novel
saya lalap sampai merasa super eneg.
Sebenarnya ada beragam novel yang menjadi koleksi perpustakaan wilayah,
kebanyakan bernuansa romantis tapi saya tak tertarik. Saya tak suka membaca
fiksi yang kental cerita dan konflik percintaannya. Saya hanya tertarik dengan
novel-novel yang ditulis oleh Agatha Christie. Dan saat rasa super eneg itu menghampiri saya, saya jadi tak
begitu menyukai membaca fiksi, hingga saat ini. Perpustakaan wilayah di
kemudian hari juga menjadi tempat pilihan saya untuk mencari bahan referensi
untuk tugas kuliah karena koleksinya yang lumayan banyak dan tidak begitu usang.
Setelah menikah di tahun 1999 saya langsung mendampingi suami di Riau.
Di sana kami bertempat tinggal di kawasan perusahaan. Fasilitasnya lengkap,
bukan hanya tempat makan dan hiburan, perpustakaan pun ada. Asyiknya,
perpustakaannya dilengkapi AC dan penataannya pun menarik. Pengetahuan saya
mengenai pengasuhan anak ter-update
di perpustakaan perusahaan karena koleksi majalah Ayahbundanya yang lengkap.
Seingat saya, semua bundelan majalah yang tersedia sempat saya pinjam selama
menanti kelahiran anak pertama di rantau.
Atau yang seperti ini .. aih keren sangat Sumber: http://tktdw.com |
Di masa sekarang, salah satu perpustakaan yang pernah saya datangi
adalah perpustakaan di kantor BaKTI. BaKTI atau Bursa Pengetahuan Kawasan Timur
Indonesia adalah sebuah LSM yang membidangi pembangunan di kawasan timur
Indonesia. Ruang perpustakaannya didesain cukup menarik, berpendingin pula.
Buku-buku koleksinya tergolong baru. Di dalam ruangan itu terdapat beberapa
unit komputer dengan fasilitas internet (kalau tidak salah ingat ada 10 unit) yang
bisa diakses gratis oleh masyarakat setiap hari kerja. Waktu itu saya ke sana
untuk mencari referensi tentang adaptasi iklim guna mengikuti sebuah lomba
blog.
Perpustakaan tentunya tak bisa berjalan fungsinya tanpa pustakawan alias
penjaga buku. Biasanya, pustakawan yang saya temui terlihat sepintas sama saja,
duduk di kursi di belakang sebuah meja, menunggui orang-orang yang datang
meminta tanda tangannya supaya bisa membawa pulang satu atau dua buah buku. Di
saat perpustakaan tutup, mereka mengembalikan buku-buku yang berserakan di atas
meja ke rak-raknya. Kadang-kadang juga ada pustakawan yang nyebelin, ngobrol dengan rekannya atau ngobrol di telepon dengan
suara keras. Pengunjung tidak boleh ribut, dia tak sadar sedang ribut sendiri.
Oya, ada satu perpustakaan mini yang sering saya datangi akhir-akhir
ini. Perpustakaan swadaya pak Haryadi – seorang kakek penggiat pendidikan non
formal (kelompok bermain dan TPA untuk anak-anak dan orang dewasa) di dekat
rumah. Koleksi bukunya sudah ratusan. Terdiri atas buku-buku pribadinya,
sumbangan masyarakat yang mampu, dan sumbangan dari pak lurah kami. Sayangnya
pengunjungnya tak banyak, palingan itu-itu saja. Di antara sedikit orang yang
suka meminjam buku di situ adalah saya dan suami saya.
Jangan-jangan malah hanya saya dan suami saja. Pertama dan kedua kali
meminjam buku, pak Haryadi meminta saya mencatat judul-judul buku yang saya
pinjam. Terakhir, saya meminjam 4 buah buku, tak ada satu pun yang minta dicatat
olehnya. Saat saya mengatakan, “Boleh pinjam, Pak?” Ia mengangguk dan tak
meminta saya mencatatkan judul keempat buku itu.
Sayang juga, ketika ada tindakan swadaya yang menyelenggarakan
perpustakaan, penyelenggaraannya justru terbentur pada minat baca masyarakat
sekitar yang teramat minim. Ibu-ibu yang sedang menunggui anak-anak mereka di
kelompok bermain misalnya, lebih suka bergosip daripada membaca buku. Duduk
membaca di dekat mereka pada suatu pagi, membuat saya merasa menjadi anomali.
Makassar, 21 Juni 2013
Secuil dari tulisan ini diikutkan Birthday Giveaway di blog Luckty. GA-nya hanya menuliskan komen di blog Luckty koq, bukan bikin tulisan di blog, saya saja yang kerajinan. Bagi yang berminat silakan klik banner-nya di side bar blog ini. DL-nya besok looh ^__^
Share :
Wow, makasih yaaaa... :D
ReplyDeleteCerita lengkap aku di perpustakaan ada di dua link ini:
Label Pustakawan http://t.co/KUDgcTXV
Aroma Buku http://t.co/o3zqXWNU
Makasih Luckty :D
DeleteSaya sudah berkunjung yang link atas. Kisah yang bagus. Salut buatmu ya :)
Perpustakaan?? justru itu tempat yang langka aku kunjungi kok kak.. *malu* wah salut tuh buat Pak haryadi
ReplyDeleteWew, koq langka sih? :)
Deleteane kecilnya nggak terlalu suka baca buku. Perpustakaannya juga kurang memadai. Tapi kalau urusan baca komix nomor satu hehehe
ReplyDeleteYang penting suka baca dulu. Sekarang, masih suka baca komik? :)
Deletesaya pngn punya perpustakaan pribadi yang mini juga gpp..insyaallah akan segera terwujud ...ulasannya lengkap sekali kak niar :)
ReplyDeleteSubhanallah .... indah sekali bila terwujud. Mudah2an tak ada kendala ya Tia. Aamiin :)
DeleteCita-cita saya juga pengen punya perpustakaan pribadi yang dipersilahkan umum untuk menikmatinya. Betapa senangnya berbagi. Salam membaca.
ReplyDeleteMudah2an terwujud secepatnya ... aamiin :)
Deletepadahal perpus adalah salah satu tempat yang gue cinta... tapi miris aja ngeliat di indonesia kalo dibndingin di negara lain... :(
ReplyDeleteBudayanya beda ya. MEmbaca belum membudaya di negara kita
Deleteaku juga kebanyakan baca buku dalam bentuk online mba, soalnya mahasiswa harus hemat pengeluaran :)
ReplyDeleteBaguslah kalo betah melihat layar lama2, bisa berhemat pula :)
Deletesama ya mbak kepingin punya perpustakaan
ReplyDeleteToss mbak Lid :)
Deletewaktu masih kuliah saya termasuk yg suka nongkrong di perpustakaan. Adem tempatnya.
ReplyDeleteSy pengan juga py perpustakaan di rumah, tp blm kesampean :)
Perpustakaan tempat yang adem ya mbak :)
Deletehai mbak apa kabar??
ReplyDeletelama tak bersua kemari..
wah, kadang aku males ke perpust ya gtu... pernah dimarahin temnku klo masuk ke perpus lho. jadi perpus SMA sepi. klo perps didaerahku malah belum pernah kesana.
kesana katanya kadang rame pada rebutan online.ehehhehe...
aamiin semoga punya sendiri perpustkaan mini., sya doakan mba.
Loh koq dimarahin? :D
DeleteAamiin terimakasih ya Annur