Sekali lagi, sebuah
pelajaran hidup tersaji di depan saya …
Seorang pemuda tampan,
berpostur sedang dipapah seorang lelaki tegap. Wajahnya memperlihatkan mimik
menahan sakit yang teramat sangat sementara kakinya tak kuasa berjalan tanpa
bantuan papahan orang lain. Kakinya kesakitan.
Seorang perempuan paruh
baya berjilbab, ibu pemuda itu ada di dekat putranya. Saya meringis mengamati
wajah sang pemuda, mencoba menyelami rasa sakit yang membuatnya “teraduh-aduh”.
Pemuda itu tak sadar
merengek, memanggil ibunya. “Sabar ko, istighfar!” seru sang ibu,
menenangkan putranya. Pemuda itu mencoba merebahkan kepalanya di pangkuan
ibundanya. Kalau dalam kondisi sehat pasti lebay sekali kelihatannya.
Kemudian pemuda itu mengeluarkan suara erangan yang lebih keras. Sang ibu tak
henti menenangkannya.
Saya tergelitik untuk
bertanya, “Berapa umurnya anak ta’, Bu?”
“Dua puluh satu tahun,”
sang ibu menjawab dengan ramah.
Kemudian mengalirlah
cerita dari bibir ibu itu, tanpa saya minta, “Anakku ini sebenarnya sudah
kuliah di Sekolah Pelayaran tapi dia berhenti, tidak tahu kenapa. Kalau malam
di suka nongkrong sampai tengah malam di depan rumah. Tengah malam itu,
tiba-tiba muncul seorang anak kecil dan menyerang kakinya. Sejak saat itu dia kesakitan.”
Lewat tengah malam, ada
anak kecil toba-tiba muncul di dekat beberapa anak muda yang sedang nongkrong?
Kalau dipikir ini tak masuk akal. Tapi begitulah
yang dilihat dan dirasakan pemuda itu.
“Sudah berapa hari
begini, Bu?” tanya saya lagi.
“Tiga hari.”
Lalu ibu itu
melanjutkan, “Pernah dia menangis-menangis katanya ada yang mau ambil
kepalanya.”
Duh, membayangkan anak muda segagah itu ogah kuliah
padahal orangtuanya mampu, nongkrong tidak jelas semalaman di depan rumah, dan
sekarang sedang terkena penyakit aneh … hati saya merasa amat miris. Hal ini makin
menyadarkan saya, tak mudah menjadi orangtua. Tak mudah menjadi ibu. Saya
menyembunyikan mata saya yang mulai basah dari pandangan orang-orang yang ada
di situ. Ya Allah … bimbing saya supaya bisa menjadi ibu yang baik bagi
anak-anak.
Seorang bapak tua yang juga menyaksikan
kejadian itu dan mengenal baik kedua anak-beranak itu menjadi tempat curhat
saya, “Saya takut, Pak melihat yang seperti itu. Karena Saya juga punya anak.”
“Jadi orangtua itu memang
susah, memang repot. Jadi orangtua itu harus sabar,” nasihanya bijak. Bapak tua
itu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Bukannya Saya mau menjelek-jelekkan. Tapi
ibu itu, dulu terlalu santai dalam membesarkan anaknya. Bagaimana
anaknya bisa istighfar kalau tidak terbiasa istighfar?”
Ingatan saya terhubung
kepada orang-orang yang telah dewasa bahkan sudah bisa dibilang tua tetapi
masih kekanak-kanakan dalam berperilaku. Ada yang tak henti menyusahkan
orangtuanya dan keluarga besarnya, dan mereka sama sekali tak merasa bersalah.
Dari berbagai pelajaran
hidup, kata kunci yang saya genggam, yang memegang peranan penting dalam
pengasuhan anak adalah “pembiasaan”. Laurence Steinberg, Ph.D., profesor
psikologi dari Temple University AS mengistilahkannya dengan “pengasuhan yang penuh pertimbangan”. Atau bisa juga diistilahkan dengan “pendidikan karakter”.
Ketiga istilah dalam
tanda petik itu bermuara pada pengertian bahwa orangtua harus mempunyai tujuan
dalam melaksanakan setiap step dalam pengasuhan anaknya dan
melaksanakannya sejak dini, berusaha menjadikannya sebagai kebiasaan sang anak
supaya terbentuk karakter yang melekat kuat dalam diri anak.
Bertahun yang lalu, saat
membaca uraian tentang kecerdasan emosional yang bisa dipecah ke dalam 5
wilayah, saya tersentak. Betapa tak mudah menjadi seorang ibu. Bila saya hendak
membentuk karakter anak-anak saya yang dimaktub dalam kelima wilayah tersebut,
maka saya harus terlebih dahulu memilikinya dalam karakter saya!
Mari kita simak kelima wilayah
kecerdasan emosional itu[i]:
- Mengenali emosi diri (memiliki kewaspadaan akan perasaan diri sendiri tidak mudah dikendalikan oleh emosinya sendiri)
- Mengelola dan mengekspresikan emosi (mampu dengan cepat menguasai perasaan-perasaan negatif yang timbul, dan bangkit kembali ke kehidupan emosi yang normal)
- Memotivasi diri sendiri (tekun, gigih, dan sigap mencari solusi kehidupan, tidak mudah menyerah)
- Mengenali emosi orang lain (penelitian pada 1011 anak yang memiliki kemampuan ini merupakan anak yang secara emosional paling mantap. Mereka tergolong paling populer di sekolah, lebih berhasil di sekolah meski IQ rata-rata mereka tidak lebih tinggi dari anak yang kurang mampu membaca pesan non verbal)
- Membina hubungan (dalam situasi pergaulan sosial, orang yang memiliki kemampuan ini dikenal sebagai kawan yang menyenangkan, mereka membuat orang di sekitarnya merasa akrab dan aman).
Penanaman nilai-nilai sedini mungkin Gambar dari: www.republika.co.id |
Mana mungkin saya bisa
mengajarkan kelima hal ini kepada anak-anak saya bila saya tak memilikinya?
Begitu pun dalam mengajarkan shalat dan tilawah, tentu saja saya harus menjadi
orang yang menegakkan shalat dan melakukan tilawah setiap harinya jika ingin
anak saya juga melakukannya. Ada cerita, seorang ibu menyuruh putranya yang
sudah duduk di bangku SMA untuk shalat. Sang ibu malah di-counter balik
oleh putranya, “Mama suruh Saya shalat padahal Mama sendiri tidak shalat!” Nah lho.
Dalam buku Ensiklopedia
Perkembangan Anak disebutkan bahwa sampai batasan tertentu, seberapa baik
anak-anak mengendalikan kekecewaan emosional bergantung kepada kepribadiannya.
Mereka juga belajar dari orangtuanya, jadi cobalah mengendalikan emosi Anda
sendiri di depan anak Anda[ii].
Menyadari tanggung jawab
dan tantangan masa depan anak-anak yang teramat besar membuat saya menyadari betapa lemah diri saya. Saya makin
yakin, tidak akan mampu menjalaninya tanpa bantuan dari Sang Maha Kuasa. Untuk
itu, do’a saya panjatkan setiap hari untuk kebaikan anak-anak saya.
Di antara segala
kenaifan yang saya miliki, saya pun berusaha sebisa mungkin menanamkan
kebiasaan-kebiasaan baik pada anak-anak (pada si sulung (12 tahun) dan si
tengah (7 tahun) terutama), termasuk
dalam menyikapi kehidupan yang tak selalu indah. Contoh teknisnya di antaranya adalah dengan tak selalu memberikan apa yang mereka pinta dan memberi
sanksi atas pelanggaran yang mereka lakukan.
Contohnya pelaksanaannya,
antara lain:
- Selama tak membahayakan siapa pun, sesekali saya biarkan mereka menangis meraung-raung saat keinginan mereka tak dipenuhi. Karena bila setiap menangis dipenuhi, mereka belajar bahwa meraung-raung adalah cara supaya keinginan mereka dipenuhi.
- Walau harga barang di warung sebelah murah, hanya berkisar Rp. 500 – Rp. 1.000, saya meminta mereka memilih mau yang mana. Boleh hanya satu atau dua saja.
- Sanksi diterapkan kalau tak mau melaksanakan shalat. Usia 6 tahun, si sulung dan si tengah sudah dibiasakan melakukan shalat dan dikenakan sanksi jika lalai. Usia 10 tahun, hukum Islam berlaku bila dengan sengaja meninggalkan shalat. Sebelumnya, saya harus menjawab pertanyaan mereka tentang “untuk apa orang harus shalat”.
- Tidak boleh suka meminta kepada nenek, kakek, tante, atau om, meski mereka keluarga dekat. Apa lagi kepada teman.
- Meminta pertanggungjawaban, misalnya pengerjaan kewajiban sebelum menuntut hak. Seperti: harus mengerjakan semua pekerjaan rumah dan belajar dengan baik kalau ingin mengikuti kegiatan ekstra kurikuler.
- Boleh bermain HP dan komputer, tapi dengan batasan-batasan tertentu.
Konsisten menerapkannya
tidaklah mulus. Rasanya seperti perjuangan berkesinambungan yang membuat saya
jatuh-bangun. Bertentangan dengan anak-anak, walau mengiris hati rasanya, aturan
tetap harus ditegakkan. Ini untuk kebaikan mereka sendiri di masa depan. Maka
do’a senantiasa saya panjatkan agar bisa menjadi ibu yang baik.
Hasilnya bagaimana?
Alhamdulillah, terlihat perbaikan sedikit demi sedikit. Walau anak-anak sering ngeyel,
mereka bisa juga melakukannya. Mereka bisa melakukan shalat dan mengerti
bila tak semua permintaan mereka saya penuhi. Dan tentu saja, saya tetap harus
jatuh-bangun mengingatkan mereka. Jatuh-bangun mengupayakan kesabaran dan
komitmen.
Saya selalu mengingat
nasihat bapak tua itu, bahwa: jadi orangtua itu memang susah, memang
repot. Jadi orangtua itu harus sabar. Well, jalan ke depan masih
teramat panjang, semoga Allah senantiasa membimbing dan meridhai diri saya yang
penuh kekurangan ini.
Makassar, 30
September 2013
Catatan:
Berapa umurnya anak ta’,
Bu : Berapa umurnya anaknya, Bu? (dialek Bugis/Makassar)
Tulisan ini diikutkan dalam Lomba
Penulisan Blog “Peran Ibu Untuk Si Pemimpin Kecil”
[i] Seri Ayahbunda. 1997. Mengembangkan Kecerdasan Emosi.
Yayasan Aspirasi Pemuda
[ii] Cooper, C., Halsey, C., Laurent,
S., dan Sullivan, K. 2009. Ensiklopedia Perkembangan Anak (judul asli: Your
Child Year by Year). Nadia Lastiani. ESENSI – Erlangga Group.
Share :
Betul memang, menjadi ortu itu susah banget. Jihad deh.
ReplyDeleteToss mbak Ley ...
Deletetos juga. Semoga menang.
Deleteitu 5 poin wilayah kecerdasan emosional kak diih masya Allah bagaimanami itu caranya dibentuk. saya tidak yakin ada 1 poin itu melekat di saya dengan baik hahaha
ReplyDeletejadi ingatka nasihat murabbiyahku yang bilang, "kalau ingin anakmu baik sholeh-sholehah, ibunya yang harus sholehah duluan" subhanallah perjuangan dari muda
Astaga ndak PDnya ini adek satu. Masa ndak merasa kalo dirimu itu teman yang menyenangkan?
DeletePesan yang sungguh tepat dari murabbiyah ta' dek .. memang seperti itu. Begitu juga kalo mau jodoh yang baik, maka kita sendiri juga harus baik *tsaah* ^__^
Benar, tidak mudah menjadi orang tua yang baik, tapi bukan hal yang mustahil, selama kita mau berupaya dan juga berdoa.
ReplyDeleteSemoga ikhtiar di kontes ini membawa hasil seperti yang diharapkan, Mbak.
Salam hangat untuk keluarga tercinta.
Yang pasti, memang dibutuhkan upaya keras ya Abi Sabila ...
DeleteAamiin. Semoga kebaikan untuk kita semua ya. Terimakash Abi ..
semuda demi masa depan anak biar bisa menjadi pemimpin. Kalau liat anak tidak mau sekolah atau kuliah sedangkan ortunya mampu rasa nya jadi geregetan sendiri.
DeleteKalaupun anak tidak memimpin orang banyak, minimal ia memimpin dirinya sendiri. Banyak orang dewasa bahkan orang tua yang tak bisa memimpin dirinya sendiri.
DeleteIya mas, geregetan ya sementara banyak orang pingin kuliah tapi gak mampu
Subhanalloh Bund, cara Bunda Niar sungguh menginspirasi saya. Bismillah, semoga kita semua bisa menjadi orang tua yang baik, bijak dan cerdas...aamiin.
ReplyDeleteoh iya Bund, salam buat Dik Afyad, semoga menjadi anak salih, cerdas dan patuh Mama Papa...keberkahan selalu tercurah untuk Bunda Niar dan keluarga...
Bismillah ... terimakash sudah membaca mbak. Aamiin ... do'a yang sama untuk mbak Khusna :)
DeleteInspiratif sekali mak, trima kasih berbagi catatan ini. hufttt saya jg mulai kerepotan menghadapi anak-anak yg sudah mulai beranjak remaja *_*
ReplyDeleteMudah2an kta bisa menjadi ibu yang baik ya mak. Di zaman ini ... tantangan ke depannya berat ... :|
DeleteMemang jadi orang tua itu tidak mudah, tidak hanya perkataan, tapi harus ditunjukan dalam teladan perilaku sehari2... Semoga kita bisa menjadi ibu yang baik untuk anak2 kita ta bund.. ^^aamiinn
ReplyDeleteAamiin semoga ya bunda ... ^^
Deletekayaknya bener2 harus sabar ya mbk jadi orangtua itu,saya belum jadi ortu soalnya belum bisa merasakan hanya menyimak dan mempelajari pengalaman2 dari tulsan teman2....termasuk mbk niar ^^
ReplyDeleteAnak2 itu guru kesabaran mbak ... saya masih selalu harus belajar ...
Delete5 kecerdasan emosionalnya mesti perlu dilatih juga tuh buat aq, gpp kan tante meski aq cowok ga bakalan jadi Ibu ^_^
ReplyDeleteLho itu sebenarnya buat semua orang lho .. ayah kan nantinya ngajar dan bertanggung jawab sama anak2nya :D
DeleteHmm.. semoga bisa menjadi pelajaran untuk kita semua..
ReplyDeleteaamiin
Deleteanak , dari kecil selalu mencontoh prilaku yang diperlihatkan oleh orang dewasa, terutama oleh orang tua,
ReplyDeletejadi bila ingin anak kita tumbuh sehat, baik secara fisik maupun secara moral...wajib bagi kita sebagai orangtua untuk selalu memberikan contoh tauladan yang terbaik....selamat berlomba..semoga menjadi yang terbaik...salam :-)
Aamiin terimakasih pak ;)
Deletebelajar terus setiap hari untuk menjadi seorang ibu ya mbak
ReplyDeleteIya mbak dan itu tak mudah
DeleteBener mbak... seringkali yang sulit adalah mampu konsisten menegakkan aturan di depan anak, padahal hal itu penting sekali bagi anak.
ReplyDeleteBTW aku masih kepikiran cerita ibu2 di atas. Sebenarnya apa yang terjadi pada anaknya ya? Kok sampai seperti itu keadaannya..? Soalnya cerita yang disampaikan ibu itu kok agak aneh....
PEnyakitnya adalah bukan penyakit yang bisa dinalar oleh medis mbak :)
Deletetugas ibu memang berat, mendidik dan memberi contoh. Agar anak kelah mempunyai karakter mandiri dan kuat.
ReplyDeleteIya mas ... benar sekali dan itu tak mudah ternyata
DeleteMendidik anak di era yang serba bebas seperti sekarang ini menjadi tantangan tersendiri ya mbak, walaupun belum dikaruniai anak namun sudah kebayang bagaimana beratnya. mengutip dari imam ghazali yang paling menipu adalah dunia, dan yang terberat adalah amanah.. semoga kita tergolong orang2 yang mampu mengemban amanah... amin
ReplyDeleteBenar .. dalam dunia banyak yang menipu kita mas Afan
Deletetulisan yang padet, makasih mbak
ReplyDeleteTerimakasih dah mampir mbak Wuri ...
Delete