Satu lagi hikmahnya
komitmen bersama suami saya temukan di saat anak-anak pada sekolah. Kami bisa
bersama-sama mengurusi urusan sekolah mereka. Bersyukur saya didampingi suami
yang mau berbagi tugas dengan saya dalam mengurusi anak-anak walau masih sering
harus diberi SOP (standard of procedure) yang teramat jelas dan rinci.
Pinginnya sih dia mengerti semuanya, setiap hari itu ngurusi anak-anak
bagaimana. Jadi tanpa diminta dia sudah memberikan sumbangsihnya dengan sukarela.
Plak. Itu sih namanya bukan bersyukur, itu kurang
bersyukur (menggampar lalu menunjuk diri sendiri). Iya .. ya .. maaf ya suamiku
J. Wajar sih, kayaknya sebagian besar (atau
mungkin semua?) suami seperti itu. Biasanya yang mengurus anak-anak kan ibunya
jadi ibunya punya pola tertentu dalam mengurus mereka.
Belum tentu pola unik
yang terdiri dari ratusan atau malah ribuan step untuk semua anak
dipahami sang bapak dengan teramat detil. Kalau salah-salah, apa tidak kena omel
nanti? Makanya para bapak itu kudu diberi SOP yang jelas dan detil supaya
komandan tidak uring-uringan. Heh, sebenarnya siapa yang komandan?
Berbagi peran atau
berbagi tugas. Kadang-kadang suami jadi komandan, kadang-kadang istri yang jadi
komandan. Masing-masing tenggang rasa sajalah, kan untuk kemaslahatan
bersama. Kecuali kalau masing-masing kelewat bossy, kan tidak
baik juga ya.
Kreasi papanya anak-anak di prakarya Athifah (kelas 1 SD) baru-baru ini |
Contoh kecilnya, dalam
penyelesaian pekerjaan rumah anak-anak. Kebayang repotnya saya kalau tak
dibantu oleh papanya anak-anak. Kalau malam, badan sudah penat, mana sanggup
lagi saya bertahan menyelesaikan urusan PR yang ada kalanya tak diprediksi guru
apa bisa diselesaikan oleh seorang bocah sekolah dasar?
Waktu Affiq masih di
sekolah dasar, sejak kelas 1 sampai kelas 4 ada saja tugas yang diberikan gurunya.
Yang harus pakai wadah styrofoam lah. Yang harus digantung lah, yang harus di-print
lah. Yang kalau diukur-ukur, kita saja orang dewasa harus begadang
menyelesaikannya. Kalau pun anak membantu, ia hanya bisa membantu sebagian
kecil, itu pun tak lama. Kalau lama, ia pun harus begadang, kasihan kan.
Katanya sih alasannya
biar orangtuanya tergerak untuk peduli dan membantu pendidikan anaknya. Padahal
pada kenyataannya, itu sungguh menyiksa orangtua. Pernah, saya dan papanya
anak-anak harus sama-sama begadang menyelesaikan dua buah prakarya sekaligus.
Keterlaluan kan. Ruang-ruang kelas penuh dengan gantungan dan tempelan
hasil karya para orangtua murid. Sayang saya tidak menyimpan fotonya. Untungnya
penyiksaan ini berhenti saat Affiq duduk di kelas 5 dan kelas 6 SD.
Sekarang si tengah
Athifah, duduk di kelas 1 SD sementara Affiq di kelas 1 SMP. Nyaris setiap hari
Athifah pulang membawa PR. Untungnya gurunya lebih rasional, tidak memberikan
PR yang menyiksa orangtua. Affiq pun hampir setiap hari harus mengerjakan PR.
Saya pasti kewalahan membantu keduanya sembari harus meladeni si bungsu Afyad
yang masih berusia 4 tahun plus menyelesaikan pekerjaan rumah yang tak
ada habisnya.
Untungnya suami saya
punya inisiatif sendiri dalam membantu Affiq belajar dan mengerjakan PR. Saya
tinggal sedikit mengontrol Athifah. Kalau untuk penyelesaian PR Athifah ada
yang harus dibeli di luar rumah, suami saya yang melakukannya.
Dalam mendampingi Affiq
belajar, sejak kelas 5 SD suami saya yang melakukannya. Saya kewalahan karena
Affiq sulit disuruh memulai. Sekalinya sudah mulai, ia memilih waktu pukul
sembilan malam di saat saya sudah mulai mengantuk. Setelah itu, ia “melaju”,
sulit disuruh berhenti walau jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Alhasil
papanya yang menemaninya belajar.
Kreasi saya di pakarya Athifah *halah* Ini mah "keharusan" ya supaya tidak tertukar dengan milik temannya, bukannya kreasi ^__^ |
Affiq yang lebih segan
pada papanya jadi lebih mudah digerakkan (mungkin mamanya terlalu cerewet).
Papanya pun sebenarnya lebih telaten daripada saya dalam mengajar Affiq, juga
masih lebih cerdas dibanding saya (mengaku mulai lemot hehehe). Ia masih
lebih banyak mengingat pelajaran-pelajaran seperti Sejarah dan rumus-rumus
Matematika.
Begitu pun menjelang
ujian nasional yang menakutkan itu. Suami saya mencarikan buku latihan
soal-soal yang memuat kisi-kisi ujian nasional SD tahun 2013. Karena Affiq tak
mengikuti bimbingan di luar dan bimbingan dari sekolah teramat minim, kami
sepakat bahwa Affiq harus dibiasakan mengerjakan soal sebanyak paling kurang
100 soal dalam sehari, kalau bisa 200 – 300 lebih baik lagi. Setiap hari, di
awal semester genap hingga menjelang ujian nasional.
Bukannya mau menyiksa
anak, tapi sistem pendidikan kita jua yang memaksa kami memberlakukan sistem
ini. Lagi pula anak-anak harus dibiasakan mengerjakan soal, supaya bisa lincah
mengerjakan soal saat ujian tiba. Kalau Affiq ikut bimbingan belajar di luar
mungkin lain lagi ceritanya, tapi ia tak bimbingan di luar maka mau tak mau
kami yang harus membimbingnya.
Untuk pengawasan dan
penilaian hasil kerja Affiq, suami saya lebih dominan melakukannya. Saya
bertindak sebagai “asisten”, terutama bagian mengingatkan dan mengomel (halo …
mengomel? Tidak penting amat perannya J). Untuk pemeliharaan kesehatannya,
saya antisipasi dengan pemberian vitamin dan suplemen setiap harinya.
Ujian demi ujian dilalui
Affiq dengan baik (cerita detilnya bisa dibaca di tulisan berjudul Kata
Siapa Masuk SMP Favorit Harus Bayar?). Alhamdulillah Affiq lulus dengan
nilai amat memuaskan. Secara administratif ia bisa mengikuti tes di SMP favorit
mana pun di kota ini, tinggal kami yang memilih SMP yang mana. Saya dan suami
sepakat memilih sebuah sekolah yang letaknya tak jauh dari rumah. Awalnya Affiq
tak berminat namun kami terus berusaha menyosialisasikan ide sekolah itu padanya.
Akhirnya ia mau juga.
Peran suami dalam
pendidikan anak-anak tak pernah lepas. Saya beruntung sekali. Dalam pernikahan,
suami-istri memang harus saling berbagi dalam segala hal, termasuk dalam
berbagi tugas. Toh yang diinginkan adalah kemaslahatan bersama.
Anak-anak yang diurus adalah anak-anak bersama. Dengan suami saya tak perlu
sungkan, tak perlu memberi pamrih. Anak-anak pun insya Allah akan menjadi
semakin dekat dengan orangtuanya karenanya.
Saya terenyuh
membayangkan mereka yang harus menjalankan peran sebagai single parent,
tentu berat bagi mereka. Atau mereka yang menjalani long distance marriage.
Kalau ada orangtua atau keluarga sendiri yang bisa dimintai tolong, pasti amat
terbantukan. Kalau keluarga sendiri, mudah-mudahan bisa ikhlas dimintai
pertolongan sampai kapan pun.
Tapi bagi mereka yang
tidak punya siapa-siapa untuk dimintai pertolongan, meminta bantuan dari orang
lain tentu sungkan rasanya. Atau bahkan harus menggaji orang untuk membantu
padahal rumahtangga yang dibangun bersama, sebenarnya bisa berkomitmen menyelesaikan
urusan bersama.
Mudah-mudahan hal ini
tetap terjaga selamanya. Mohon do’anya ya Temans …
Makassar, 28
September 2013
Kisah pernikahan ini
diikutsertakan pada Giveaway 10th Wedding Anniversary by Heart of Mine
Buat shohibul GA, barakallah di usia pernikahan ke-10. Semoga pernikahannya samara ya. Indahnya menikah
adalah ketika kita tahu partner kita dapat diandalkan dan memang hanya
dialah orang yang tepat untuk bersama-sama dengan kita membesarkan anak-anak,
tanpa perlu sungkan, tanpa perlu pamrih. Kelak, anak-anak akan punya figur yang lengkap tentang orangtua ideal dan dekat dengan orangtuanya.
Share :
sebenernya itu kegiatan yang romantis juga mbak... :D
ReplyDeleteBegadang berdua, romantis ya mbak? hehehe
Deletetugas anak skolah sekarang berat2 ya mbak... emang harus ada pembagian tugas, kalo emaknya smua yang handle berat.. :D
ReplyDeleteIya mbak ...kewalahan kalo sendiri
DeleteWah, keren sekali kak. Kolaborasi yg apik! Saya jadi mupeng... #eh hehehe..
ReplyDeleteMupeng? maka bersegeralah ... hehehe
Deletewaktu ada PR sekolah, gak pernah minta dibantu ama mama,, galak klo ngajar
ReplyDelete-_____-
Mbak Sari pasti menjadi perempuan yang tough ya .. ^__^
Deleteooowhhh,so sweet ya bisa bekerjasama dnegan baik..saya,masih berdua aja hehehe..... ^^
ReplyDeleteKalo dah bertiga baru terasa benar mbak, mudah2an tidak lama lagi ya ^__^
DeleteAamiin... mudah-mudahan hal tersebut tetap terjaga untuk selamanya yah Mbak. Suami saya juga begitu, mau bekerjasama dan siap siaga membantu pekerjaan rumah juga :D
ReplyDeleteAlhamdulillah ya mbak Oci ...
Deletewah...sungguh pengalaman yang sangat mengesankan mbak, saya yang punya 1 anak msh kelas 3 SD aja kelabakan saat menemani belajar, apalagi mbak Mugniar yang mempunyai 3 kids....seru banget pastinya ya saat menemani anak-anak belajar.....
ReplyDeleteSeru abis mbak, untuk papanya mau membantu ^__^
DeleteSo sweet...semoga menjadi keluarga yang bahagia selalu ya Mbak ^^
ReplyDeletesalam kenal ^^
Aamiin ... terimakasih mbak Titis ^__^
DeleteSuami harus tetap menjadi komandan, isteri kepala staf jeng.
ReplyDeletemantap
Semoga berjaya dalam GA
Salam hangat dari Surabaya
Pakdhe tdk setuju ya? hehehe. Kalo dalam hal ngurusi anak2, saya komandannya Pakdhe, sementara suami saya jadi staf dulu. Kan saya harus mengatur apa yang harus dilakukannya. Tapi secara de facto dialah komandan untuk secara keseluruhan visi dan misi kami ... lagi pula dia tidak keberatan lho dikomandani oleh saya. Saya kan tidak nge-bossy :D
DeleteSaya harus konsultasi nie untuk belajar buat SOP di rumah :D
ReplyDeleteBtw, sukses ngontesnya ya...
Biasanya ibu2 otomatis bisa koq mbak :)
Deletejd inget wkt saya msh sd, orang tua saya jg berbagi tugas wkt mendampingi saya sekolah..
ReplyDeleteklo sama suami blum diujicoba :D
Mudah2an nanti gak seribet sekarang mbak :)
DeleteAku juga ingat bagaimana aku dan suami harus turun tangan membantu Shasa mengerjakan tugas-tugas ketrampilannya. Memang seringkali tanpa adanya turun tangan orang tua pekerjaan rumah anak-anak sulit terselesaikan tepat waktu ya mbak.
ReplyDeleteIya mbak .. jadi dilema ya ...
Deleteterima kasih utk partisipasinya mba... itu hiperlinknya kurang 1 lagi, monggo ditambahkan ;)
ReplyDeleteTerimakasih mbak Uniek ... sudah saya tambahkan ... moga berkenan yaa :)
Deleteberbagi memang kuncinya ya maaaak....saya dan suami awalnya 'dipaksa' keadaan untuk berbagi, mulai dari tanggung jawab, pekerjaan hingga penghasilan..tapi akhirnya, semua bisa berjalan dengan indah :D...riak pasti ada, tapi justru di situ seni dan nikmatnya...rukun-rukun selalu mba...cheers..
ReplyDeleteKeren sob
ReplyDeletewww.kiostiket.com