Pulang dari sebuah acara
keluarga, saya mendapati penampilan saya begitu acak-acakan. Cermin berukuran
lebih separuh badan di dalam kamar kami yang memperlihatkannya pada saya. Hiks.
Apa mau dikata, sudah kejadian.
Hari Ahad siang itu ada acara
keluarga. Saya agak enggan menghadirinya. Entah ya, saya selalu merasa segan
bila yang mengadakan acara itu keluarga yang secara ekonomi jauh di atas saya.
Mereka yang sehari-harinya terbiasa dengan salon, dandanan apik nan wangi, dan
barang-barang mewah itu …. Aaah, mereka membuat saya merasa amat tak
nyaman.
Sepagian itu seperti
biasa saya sibuk sekali. Menyiapkan sarapan, cuci piring, memastikan stok nasi
dan air untuk seisi rumah tersedia, menyiapkan makan siang suami yang lagi
sakit, dan makan siang Affiq dan Afyad. Rencananya hanya Athifah yang ikut
dengan saya. Ayah dan Ibu berangkat lebih dulu, saya menyusul kemudian.
Baju baru, sebuah gamis
abu-abu muda yang menurut saya modelnya masih baru dan belum pernah saya pakai serta
sebuah jilbab berwarna senada buru-buru saya seterika. Sulit menyeterikanya,
walau sudah bolak-balik ditindis baja panas itu, tetap saja kelihatan tidak
begitu licin. Lalu saya menyiapkan pakaian Athifah.
Tak terasa jarum jam sudah
menuju angka sebelas. Setengah berlari saya persiapkan semuanya, mandi, lalu
berpakaian. Jilbab segi empat itu saya lilit-lilit di kepala, seperti model yang
banyak dikenakan muslimah saat ini. Salahnya saya, saya tak menggunakan banyak
peniti. Kain jilbab dan gamis merupakan kain tipis yang tidak begitu mudah
dibentuk, butuh lebih banyak peniti untuk membuat model yang saya harapkan.
Akibatnya, penampilan saya begitu amburadul setelah beberapa jam kemudian.
Begitulah … saya sudah
melupakan kejadian hari itu hingga dua minggu kemudian, ketika jilbab berbahan
sutera Palembang yang sudah saya seterika dilihat oleh ibu saya, membuatnya
mengomel panjang lebar.
Ibu yang teramat
menyukai kerapian mempersoalkan lipatan jilbab yang tak hilang-hilang meski
sudah saya berusaha seterika sekuat tenaga. Ia mencoba menyeterikanya, tetap
tak licin juga. Saya pribadi tak ambil pusing, nanti setelah jilbab segi empat
itu digunakan, dengan cara dililit ke sana ke mari pasti tak akan kelihatan
bekas lipatan itu.
Entah apa yang masih tak
bisa diterima oleh Ibu dengan urusan seterikaan itu, beliau kemudian mengatakan
kepada saya apa yang dikatakan kerabat yang tempo hari mengadakan hajatan itu, “Kakak
di sana itu bilang: ‘Kenapa Niar jadi seperti itu? Anak pintar kenapa jadi
begitu?’ Kamu rantasa’[1]!”
Glek. Saya bukan anak-anak, tahun depan insya Allah usia
saya kepala empat.
Hiks, tolong jangan salahkan saya … salahkan kainnya!
Saya tak peduli dengan
pandangan orang. Yang saya peduli adalah ketika pandangan mereka disampaikan
kepada Ibu dan itu mempengaruhi pandangan Ibu terhadap saya. Seperti semua anak
di dunia, saya pun ingin bisa membanggakan ibu saya. Pandangan seperti itu
menyakitkan, sama seperti ketika entah sudah berapa orang mengatakan kepada
Ibu dan ini amat mempengaruhi beliau, “Kenapa Niar tidak bekerja? Sayang ya, dia kan pintar.”
Pandangan mereka terpengaruh
oleh KEBANGGAAN mereka dalam penampilan dan karir. Mereka heran mengapa untuk hal
yang MEMBANGGAKAN seperti itu, tak saya lakukan padahal (menurut mereka) saya
bisa seperti mereka.
Duh. Sayang sekali, apa yang menjadi KEBANGGAN bagi
mereka itu bukanlah hal yang membanggakan bagi saya. Sayang sekali, mereka tak
bisa memahami bahwa setiap orang punya alasan dalam melakukan sesuatu. Khusus
untuk memilih tidak bekerja di sektor publik, saya punya alasan prinsipil yang
berani saya pertanggungjawabkan kepada Sang Pencipta, bukan kepada sesama manusia.
Tapi mau bagaimana lagi,
yang namanya hidup kita memang harus berdampingan dengan aneka macam pandangan
orang. Saya harus bisa menjadikannya pelajaran. Minimal menyadari bahwa KEBANGGAAN
tak selamanya berdampak bagus, ia bisa juga menyakiti orang lain.
Saya pribadi lebih suka
mencari makna yang lebih hakiki dari kata BANGGA. Merujuk pada Kamus Besar
Bahasa Indonesia, BANGGA itu berarti: “besar hati, merasa gagah (karena
mempunyai keunggulan)”. Pffuuh … saya jadi takut karena kata ini
bisa menjebak orang kepada pengertian “merasa lebih hebat daripada orang
lain”.
Ujung-ujungnya, orang
bisa menepuk dadanya dengan teramat keras, menganggap orang lain remeh dan tak
selevel dengannya atau menyepelekan, bahkan menghina orang lain. Orang bisa
lupa bahwa nilai yang ia gunakan bukanlah standar. Ada standar yang
lebih tinggi: standar milik Allah!
Buat saya, kebanggaan
itu sebaiknya menggandeng kata SYUKUR dengan segala sesuatunya sembari terus
mengingat bahwa di atas langit masih ada langit. Juga sembari mencoba memaknai hidup yang sekali ini dengan melakukan hal-hal bermakna bagi
orang lain meski itu kecil sekali pun.
Di dalam trailer ini
ada quote yang manis yang bisa kita renungkan: Melelahkan sekali
kalau kita terus berpikir pengakuan dari orang lain. Punya kepuasan itu dari
sini (sambil menunjuk ke dadanya), bukan dari sana (menunjuk ke arah gedung).
Apa, sih, arti kebanggan buat lo?
Makassar, 7 Oktober
2013-10-07
Share :
Saya sepakat dengan pendapat di atas.
ReplyDeleteMenjadi seorang ibu itu butuh pendidikan tinggi, jadi bukanlah aib jika sekolah tingggi-tingga dan memilih menjadi ibu rumah tangga Full Time. ^^
Yup, bukan aib, sama sekali ^__^
Deletemungkin menjadi diri sendiri itu lebih nikmat ya mbk,sekali dibanggakan akan melambung tinggi tapi sekali di jatuhkan kebanggan tersebut jatuh dan terhempas..begitulah ibaratnya...eh bener g sih mbk??hehehe
ReplyDeletebenar mbak ... jadi diri sendiri saja ... ^__^
DeleteBeneeeer... di atas langit masih ada langit. Yang terpenting itu memenuhi standar Allah. Sukses yah Mbak :)
ReplyDeleteTerimakasih sudah membaca, mbak Oci ^__^
DeleteSepakaaaaaat mbak
ReplyDeleteSip mbaaak. tosss :)
DeleteYa begitu lah Niar. Pilihan hidup kita tak selalu pilihan bagi orang lain. Apa boleh buat. Sekalipun kita butuh orang lain, namun kita tak perlu mendidikan hidup kepada mereka. Pilihanku adalah apa yang aku anggap terbaik..:)
ReplyDeleteSeharusnya seperti itu kak Evi ^__^
DeleteSukses ya Bu Niar .. Tulisannya buat saya penasaran mau melihat wajah Bu Niar yang rantasa .. Hehehe *Canda*
ReplyDelete*Tips : Jilbabnya yang masih bandel dengan bekas lipatan kalau di setrika, coba gosok bekas lipatan itu dengan lilin(putih) kemudian gosok, bandelnya akan segera hilang* .. Hehehe
Huhuhu mana sempatlah saya melakukan itu waktu itu bu ... tapi tipsnya boleh juga tuh untuk nanti .. mmm ... butuh berapa lama itu ya?
DeleteAiiih lagian kurang kerjaan amat memperhatikan penampilan orang lain ya .. besok2 saya ndak mau mi pake itu baju :D
Setuju banget mba....
ReplyDeleteSiipp mbak :)
DeleteSuuuukaaaaa n setujui bgt sama tulisan mbsk Niar. Ibu tu kn sekolah pertama anaknya so jd ibu hrs pintar dong. Ga usah dgr omongan miring org Mbak yg ptg di mata Allah mbk adalah ibu yg mulia.. Semangat!! :)
ReplyDeleteBtw rantasa apaan sih??? Hehehe...
Semangat mbaak :)
DeleteHahaha ada di catatan kaki tuuh ^__^
terkadang kalau berada di sekitar orang-orang kaya, kitanya minder sendiri :)
ReplyDeleteHAhaha iya mbak
DeleteAku malah jarang mikirin penampilan
ReplyDeleteSalah kostum juga biarin lah asal bersih dan sopan...
Biasa, laki2 kebanyakan begitu mas :D
DeleteMakin lama, makin kusadari banyaknya kesamaan kita mbak. :)
ReplyDeleteAku sering mengalami berada di antara saudara saya yg tingkat kayanya berlipat2 dari saya. juga mereka menyalahkan saya yg tak mau memakai gelar sarjana tuk bekerja.
Boleh jadi mereka bicara begitu, tetapi tak bisa mencegah keprihatinanku melihat betapa borosnya mereka. hahaha.... hidup itu pilihan. tergantung yg menjalani ya mbak. SEMANGAT!
Asik kali kalo kita ketemuan ya mbak.
DeleteSAya setuju sama ini: Boleh jadi mereka bicara begitu, tetapi tak bisa mencegah keprihatinanku melihat betapa borosnya mereka.
HAhaha koq sama ya ...
kalau kainnya susah di setrika, ganti jilbab lain ajah mbak :D
ReplyDeleteKebangganannya tetap bersykur yaa mbak :D
Kalau tahu dan banyak waktu, gak saya pake kali baju itu Niar ... kan ketahuannya pas pulang ... gara2 penitinya cuma dikit jadi acakadut :D
Deletewah, kerennn... saya juga sepakat nih.... arti bangga itu bukan mengikuti apa kata orang.... ^^
ReplyDeleteSepakat mas :)
Deletebiarpun ada kalimat "don't judge a book by its cover" .. tapi manusia memang selalu menilai orang lain dari penampilannya.
ReplyDeletetapi de setuju dengan bangga harus sejajar dengan syukur.
semoga menang ya mbak
Apa boleh buat ya mbak De ... orang di sekeliling kita ya seperti itu ...
DeleteTante Tante.. beli baru napa biar bisa kelihatan rapi..
ReplyDeleteanak pintar-anak pintar (udah mau kepala empat)
Bangga bisa nyapa tante meski di blog ^_^
Hahahaha ... itu sudah yang baru kakaaaaak cuma karena gak lama dandannya jadi berantakan, namanya buru2 .. emak2 rempong soalnya :D
Deletekebanggaan adalah kalo kita bisa jadi diri sendiri dan tak perlu terpengharuh dengan omongan orang lain. itu sih menurut saya mbak....:)
ReplyDeleteMaunya sih begitu mbak ... saya tidak peduli selama orang2 itu tak mengganggu ibu saya. Kalo mereka mengganggu, waaah saya jadi galauuuuu :D
Deletehebat nih mbak semangat terus ya ikutan kontesnya. good luck ya
ReplyDeleteLagi punya amunisi mbak hehehe
DeleteSetiap orang punya kebanggaannya sendiri ya mbak...juga punya pilihan hidup. Sukses untuk kontesnya mbak.
ReplyDeleteMAkasih mbak Nufus :)
DeleteHehehe, pasti saat itu hatinya kelam ya, Mba. Gegara jilbab. Bangga yang sempurna ya bangga keluar dari diri kita sendiri. Tanpa pujian dari orang lain. :)
ReplyDeleteKeam sesaat .. itu pun karena mempengaruhi ibu saya. Kalo dia gak bilang2 sama ibu sih saya ndak pusing :D Tapi hanya sesaat koq setelah terserah dialah .... :D
Deletesetuju banget sama artikel nya
ReplyDeleteMakasih dah mampir mbak :)
Deletebe eh. keren...keren sekali ki ini tulisanta'..
ReplyDeleteAh .. iyakah? jadi malu ^_^
DeleteCape yak mba Niar kalau kita ngikutin orang lain cuma buat dapat pengakuan aja, sedang kita sendiri serasa jadi orang lain.
ReplyDeleteIya mbak Efi ....
DeleteMinimal menyadari bahwa KEBANGGAAN tak selamanya berdampak bagus, ia bisa juga menyakiti orang lain. <--- renungan yang dalam Mbak. Saya jadi ikut mikir. Jangan-jangan, apa yang kita bangga-banggakan telah menyakiti orang lain :(
ReplyDelete