Pagi itu, ketukan lemah
terdengar dari balik pintu. Ning membukanya. Seorang remaja putri bertubuh
kurus duduk di depan pintu. Setiap datang, memang seperti itu kebiasaan remaja
putri itu.
“Minta nasi ta’,”
lirih si remaja putri berkata.
“Tunggu sebentar,” Ning
meninggalkannya, mengambilkan nasi goreng yang masih tersisa di meja makan.
Dengan bersemangat Ning
mengisi sebuah botol bekas minuman rasa anggur dengan air putih. “Pasti remaja
putri itu butuh minum air setelah makan,” Ning membatin. Ia senang hari ini
dihampiri remaja putri itu. Remaja putri yang diyakininya membawa hadiah dari
Tuhannya.
“Terimakasih,” dengan
lirih remaja putri itu menerima sekotak kecil nasi goreng berlauk kerupuk dan
sebotol air minum dari tangan Ning.
“Ah, benar itu?
Kenapa suaranya pelan begitu tetapi saat keluar dari rumahmu, ia
berlenggak-lenggok?” suara sumbang seorang ibu terdengar. Ibu itu suka sekali
mempersoalkan “keanehan” dari pengemis atau peminta sumbangan yang datang ke
daerah itu.
Sumber: mgscupoftea.wordpress.com |
Ning meninggalkan ibu
itu. Ia tak hendak memperdebatkan hal yang tak penting. Dalam hati ia berkata, “Kalau
Ibu tak berkenan, tak usah memberikan apa-apa. Tolak saja ia bila berkunjung.
Tak usah mempersoalkan Saya. Saya hanya ingin mencari perhatian Tuhan Saya.
Tuhan ibu juga kan?”
Tak banyak yang diminta
remaja putri itu. Ia pun tak datang setiap hari. Paling banter ia balik
lagi dua minggu kemudian. Hanya untuk meminta segenggam nasi dan segelas air
untuk mengganjal perut datarnya. Agar tubuh ringkihnya bisa tegak menyusuri
jalan-jalan kota di terik matahari untuk mengetuk hati orang-orang yang
didatanginya. Gadis muda itu bahkan tak pernah meminta uang.
Siapa pun bisa
menolaknya. Siapa pun bisa membohonginya dengan mengatakan tak ada makanan di
dalam rumah. Tapi ia tak mau. Baginya ketukan lirih remaja putri itu bagai
ketukan Tuhan pada hatinya. Baginya itu hadiah tak terduga, agar ia bisa
bersedekah. Sedekah yang teramat ringan, hanya sedikit makanan, atau sedikit
air, ataupun hanya seribu-dua ribu rupiah.
Ning akan merasa sangat
berdosa menolak hadiah dari Tuhannya. Apa lagi bila ia mengeluh atau mengeluarkan
komentar yang tak penting. Alih-alih imbalan kebaikan dari Tuhannya, ia hanya
akan mendapatkan tambahan beban di timbangan keburukannya kelak di akhirat.
Ning tak mau itu terjadi. Ia bahagia dihampiri gadis remaja itu. Walau ia hanya
memberikan sedikit, ia yakin Tuhannya akan menghadiahinya dengan kebaikan berlipat,
di dunia dan di akhirat.
Ia berharap, dari
sedikit demi sedikit hadiah yang dibawa oleh remaja putri itu, dari anak kecil
penjual buku agama di dekat ATM kemarin, dan dari beberapa orang seperti mereka
yang tersebar di seantero kota, ia bisa mendapatkan perhatian Tuhannya kelak di
akhirat. Ia berharap Tuhannya mengenalinya, ketika rupa semua manusia kelihatan
sama di padang mahsyar dan ketika ia meniti jembatan shirath di alam
sana.
“Jangan ganggu Saya, Bu.
Terserah apa pendapat Anda. Tapi biarkan Saya mencari perhatian-NYA,” bahagia, Ning
tersenyum dalam hati.
Makassar, 1 Oktober
2013
Berdasarkan pengalaman
Ning, Makassar
Share :
lanjutkan Ning.......... ^_^
ReplyDeleteayo Ning ... :)
DeleteSubhanallah..
ReplyDeleteSubhanallah ... :)
Deletesemoga balasan terbaik untuk Ning :)
ReplyDeleteAmiien. ^^
DeleteAamiin ..
Delete