Lanjutan
dari tulisan berjudul Sinergi Berbagai Warna Dalam Berbaurnya 14 Komunitas
Perempuan
Saya memilih berhati-hati untuk terlibat dalam
tema perempuan. Takut terikut arus yang kebablasan dalam menuntut penyetaraan
jender. Namun saat membaca SMS berisi undangan workshop menulis yang
diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), saya tak pikir panjang
lagi.
Saya harus mengambil kesempatan ini. Setahu saya
yang tergabung dalam AJI adalah para
jurnalis idealis. Maka saya berpikir, tak mungkinlah AJI menyeru kepada
tuntutan penyetaraan jender yang kebablasan.
Awalnya undangan untuk saya itu ditujukan kepada
komunitas IIDN (Ibu-Ibu Doyan Nulis) Makassar di mana saya bergabung. Namun
mengingat saya juga tergabung ke dalam komunitas yang anggotanya perempuan
semua: Kumpulan Emak-Emak Blogger (KEB), maka saya mencoba menanyakan apakah
masih ada satu jatah kursi lagi untuk KEB.
Ruang Toraja, hotel Grand Imawan |
IIDN Makassar sudah mulai dikenal di Makassar,
KEB belum. Saya merasa perlu mengenalkan KEB kepada khalayak Makassar mengingat
teman-teman di KEB eksis dan aktif menyuarakan hal-hal positif tentang
perempuan di blog mereka masing-masing.
Panitia memberikan satu kursi lagi. Maka atas
persetujuan mak Mira Sahid – sang pendiri KEB, saya mewakili KEB dalam workshop
ini. Sementara IIDN Makassar diwakili
oleh teman saya bu Zul Khaeriyah.
Workshop yang dipersiapkan dengan amat serius ini
ternyata dilaksanakan selama dua hari. Hari pertama berlangsung dari pukul 10
pagi hingga 10 malam. Panitia menyediakan fasilitas berupa kamar hotel untuk
semua peserta. Sayang saya tak bisa nginap karena tak pernah meninggalkan
anak-anak selama itu. Untungnya panitia membolehkan saya pulang asalkan
keesokan harinya tak datang terlambat.
Mengapa
Workshop Ini Penting
Materi pertama adalah Brain Storming
yang dibawakan oleh Pak Yusuf AR
– wartawan senior harian Fajar. Berikut ulasan materinya:
Fungsi media, sebagaimana yang
termaktub dalam pasal 33 UU nomor 40 tahun 1999 adalah sebagai: sarana
transformasi informasi, media hiburan, media pendidikan, kontrol sosial, dan
lembaga ekonomi tak berjalan maksimal.
Saat ini yang menonjol dari media adalah
fungsinya sebagai lembaga ekonomi, yang penting bagaimana media itu laku. Telah
terjadi ketimpangan, dalam hal ini. Media seharusnya berperan dalam menciptakan
keterbukaan di bidang informasi, penegakan hak-hak sipil, dan supremasi hukum yang mencakup seluruh
aspek, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya.
Berita
media sebanyak 30-50% menyangkut perempuan. Namun umumnya mengenai dua
tema besar, yaitu: kekerasan dan sensualitas. Isu perempuan masih
menjadi isu pinggiran, di mana 59% dr pemberitaan, atau 715 berita, diletakkan
pada rubrik sekunder. Sisanya berada di rubrik primer (477 berita), 10 berita
di rubrik tambahan dan 8 berita di rubrik khusus perempuan. (dari sebuah penelitian
tahun 2010 – 2011).
Penelitian ini menunjukkan bahwa berita
perspektif perempuan ada. Di sejumlah media kualitas berita tentang perempuan
mulai tampak baik. Ini ditunjukkan oleh kepatuhan jurnalis mematuhi kode etik
jurnalistik. Khususnya yang mengatur mengenai IDENTITAS.
Ketua AJI Makassar, Gunawan Mashar (kanan) membuka workshop |
Walaupun demikian, sesekali ada media yang
kebablasan, misalnya tidak menutupi identitas korban pelecehan seksual yang
diberitakan. Atau masih menampilkan gambar perempuan berpakaian minim. Atau
memberitakan hal-hal terkait korban pelecehan seksual dengan kata-kata yang
tidak baik (seperti “digagahi” dan “digarap” sehingga mereduksi makna informasi
yang seharusnya diberitakan kepada publik).
Atas dasar semua itu,
perempuan perlu lebih banyak menyuarakan tentang perempuan meski secara fisik
tak terlibat dalam media main stream (Koran, TV/radio). Melalui
pelatihan ini AJI memberikan alternatif wadah (secara non fisik) bagi
keempatbelas komunitas yang dilatih untuk lebih lantang bersuara, mengabarkan
permasalahan maupun hal-hal positif seputar perempuan dan anak di sekitar
mereka.
Olehnya itu pelatihan mengenai literasi media perempuan
penting diberikan untuk:
- Meningkatkan partisipasi perempuan dalam transformasi informasi melalui media massa.
- Mernyebarluaskan isu dan masalah perempuan agar menjadi perhatian public.
- Menguatkan pendidikan feminisme atau wacana keadilan jender melalui media massa.
- Menyebarluaskan kiprah perempuan di sektor publik.
Bincang-Bincang
Tentang Isu Perempuan
Pak Yusuf AR sedang memberikan brain storming |
Usai memberikan materi, Pak Yusuf AR menggali
informasi dari para peserta mengenai isu-isu perempuan sekaligus memperkenalkan
komunitasnya dan apa saja yang diakukan oleh komunitasnya.
Beberapa isu yang muncul di antaranya:
- KPAJ (Kelompok Pencinta Anak Jalanan) belum legal. Rencana untuk melegalkan sangatlah mahal. Daripada dana yang ada “terbuang” untuk mengusahakan legalitas maka lebih baik untuk sekolah anak-anak jalanan saja. Diharapkan KPAJ bisa menjadi “virus” dan terbentuk di kampus-kampus di seantero kota.
- Para perempuan yang tergabung dalam IIDN (Ibu-Ibu Doyan Nulis) Makassar mendapatkan ide menulis antara lain dari keluarga. Banyak di antaranya merupakan ibu-ibu yang berpendidikan. Diharapkan bisa bekerjasama dengan AJI untuk dapat mengirimkan tulisan ke media, seperti resensi buku, opini, dan lain-lain.
- Penyala concern meningkatkan minat baca masyarakat, mengirim buku ke daerah tertinggal melalui donasi buku. Buku-buku dikirim ke wilayah yang di-support Indonesia Mengajar. Diharapkan ke depannya Penyala bisa bersinergi dengan lembaga lain.
- LeMInA (Lembaga Mirta Ibu dan Anak) selama ini bergerak di lokasi kumuh dan miskin, di antaranya mengadakan kegiatan menulis dan membaca untuk anak-anak di TPA Antang.
- Hijabers aktif dalam menghimbau para muslimah agar menyadari bahwa hijab itu tidak memberatkan dan bisa stylish. Selain itu Hijabers aktif pula dalam kegiatan-kegiatan sosial.
- Kultur Annisa kerap mengadakan diskusi terkait isu keperempuanan. Beragam topik menjadi bahannya seperti pendidikan, dan lain-lain. Setiap bulannya Kultur Annisa menerbitkan bulletin untuk disebarkan kepada perempuan-perempuan yang ada di sekitarnya.
- Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) tak lepas dari isu diskriminasi. Diskriminasi yang dialami para penyandang disabilitas bukan hanya dalam pendidikan. Tetapi juga dalam penerimaan PNS dan dalam penggunaan maskapai penerbangan. Tak jarang penyandang disabilitas harus memberikan surat keterangan sakit untuk dapat menjadi penumpang pesawat terbang. Padahal mereka tidak sakit, hanya mengalami keterbatasan secara fisik. Pelecehan seksual pun mereka alami, saat berada di tempat umum misalnya ada laki-laki kurang ajar yang berusaha menyentuh mereka.
- Srikandi Gespar (Gerakan Perempuan Bermartabat) aktif berdonasi dan mengajar keterampilan untuk para perempuan. Tujuan memberikan keterampilan adalah agar para ibu rumahtangga bisa mandiri secara ekonomi .
- UKM Adistya aktif dalam melakukan daur ulang sampah non organik. Sampah-sampah plastik kemasan makanan dan sabun dibuat barang-barang bernilai ekonomi, seperti tas. Saat ini UKM Adistya mengirim anggotanya untuk memberikan pelatihan sampai ke luar Sulawesi.
- Himpunan Wanita Himagro: concern dengan lingkungan yang tercemar. Di TPA (tempat pembuangan akhir) tidak ada pemilahan sampah, semua disatukan kembali. Himpunan Wanita Himagro membuat pemilahan sampah menjadi 4 macam: kaleng, kertas, sisa makanan, dan sisa tanaman (organik).
- Qui-Qui aktif memberikan penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi perempuan melalui kegiatan merajut. Beberapa kali Qui-Qui melaksanakan kegiatan di sebuah pulau kecil dekat Makassar yang memiliki tingkat “pernikahan dini” tinggi. Setiap minggunya diadakan kegiatan merajut gratis bagi siapa saja yang mau belajar/mengajar merajut.
Lalu saya mengangkat isu apa setelah mengenalkan
KEB (Kumpulan Emak-Emak Blogger)?
Hm, sebagian pembaca blog ini
mungkin sudah bosan karena saya sudah berkali-kali menuliskan ide yang satu
ini: yaitu bahwa saya tak setuju dengan anggapan sebagian orang yang menganggap
ibu rumahtangga yang tidak bekerja itu lebih rendah daripada mereka yang
bekerja kantoran (saya baru saja menuangkannya dalam tulisan berjudul IbuRumahtangga, Anomali dan Profesi).
Di KEB tak ada pertentangan mengenai ibu bekerja
atau tidak karena kami selalu berbagi melalui tulisan dan sama-sama paham kalau
para perempuan yang senang berbagi melalui tulisan di blog mereka adalah
perempuan-perempuan pembelajar. Mereka merupakan perempuan yang tak berhenti
belajar karena selalu ingin menyajikan tulisan terbaik di blog-blog mereka.
Cheers ^_^ Ki-ka: Ugha (Qui-Qui), Haeriyah (Himagro), Masita (UKM Adistya), dan ibu Sofiah (Srikandi Gespar) |
Sebagian orang mungkin menganggap saya
berlebihan. Sah-sah saja karena pada sebagian orang, ini bukanlah masalah. Namun
anehnya, saya sering sekali mendapatkan perlakuan tak enak hanya karena saya
tak bekerja kantoran. Dan kalau saya menceritakannya di beberapa grup (menulis)
yang saya ikuti (dalam bentuk tulisan), ternyata bukan hanya saya lho yang
mengalaminya. Mau tahu rasanya? Cukup menyakitkan karena mengarah
kepada pembunuhan karater. Syukurnya saya bisa menuliskan hal ini
sehingga secara perlahan apa yang saya tuliskan itu menjadi terapi bagi saya
dan membuat saya lebih bisa menguasai diri.
Lalu saya mengemukakan mengenai kurangnya minat
menulis pada para perempuan di Sulawesi dan Indonesia bagian timur. Dari hampir
2000 teman facebook saya, kira-kira 80 – 90 persen di antaranya perempuan
penulis/blogger. Nah dari semua perempuan penulis/blogger itu kira-kira 80 – 90
persennya tinggal di pulau Jawa.
Mendengarkan hal ini, pak Yusuf mengatakan, “Nah
itu tugas Ibu, bagaimana supaya minat menulis perempuan di sini meningkat!”
Hah, tugas saya? Apa daya saya, Pak?
Makassar, 25 November 2013
Bersambung ke tulisan berikutnya
Share :
Walah, kalau ada yang menganggap ibu rumah tangga adalah lebih rendah dari pada ibu kantoran, apa nggak kebalik, tuh? Saya aja yang kerja di kantor harus angkat 4 jempol buat ibu-ibu yang memilih di rumah membesarkan anak-anaknya dengan tangannya sendiri.
ReplyDeleteSebab, kalaupun (seandainya) materi saya telah dicukupkan buat stay di ruamh aja, belom tentu sanggup secara mental dan fisik ngadepin anak sendirian (tanpa dibantu orang lain).
sesuai pilihan masing2 aja ya mbak. Ibu bekerja juga hebat pulang kantor harus kerja lagi dirumah ngurus anak sama suami
DeleteSyukurlah mak Is tidak berpikir demikian :)
DeleteTerimakash buat supportnya ya Mak :)
Iya benar mbak Lid. Mereka hebat, pulang kantor bisa ngurus suami dan anak :)
DeletePerempuan yang bekerja dan tidak bekerja sama hebatnya asal benar-benar tahu yang dilakukan. Pilihannya benar-benar dari hati nurani. Saya sering mengamati ibu-ibu. Baik perkotaan maupun dipedesaan mereka sambil mengasuh anak juga melakukan aktivitas ekonomi atau ada juga perempuan yang mengecap pendidikan tinggi namun mereka memilih fokus membesarkan anak.
DeleteSaya juga mempunyai kenalan, walau ia bekerja tetap dekat dengan anak. Setiap jam istirahat kantor ia tanya jawab pelajaran dengan anaknya.
Kita, bekerja atau tidak adalah wajah Indonesia di masa depan. Tentu saja bekerja sama dengan kaum bapak.
dipedesaan> di pedesaan
DeleteKomennya amat menyejukkan. Seandainya semua orang seperti Anda, tentu tak banyak yang makan rasa kecewa seperti saya :)
DeleteTapi begitulah manusia ya ... ada2 saja. Meski orang tak melakukan apa2 yang negatif kepadanya tega saja komen negatif kepada orang lain. Terimakasih ya dah komen :)
Masih aja ampe skr anggapan ibu rumah tangga itu ga berdaya ya mbak, sedih jdnya, akhirnya anggapan spt tu bikin minder ibu RT. Spt aku dlu waktu pertama berhenti kerja, sering ngrasa malu n minder.. Thanks God ada Blog yg bisa menghibur n nambah byk ilmu.
ReplyDeleteSemangat menukarkan virus positif buat ibu RT di Sulawesi n seluruh indonesia mbak :)
Blog bisa bikin kita lebih "bersuara" juga ya mbak :)
DeleteIya benar ... saya bersyukur juga bisa ngeblog. Jadi ajang berekspresi sekaligus mengaktualisasikan diri. Tidak bisa dipungkiri, saya akhirnya harus punya cara untuk aktualisasi diri ...
Wah keren sekali mak satu ini. Beruntung KEB punya mak Mugniar. Tapi jadinya malah dapat tugas ya untuk mengajak ibu2 Sulawesi makin giat menulis :D
ReplyDeleteBeruntung saya bisa gabung KEB Mak, seperti menemukan belahan jiwa :)
DeleteSelamat menjalankan tugas Mak, saya dukung dari sini :) Mak Mugniar pasti bisa. Insya Allah
ReplyDeleteYeaay dapat dukungan ^__^
DeleteAyooo makkk pasti bisa !!! bersemangat!!!
ReplyDelete*Ikut semangat*
Deletemakasih Mak :)
apa daya? segala daya upaya maaaak....sesederhana apapun itu mak :D...
ReplyDeleteIya Maak hanya bisa yang sederhana, berusaha mempengaruhi lewat tulisan. Begitu saja dulu kali ya? :)
DeleteWalah, itu kalimat terakhir, jadi pengen ngekek saya, Mak. InsyaAllah, Mak Mugniar pasti bisa, kok!
ReplyDeleteTentang IRT, saya menikah sejak masih kuliah, dan setelah lulus hingga sekarang (sudah hampir 5 thn) nggak pernah merasakan bekerja kantoran. Entah, ya, saya kok nggak minta sama sekali. Lah ini di rumah aja nggak ngantor saya sampe kadang keteteran kok apalagi saya ngantor, ya? Hahahahahaha. :D :D :D
ALhamdulillah saya tidak tergoda untuk ikut2an kerja kantoran Mak. Cuma memang sempat "panas" karena merasa diperakukan tidak enak. Tapi sekarang sudah baikan koq, mudah2an besok2 bisa benar2 cuek.
DeleteLah iya kan Mak ... masa tugas sayah? Tugas bersama gitu kan yak? :D
Saya sehati mbak dengan "pembunuhan karakter".
ReplyDeletePadahal karakter ibu rumah tangga kan keren banget, apalagi kerjaannya
^_^
Toss Mak ... asli keren banget :)
DeleteKalo saya malah bangga jadi seorang Ibu Rumah Tangga mbak. Temenku bilang hidup saya sejahtera, nggak perlu dobel capek karena harus ngurus keluarga ples harus bantu suami nyari duit juga. Padahal kalo di liat dari segi ekonomi, temen2ku malah jauh lebih makmur karena pd kerja kantoran. Yang intinya, saya jadi bersyukur mereka bisa iri berarti hidup saya lebih baik dari mereka yah :D.
ReplyDeleteSaya dulu (waktu belum merit) udah puas kerja mbak, bertahun-tahun sejak lulus SMK hingga saya berkali-kali sakit dan gaji pun habis hanya utk berobat sana sini, capek karena hidup, waktu dan tenaga banyak terkuras utk pekerjaan, bagaimana nanti kalo harus menikah dan punya anak. akhirnya setelah merit saya putuskan untuk "egois dan mementingkan diri sendiri dulu" saya nggak ingin capek2 lagi mengabdi untuk orang lain, Kalopun harus kerja untuk menunjang ekonomi, saya usahakan untuk kerja di rumah saja. Lebih baik saya mengabdi untuk keluarga, selagi suami masih bisa memberi nafkah. Karena hal yang paling berharga di dunia ini adalah keluarga, ketika suka dan duka melanda merekalah tempat kita kembali. Saya percaya rejeki itu sudah diatur oleh Yang diatas, walopun tidak punya uang yang penting hati saya tenang dan bahagia karena bisa berada di samping mereka, saya tidak tau apakah besok saya masih diberi umur (ini hanya cerita pengalaman dan prinsip saya saja, nggak ada maksud untuk menyinggung siapapun) :D
Belajar dari pengalaman membuat orang menjadi kaya mbak, kaya hati. Terimakasih sharingnya, saya suka bacanya :)
DeleteWah, terkadang manusia tidak sadar dengan dayanya lho. Dari pantaun sekitar, You can do it!! Trust me!.
ReplyDeleteSebenarnya kalau mau jujur, memang kebanyakan mereka yang nggak bekerja "loyo" sih. Tapi tidak semua kan. Tidak semua wanita yang tidak bekerja MENYADARI bahwa tugas mereka dirumah. (meski seharian mereka dirumah). Akibatnya meski dirumah banyak ngerumpi..nggosip, asyik sinetron..
Kebalikannya, banyak orang yang sebenarnya siap bekerja tetapi "sadar" bahwa tugas utamanya dirumah,..jadi dilema deh. Btw akhirnya pasti menyeimbangkan keduanya, meskipun berat.
Btw, wanita-wanita yang berniat benar selalu mendapat jalan kok..
..Jadi inget kalau lagi ngemeng2 sama temen-temen yang kerja pasti deh mereka bilang "Ingin keluar". So tetap saja yang paling ideal ya bekerja sambil jagain rumah. Selain dekat dengan anak, juga lebih terjaga.
Kadang2 bisa saling iri memandang "rumput tetangga" ya mbak Emi ^_^
Delete