“Saya sudah bawakan air
tadi, kenapa belum diminum?” ujar saya kepada suami yang sedang terbaring di
kamar Affiq.
Saya sedang dalam
kondisi super ribet. Affiq dan Athifah masih selalu harus dikomando untuk
mengerjakan berbagai rutinitas, termasuk sebelum tidur. Walaupun sudah kelas 1
SMP, Affiq masih harus dipandu setiap hari. Apalagi Athifah. Terlebih lagi si
bungsu Afyad.
Afyad malah mulai
menampakkan kerewelan. Ia biasa begitu bila sudah mengantuk tetapi belum merasa
nyaman tetapi tidak juga mau naik ke peraduan. Sebenarnya ia sudah di atas
ranjang tadi dan sedang tertawa-tawa setelah susunya habis tapi melihat saya ke
luar kamar karena hendak menengok papanya yang sedang terbaring di kamar Affiq,
ia keluar lagi.
Afyad menunjuk-nunjuk ke
arah ruang makan. Saya tak mau. Karena biasanya dia “melampiaskan”
ketidaknyamanannya di sana dengan berbagai cara. Padahal saya hendak menerapi
papanya dengan alat terapi accupoint kami
guna meringankan gejala flu berat dan demam yang sedang dideritanya.
Sumber: www.profmuluka.com |
Benar-benar krusial
rasanya. Badan saya pun sudah lelah. Affiq dan Athifah masih harus dikomandoi
berkali-kali. Untung Athifah cepat naik ke tempat tidur. Bisa saja saya
menidurkan Afyad terlebih dulu, tapi bisa-bisa saya langsung pulas sebelum
menerapi papanya anak-anak. Saat saya menolak permintaannya, Afyad menangis
keras. Duh.
“Papa, ayo ke kamar
sekarang. Supaya Saya bisa garis punggungnya dengan accupoint sekaligus menidurkan anak-anak!” saya pun memberi titah
kepada sang separuh nafas.
Accupoint
dipergunakan dengan cara menempelkan ujungnya dan melakukan gerakan seperti
membuat garis-garis di bagian tubuh yang sakit. Ini agar medan magnit alat
tersebut bekerja. Selama ini, alat itu sangat membantu keluarga kami ketika
sakit.
Melihat air minum yang
belum disentuhnya, saya menjadi kesal, “Itu kalau sudah dikasih air minum,
minum maki’ supaya cepat sembuh!”
Saya heran. Saya pun
pernah berkali-kali sakit. Pernah pula parah. Tapi untuk urusan makan, saya merasa
lebih mandiri dari papanya anak-anak. Kalau sudah waktunya makan, saya berusaha
untuk makan sendiri. Kalau tak bisa, saya minta diambilkan, dibelikan, atau
dibuatkan oleh papanya anak-anak.
Urusan minum air dan
minum obat pun saya usahakan dan tepati sendiri. Saya tahu, lambat dan tak
makan atau minum akan berakibat semakin buruk pada diri saya. Akan membuat saya
semakin lama sembuh. Padahal pekerjaan mengurus anak-anak tak pernah ada
liburnya. Saya harus segera sembuh.
Tapi papanya anak-anak?
Walau sama-sama dewasa, ia seperti anak-anak kalau sakit. Saya mesti bolak-
balik mengingatkan makannya, minumnya, dan obatnya. Meski saya sudah meletakkan
di dekatnya sekali pun, saya harus rajin mengecek apakah ia sudah
mengkonsumsinya atau belum.
Kalau sedang santai
tidak masalah. Tapi kalau sedang ribet dengan anak-anak plus pekerjaan rumah? Saat ini masih ada pekerjaan rumah yang harus
saya selesaikan. Arrggh. Gemas sekali
rasanya.
Sumber: 4hdwallpapers.com |
“Kalau bukan saya,
siapa lagi?” saya mengingat slogan
sebuah iklan televisi.
Istighfar memang ajaib.
Kesadaran saya kembali. Kesabaran saya bertambah. Setahu saya melalui
pengalaman beberapa orang dan melalui sebuah artikel, bapak-bapak memang
seperti itu kalau sedang sakit.
“Ayo, Pa. Saya garis ki’,” ajak saya lagi.
Suami saya bangkit dan
melangkah menuju kamar kami. Malam sebelumnya suami saya memisahkan diri, tidur
di kamar Affiq. Affiq yang pindah kamar, tidur bersama saya, Athifah, dan
Afyad. Malam ini saya tak memperbolehkannya karena akan lebih sulit
memperhatikannya bila kami tidur di kamar yang terpisah. Biasanya saya harus
menerapinya berkali-kali hingga sembuh.
***
Saya bertemu suami saya
pertama kali di kampus. Ia senior saya (berikut saya menyebutnya dengan “lelaki
itu”), berbeda 4 angkatan dengan saya. Saya tertarik ikut aktif di kegiatan HMJ
ketika itu karena ternyata begitu banyak hal lain di luar mata kuliah yang bisa
dipelajari. Saya juga merasa perlu mengembangkan diri karena menyimpan rasa
minder dan ketakutan mengeluarkan pendapat dalam bentuk apapun secara luar
biasa.
Segala kegiatan di HMJ
membantu saya untuk keluar dari “cangkang”. Bahkan mengamati para senior
berdiskusi, sudah merupakan tambahan ilmu yang luar biasa bagi saya. Lelaki itu
merupakan salah satu senior yang banyak berperan di HMJ ketika itu.
Wawasannya luas. Ia dewasa.
Ia suka berpuasa nabi Daud. Banyak hal darinya yang berbeda dengan laki-laki
kebanyakan. Hmm sederet pujian ... apakah saya tertarik? Hehehe, bagaimana menurut Anda?
Lelaki itu orang pertama
yang memotivasi saya untuk menulis, jauh sebelum saya terbiasa menulis. Ini
karena saya tak pandai berkomunikasi secara lisan. Kami terbiasa berkomunikasi
secara tertulis. Tentang berbagai hal dalam lingkup organisasi. Bahkan tentang
politik dan berbagai hal lainnya.
Tertarikkah ia pada
saya? Hm, bagaimana menurut Anda? Hoho apa ini. Bolak-balik bertanya.
Sumber: www.carabudidayaternak.com |
Yang jelas ia tak
seperti yang lainnya yang begitu kentara saat mencoba mendekati saya. Hahay, yang lainnya? Iya, maklum saja.
Di fakultas Teknik kan jumlah mahasiswinya sedikit. Jadi jamak saja kalau mahasiswi
dipusingkan dengan urusan para mahasiswa yang mendekat dengan berbagai modus “mengerikan”
J.
Begitulah, akhirnya
jalan terbuka di depan kami hingga bisa naik ke pelaminan pada tahun 1999.
Hingga saat ini telah berbagai hal kami lalui bersama. Manis, asam, dan pahit.
Telah pula berjenis-jenis riak dan badai menghadang. Hingga saat ini ia selalu
mendukung aktivitas menulis saya yang belum terlalu lama saya jalani.
Ia bersedia mengantar ke
mana pun yang saya tuju untuk berburu referensi menulis. Ia bahkan bersedia
mencarikannya untuk saya. Untuk lomba blog yang ribet, yang harus menyetorkan hard
copy, ia bersedia mencetakkan dan mengirimkannya. Saat saya berkeinginan
menyusuri kanal sejauh hampir 5 kilometer untuk mengambil foto-foto guna bahan tulisan
saya, ia langsung bersedia.
Ia bahkan telah membuktikan, selalu ada untuk saya di titik
nadir saya. Saya selalu mengingat ini sehingga setiap saat ia sedang dalam
posisi tak menguntungkan, saya berkata pada diri saya, “Kalau bukan saya, siapa
lagi!”
Mitsaqan ghalizha. Perjanjian
yang kuat itu telah mengikat kami hingga hampir 15 tahun ini. Pengalaman
membuktikan, memang butuh komitmen kuat berlandaskan mitsaqan ghalizha dalam menjalani bahtera rumahtangga. Apalagi
kalau bukan pondasi iman sebagai pembangunnya. Semoga sisa usia kami ke depan
makin mengokohkan ikatan janji ini, agar bisa mengantarkan ketiga buah hati
kami menuju visi dan misi yang kami cita-citakan.
Makassar, 4 Januari 2013
Tulisan ini diikutkan giveaway novel PERJANJIAN YANG KUAT
Share :
selamat Sore, dari awal saya menyimak sampai akhir, tulisannya sangat menarik. Ingin rasanya saya juga segera berkeluarga seperti Mba. Semoga Tahun ini saya juga bisa menikah. aamiin. Semoga tulsan yang diikutkan giveaway novel PERJANJIAN YANG KUAT ini bisa menjadi juara...aamiin
ReplyDeleteaamiin semoga dimudahkan jodohnya dan menjadi suami yang baik ya :)
DeleteDulu saya keluar dr HMJ mbk...g suka kmpl rame2 hehe....baarokalloh mbk :)
ReplyDeleteSuksrs bt GAnya..
Sukses juga buat mbak Hana :)
DeleteMasyaallah hebat.. Saling melengkapi n menghargai ya Mbak. Semoga langgeng n bahagia trs ya Mbak.... Amiinn :)
ReplyDeleteHarusnya begitu ya mbak. Aamiin. Doa yang sama buat mbak Muna :)
Deletetulisan mbak Niar selalu sangat bagus :D
ReplyDeletesaya sangat iri dan ingin belajar membuat tulisan yg mengalir dan enak dibaca
semoga sukses mbak di GA ini
Tulisan Imam juga bagus koq, maknanya dalam :)
DeleteMakash ya :)
Semoga semakin bahagia dalam ridha Allah swt. ya, Mbak.
ReplyDeleteAamiin....
Aamiin ... makasih mas Azzet :)
DeleteDi situlah ada keindahan dalam kebersamaan. Meski terkadang amat menjengkelkan. Kayak saya yang sering diceramahi ummi anak-anak. He...7x
ReplyDeleteHihi istrinya pak Nuzulul Arifin kayak saya ya suka menceramahi suami :D
DeleteKomitmen...ya komitmen yang menguatkan agar pernikahan tetap merekatkan 2 insan
ReplyDeletewanita memang sepertinya ditakdirkan untuk lebih tegar dan kuat dalam menghadapi berbagai masalah rumah tangga yang kompleks...namun sesungguhnya sikap lelaki seperti itu karena dia sebenarnya membutuhkan perhatian dan kasih sayang yang lebih, apalagi bila suami istri sudah memiliki anak,,yang jelas bisa mengambil alih perhatian istri, yang semula untuk suami kemudian beralih ke sang anak.....
ReplyDeleteselamat ya ,mbak,, sudah menempuh perjalanan 15 tahun membina keluarga...semoga ikatannya semakin kuat..semakin rukun sehat bahagia selamanya.....
selamat berlomba, salam dari Banjarbaru, Kalimantan Selatan..
Sebelum punya anak pun, suami saya seperti bapak2 lain yang semacam itu begitu juga mbak Wieka. Kalo dengan suami saya, insya Allah bukan masalah pingin perhatian yang sekarang sudah terbagi dengan 3 anak :)
DeleteSemoga sukses juga buat mbak Wieka ya :)
Assalamualaikum. sudah lama tidak berkunjung, dan saat berkunjung langsung baca postingan luar biasa, :) saya memang selalu menikmati tulisan Mbak NIar, hehehe...
ReplyDeleteTulisan ini sangat inspiratif bisa menjadikan saya sebagai kaum laki-laki bisa lebih memahami betapa mulianya pekerjaan seorang ibu, saya juga jadi ingin menjadikan "kalau bukan saya siapa lagi" bagian dalam langkah gerak saya apabila sudah berkeluarga :)
Alhamdulillah .. terimakasih sudah membaca ya Rian.
DeleteIni ungkapan hati saya yang penuh kekurangan saja Rian, yang berharap untuk menjadi lebih baik. Terimakasih bila bermanfaat :)
selalu adem berkunjung ke sini..Insha Allah tetap langgeng selamanya ya un. Aamiin
ReplyDeleteAamiin Mimi, salam sayang untuk ketiga ponakan di Jambi ya :)
Deleteaku kalo liat Bu e sama Bapak juga gitu...
ReplyDeletepokoknya keduanya gotong royong...
tambah langgeng ya mbak
Kalo Bu e ngomel2 sama Bapak, kayak apa Jiah? :)
DeleteMakasih yaa
Teman saya bilang, suami itu ibarat bayi besar hehe..Sukses GA nya mba
ReplyDeleteHihi mirip dengan yang ada dalam benak saya ya mbak :D
Deleteterasa damai membaca tulisan mbak. terasa diingatkan :)
ReplyDeletesukses GAnya mbak :)
Alhamdulillah .. ini pun pengingat buat saya mbak :)
DeleteSukses juga buat mbak ya
Udah 15 thn? wahh pasti sudah bnyk hal yg dilalui. semoga makin mengokohkan dan menguatkan ya mbak ...
ReplyDeleteikatan yang kuat nan suci berlandaskan kecintaan kita pada Allah dan Rasul-Nya, ya, Mbak. semoga sakinah mawaddah wa rahmah hingga maut memisahkan. aamiin....
ReplyDeleteHehehe.. memang susah ya mba, istri mau egois gak bisa.. makasih dah ikut GA-ku ya :-)
ReplyDelete