Sekitar 6 bulan, mungkin
malah lebih, saya menyelesaikan membaca buku ini. Tidak ringan membacanya
karena muatannya yang begitu sarat. Sarat makna dan sarat pengetahuan. Saya
begitu menikmati membacanya walau tak mudah memahaminya. Saya mengurai
pesan-pesannya dengan perlahan-lahan, sesekali berhenti untuk merenungkannya
sekaligus mengagumi cara bertutur penulisnya, lalu membacanya lagi.
Dengan tulus saya
mengakui kalau saya begitu jatuh cinta pada buku ini. Latar belakang pendidikan
saya di bidang eksakta dan ketertarikan saya pada bidang pengembangan diri,
psikologi populer, pendidikan praktis, filsafat, dan tasawuf membuat saya
merasa asyik sekali mengunyah isi buku ini. Dalam buku ini terbukti ada paradigma revolusioner dalam kehidupan dan
pembelajaran. Semoga bisa meresensinya dengan baik setelah benar-benar khatam
membacanya beberapa hari lalu.
¨¨¨
Titik Ba: Paradigma Revolusioner dalam Kehidupan dan
Pembelajaran
Penulis: Ahmad Thoha Faz
ISBN: 979-433-457-x
Penerbit: Mizan
Tahun terbit: 2007
Ketebalan: 464 halaman
Dimensi buku: 19 cm x 14,5 cm
Dengan
jujur penulis mengakui kalau ia tak membahas hal-hal baru. Ia hanya menuliskan
paradigmanya tentang kehidupan dan pembelajaran dengan cara yang berbeda. Cara
yang berbeda itulah yang menjadikan buku ini menjadi luar biasa.
Banyak
buku yang membahas tentang psikologi populer, pengembangan diri, pendidikan
praktis, filsafat, dan tasawuf dalam perspektif Islam maupun umum. Tetapi
semuanya hanya mengambil satu tema besar saja. Tema psikologi populer saja,
atau tema filsafat saja misalnya. Nah, kelebihan
buku ini adalah, memuat kesemua tema itu. Di dalamnya ada psikologi
populer, pengembangan diri, pendidikan praktis, filsafat, dan tasawuf
sekaligus, dalam perspektif Islam.
Kesemuanya
dibahasakan penulis yang punya latar belakang kemampuan otodidak yang luar
biasa sejak kecil ke dalam 4 bagian besar:
Bagian
I: Sang Musafir yang Rindu Pulang
Bagian
II: Keutuhan Simbol-Simbol Tuhan
Bagian
III: Prinsip-Prinsip Universal untuk Membaca Simbol-Simbol Tuhan
Bagian
IV: Ke Titik Ba, dari Titik Ba
Satu
quote yang merupakan pertanyaan
mendasar yang harus dijawab oleh semua orang mengawali buku ini:
“Siapa diri kita?”
merupakan awal dan akhir segala pertanyaan yang patut diajukan. Dengan
mengetahui jawaban itu, niscaya terkuak pula jawaban apa tujuan langkah kecil
(oleh mata kaki) maupun besar (oleh mata hati) kehidupan ini dan juga bagaimana
cara mencapainya (halaman 37).
Quote itu dilanjutkan dengan
kutipan sebuah ayat dalam al-Qur’an: Janganlah
kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Tuhan. Maka Dia menjadikan mereka
lupa akan diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik. – QS.
Al-Hasyr (59):19 (halaman 39)
Pada
bagian 1 pembaca diajak merenungkan makna kehadirannya di dunia ini dan
bagaimana memposisikan dirinya. Menariknya, penulis membahasnya dalam aneka
perspektif, seperti fisika, sosiologi, dan psikologi.
Bahkan
dalam pembahasan di bab-bab selanjutnya, penulis mengemukakan argumen-argumen
dalam perspektif ilmu Matematika, Logika, Antropologi, Bahasa, dan
cabang-cabang ilmu lainnya. Penulis tak sekadar mengutip dan menghimpunnya
tetapi ia mampu menyisipkan gagasan-gagasannya dengan cara yang mencengangkan.
Seperti
yang termuat pada halaman 87:
Menurut Chomsky, setiap
anak mampu menggunakan bahasa dengan segala kepelikan bahasa karena adanya
pengetahuan bawaan yang telah diprogram secara genetik di dalam otak (disebut kompetensi) sebagai alat pemeroleh
bahasa (Language Acquisition Device) yang berisi hipotesis-hipotesis bawaan.
Jadi, bayi yang lucu dan manis bukanlah tidak memiliki kearifan, melainkan
mereka tidak memiliki bahasa untuk mengungkapkannya (disebut performansi).
Tak
ketinggalan, buku ini menyajikan informasi pada catatan-catatan kakinya mengenai
siapa dan kekhasan apa yang dimiliki tokoh/ilmuwan yang pendapatnya dikutip.
Ada banyak nama bertaburan di sini, mereka merupakan orang-orang hebat yang berasal
dari timur dan barat, dari segala penjuru dunia.
Ada
John Locke (seorang filosof Inggris yang hidup di era 1632 – 1704), Noam
Chomsky (orang Yahudi, pencetus teori tata bahasa generatif yang lahir tahun
1928), Gordon Hewes (antropolog Amerika yang hidup di masa 1917 – 1997),
Muhammad Iqbal (penyair, filosof, dan politisi muslim India yang hidup pada
masa 1877 – 1938), Hasan Al-Bashri (ulama dan cendekiawan Muslim yang hidup di
era 642 – 728), dan lain-lain.
Membuka
kembali (setelah membaca) lembar-lembar buku ini dan membacanya secara parsial
(sebagian-sebagian) pun amat memudahkan pembaca dalam menemukan makna-makna
kehidupan.
Walau
mencoba mengambil makna holistik (keutuhan) buku ini dengan membacanya secara
menyeluruh dan melihatnya sebagai sebuah bangunan utuh yang terdiri dari
beragam kepingan puzzle amat
disarankan, menariknya secara sebagian-sebagian buku ini dapat ditarik pesannya
untuk dijadikan quote-quote terpisah yang
patut direnungkan.
Seperti
yang tercantum pada halaman 169:
Masa depan dibuat dari
bahan-bahan yang sama dengan masa lalu dan sekarang. Kita mempelajari sejarah
karena yakin bahwa dari mempelajari sejarah masa lalu, kita bisa menemukan
hukum-hukum yang menguasai kehidupan manusia, masa sekarang dan masa depan.
Pemahaman yang solid terhadap sejarah sudah lama menjadi petunjuk yang terbaik
untuk memahami saat ini dan mengantisipasi masa depan.
Atau
yang dituliskan di halaman 229:
Sebagai contoh, guna
memahami satu kata, misalkan “sabar”, tidak cukup apabila disimpulkan hanya
pada satu kalimat saja. Dengan asumsi al-Qur’an menggunakan suatu kata secara
konsisten, kata sabar akan makin jelas maknanya apabila kita juga mencermati
kalimat-kalimat lain yang menggunakan kata itu.
Misalnya QS. 10:109,
30:60, 20:130 dan 132, 16:127, 19:65, 31:17, dan 2:153. (Analoginya, supaya
lebih jelas apa yang dimaksud presiden Soeharto tentang “demokrasi Pancasila”,
kita perlu mengikuti ucapan beliau yang mengandung kata tersebut pada sebanyak
mungkin kesempatan). Menurut Raghib Al-Asfani, seorang pakar bahasa al-Qur’an,
kesimpulan atau titik fokus utama dari segala macam bentuk kesabaran yang
dimaksud al-Qur’an terdapat pada QS. 2:177.
Buku
ini amat membius. Disajikan dengan gaya bahasa yang sederhana, mudah
dimengerti. Wajar pula bila penulis bisa menuliskannya dalam perspektif Islam dengan
begitu bagus karena lelaki kelahiran 1978 ini latar belakang islaminya cukup
kental. Di samping itu selama bertahun-tahun paradigma “titik ba” ini ia bawa
dalam perenungannya sehari-hari.
Romantisnya,
saking berharganya, ia mencetak sendiri Titik Ba dan pada cetakan kelima Titik
Ba menjadi salah satu mahar pada pernikahannya di tahun 2004.
Penulis
yang pernah kuliah di Teknik Industri ITB ini berhasil membuat rektor ITB kala
itu: Prof. DR. Ir. Djoko Santoso, M.Sc dan Ahmad Syafi’I Ma’arif (ketua umum PP
Muhammadiyah 1998 – 2005) memberikan testimoninya untuk buku ini.
Entahlah,
apakah buku ini dicetak ulang atau tidak. Tapi seharusnya buku ini dicetak
berulang kali karena kedalaman pembahasannya dituliskan dengan teramat apik
oleh penulisnya yang memiliki wawasan yang teramat luas dan layak dijadikan
sebagai “buku manual kehidupan” bagi siapa pun yang berkehendak hidup sejahtera
di dunia dan di akhirat.
Makassar, 26 Januari 2014
Update 26 Desember 2018
Buku yang di-review ini terbut tahun 2007, sudah tidak ada di toko-toko buku. Kabar baiknya, buku ini sudah diterbitkan kembali oleh penerbit berbeda, yaitu Hijrah Tahta Artha pada tahun 2018. Update-nya bisa di baca di tulisan berjudul
Buku yang di-review ini terbut tahun 2007, sudah tidak ada di toko-toko buku. Kabar baiknya, buku ini sudah diterbitkan kembali oleh penerbit berbeda, yaitu Hijrah Tahta Artha pada tahun 2018. Update-nya bisa di baca di tulisan berjudul
Berkah Ngeblog: Bertestimoni pada TITIK BA, Buku Favorit yang Diterbitkan Kembali
Update 13 September 2024
Buku Titik Ba diterbitkan kembali tahun 2021 oleh penerbit Republika. Jika ingin memesannya bisa di: https://www.tokopedia.com/republika/titik-ba-pre-order
Share :
buku berat ya, bun. penasaran tapi ketebalannya bikin mikir mau bacanya kapan :D
ReplyDeleteBacanya pelan2 saja Ila :) keren abis ini buku
Deletebukunya blh d pinjam ga kak??
ReplyDeleteLagi dibaca sama bapaknya anak2, Nu. Mungkin nanti pi :)
DeleteJadi penasaran dgn buku ini setelah membaca review mba,
ReplyDeleteDicatat, untuk dicari nanti di toko buku.
Langsung cari di website-nya Kang. Ini buku lama cuma baru saya baca, sudah tidak ada di toko buku
DeletePenasaran sama buku ini jadinya. Terbitan lama ya. Buku bagus sarat makna tak menjamin cetak ulang, seringnya malah susah nyarinya atau berakhir di obralan :(. Kira2 susah juga ga ya nyari buku ini...
ReplyDeleteSalam kenal, Mbak :)
Salam kenal, makasih sudah membaca :)
DeleteIya benar. Buku ini pun saya belinya sudah diskon, langsung di penerbitnya kira2 2 tahun yl. Tapi baru saya baca tahun kemarin. Membacanya pun selama berbulan2 :)
wah mba...jadi tertarik untuk mebacanya juga...sepertinya menjanjikan sekali...resensinya juga begitu 'mengundang'..thanks ya mbaaa...
ReplyDeleteKeren mbak ... hm buat saya sih, mudah2an buat yang tertarik dengan resensi ini juga :)
Deletetitik ba tu apa ya mba,,*penasaran*
ReplyDeleteTitik Ba itu istilahnya untuk menamakan paradigma kehidupan dan pembelajaran yang dipaparkannya dalam buku ini. Ada juga fiosofinya :)
Deletemakinkesini, aku membatasi melahap buku-buku yang bermuatan tasawuf xixixi
ReplyDeleteSaya lg nyari buku ini, Ka.... :)
ReplyDeleteYang masih jual dimana ya ? Trus kira kira harganya berapa ?
ReplyDeleteApa nama bukunya
ReplyDeleteBuku nya bisa dapat dimana ya, soalnya nge cek ke gramedia ngga ada
ReplyDeleteSudah tidak ada di toko buku karena sudah lama sekali terbit edisi yang di tulisan ini. Tapi buku ini baru diterbitkan kembali oleh penerbit lain bisa pesan via http://bit.ly/orderbukutitikba.
DeleteBukunya harus segera di pelukan ini :D
ReplyDelete