Parkiran Fort Rotterdam, di sini tenda Penyala Makassar didirikan |
Langit
Makassar menjelang siang pada tanggal 14 Februari itu mendadak gelap. Angin
bertiup amat kencang. Walau hanya berdiri di dekat beranda rumah, saya bergidik
merasakan terpaan angin.
Harap-harap
cemas hujan tak berlangsung lama. Saat curahannya mereda, saya beserta suami
nekad memboyong Athifah dan Afyad dengan Mega Pro andalan ke Fort Rotterdam,
tempat ajang Say It With Books berlangsung.
Hari
itu ada serah terima secara simbolis buku-buku yang disumbangkan orang-orang
melalui IIDN Makassar ke komunitas Penyala Makassar. Untungnya 311 buku yang terkumpul
sudah dijemput oleh teman-teman relawan Penyala. Di samping itu, saya membawa 43 eksemplar buku
lagi, sumbangan dari Sorowako (sebuah kota di kabupaten Luwu Timur). Makanya
saya harus menghadiri acara hari ini. Oya, satu lagi, Bunga – salah seorang
relawan meminta saya untuk memberikan sedikit materi tentang menulis. Hm, saya tak jago, tapi kalau sedikit sharing, saya pikir tak mengapa.
Menghitung buku |
Sambil bercanda |
Mendekati
Fort Rotterdam, intensitas hujan bertambah. Awan abu-abu menggumpal pekat di
atas laut selat Sulawesi. Sepertinya hujan bakal turun sepanjang hari. Dari
barat hingga timur, langit sepakat meronakan warna kelabu pada awan-awan yang bergelantungan.
Tenda
anak-anak muda relawan Penyala Makassar didirikan di depan Fort Rotterdam.
Siapa pun yang ke tempat ini pasti melihatnya. Mungkin mereka meletakkannya di
depan, bukannya di bagian dalam, supaya mudah terlihat oleh para pengunjung Fort
Rotterdam.
Sayangnya
cuaca tak bersahabat. Tadinya acara dijadwalkan berlangsung sore hari, di
panggung terbuka di halaman benteng. Tapi tak mungkin lagi karena hujan tak kunjung
berhenti. Suami saya dan anak-anak masuk ke dalam benteng. Saya duduk dengan
para anak muda relawan Penyala di bawah tenda mereka, di udara terbuka.
Berkali-kali
angin kencang bertiup. Menyelimuti kami dengan hawa dingin. Tempias hujan sesekali
memerciki kami. Saya suka menyaksikan anak-anak muda ini bercanda. Sesekali ada
yang “kasak-kusuk” menelepon dan keluar-masuk Fort Rotterdam. Sepertinya mereka
sedang mengatur supaya bisa melangsungkan acara di dalam salah satu gedung yang
ada di dalam sana.
Untung dilapis plastik, jadi bisa "bertahan" dalam cuaca huja |
Biar hujan, bercanda tetap ... :) |
Berulang
kali saya melihat jam. Gelisah. Tubuh saya belum sehat benar. Kemarin saya flu
berat. Dari rumah saya memakai baju berlapis-lapis supaya bisa menahan angin.
Tapi dalam kondisi cuaca seperti ini tidak membantu. Karena angin yang bertiup
bukan angin yang biasa. Angin yang ini bertiup kencang, disertai hawa yang
teramat dingin dan percikan air hujan.
Punggung
saya mulai terasa dingin. Badan saya yang memang alergi hawa dingin sudah mulai
merasa tak enak. Tapi anak-anak muda ini membuat saya mencoba bersabar. Mereka
begitu sabar mengusahakan supaya acara puncak Say It With Books tetap bisa
dilangsungkan.
Mereka
masih tetap bercanda sembari membicarakan rencana hari ini. Kardus-kardus yang
digeletakkan di atas tanah dipindahkan ke atas meja karena lantai alam di bawah
kami mulai tergenang.
Antologi yang memuat kisah-kisah para penyala |
Tumpukan buku dan barang-barang lain |
Seorang
relawan menawari, kalau-kalau saya mau membeli pin dan stiker Say It With
Books. Hasil penjualan pin dan stiker ini nantinya akan dipakai untuk
mengirimkan buku-buku donasi ke beberapa daerah di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat,
dan Sulawesi Utara.
Anak-anak
muda ini masih ceria. Kegembiraan mereka dalam beraktivitas sosial dalam cuaca
yang buruk ini menggembirakan saya. Sesekali saya bercakap-cakap dengan mereka.
“Mahasiswa
ya?” sapa saya ramah kepada seorang relawan bernama Putri.
“Iya,”
jawab Putri sembari tersenyum manis.
“Semester
berapa?”
“Semester
tujuh.”
“Ibu
dari mana?”
“IIDN
Makassar.”
“Ibu
kerja di mana?”
“Saya
ibu rumahtangga.”
Masya
Allah. Saya bisa mengucapkan “saya ibu rumahtangga” dengan perasaan biasa-biasa
saja. Tidak seperti dulu. Dulu saya sering mengucapkan kalimat itu dengan
perasaan minder karena sudah takut duluan diremehkan orang!
“Hebat
ya, Bu. Ibu rumahtangga tapi masih menulis.”
“Alhamdulillah.
Ini hasil dari lomba menulis, lho,” saya menunjukkan HP dan power bank yang tergeletak di meja di
depan kami. Bukan sok pamer, koq kebetulan
sekali HP itu low bat saat itu jadi
sekalian saja saya tunjukkan.
Tapi
saya memang tak berniat pamer. Saya mengatakan hal itu untuk menyampaikan bahwa
menulis pun kalau diseriusi bisa juga “menghasilkan”.
***
Apa boleh buat, penampakan front desk-nya jadi seperti ini :) |
Memasang spanduk |
Cuaca
belum juga mau bersahabat. Beberapa mobil truk TNI AD yang membawa istri-istri dan
anak-anak dari anggota TNI AD menyelamatkan kami dari terpaan angin kecang.
Mobil-mobil itu diparkir tak jauh dari kami sehingga tiupan angin yang terindera
tak lagi sedahsyat sebelumnya.
Selembar
spanduk dipasang, menjadi satu sisi dinding di bawah tenda. Ada sederetan nama dan
logo komunitas yang berpartisipasi di dalamnya, termasuk IIDN Makassar. Nama-nama
komunitas yang berpartisipasi tertera di situ, yaitu: LeMinA, Lendabook, IZOC
(Indonesia Zombie Club Regional Makassar), KPAJ (Komunitas Pecinta Anak
Jalanan), Getkustik, Street Capoeira, SPaSI chatting, CoMaSu (Cosplayer
Makassar Suki), dan Stand Up IndoMKS.
“Nu,
kalau reda hujan, Saya mau pulang mi nah,” ujar saya pada Nurul Rejeki yang
akrab disapa Nunu. Saya gelisah memikirkan anak-anak dan kondisi badn saya.
Untung saja di dalam kompleks benteng banyak bangunan yang bisa dijadikan
tempat berteduh.
Masih hujan ... |
Tapi anak-anak muda ini masih bersemangat |
Acara
serah terima secara simbolis dari saya mewakili IIDN Makassar kepada Penyala
Makassar segera dilaksanakan. Sederhana saja. Dilakukan di depan spanduk, tepat
di depan logo IIDN, sambil difoto.
Begitu
hujan reda, saya pamit masuk ke dalam benteng untuk mencari suami dan
anak-anak. Athifah dan Afyad terlihat senang. Mereka menikmati perjalanan ini.
Memakai jas hujan dan “berpetualang” di Fort Rotterdam dalam hujan begitu
menarik bagi mereka.
“Pulang,
Yuk. Sebelum deras lagi.” ajak saya.
Awan
kelabu masih memenuhi langit kota. Jam menunjukkan hampir pukul setengah lima
ketika kami sampai di tempat parkir ….
“Kak,
acaranya sebentar lagi berlangsung di gedung. Bisa ki’ ikut? Kalau mau, Kita’
bisa tampil duluan. Tapi terserah mi.”
“Saya
tidak enak badan. Kemarin flu berat. Mumpung hujannya berhenti, Saya mau
pulang, soalnya bawa anak-anak. Takutnya sebentar hujan lagi.”
Ribet ya, memasang spanduk dalam terpaan angin kencang |
Mereka anak-anak muda yang luar biasa. Setuju? |
Rasanya
badan saya sudah tak bisa diajak kompromi. Sesekali kepala saya merasa pusing,
mana saya belum shalat Ashar lagi. Kalau masih tinggal di sini dan terjebak
hujan lagi … waduh. Hati nurani saya pun
membenarkan, pulang adalah keputusan terbaik walaupun saya kepingin juga tampil untuk bercerita tentang aktivitas menulis yang
saya lakukan, juga kepingin sekali
melihat atraksi capoeira dan cos play.
Mohon
maaf ya teman-teman Penyala, mudah-mudahan lain kali saya bisa berpartisipasi
lagi. Terimakasih, saya dan IIDN Makassar bisa ikut berbagi di ajang Say ItWith Books kali ini. Saya senang sekali bisa menyaksikan sendiri dari dekat semangat
kalian dalam membantu sesama. Semoga ini menjadi bekal berharga bagi kalian
untuk kelak menjadi orang sukses dalam kehidupan. Saya optimis, kalian bisa
menjadi penggerak untuk menyalakan Makassar, bahkan Indonesia.
Makassar, 23 Februari 2014
Share :
Kita semua bisa ambil bagian tuk mengisi kemerdekaan ini. Mereka mgkn msh mahasiswa, msh belum berpenghasilan tapi mrk bisa mengajak org2 berduit tuk peduli pd Pendidikan ini. Mrk bantu mengumpulkan dan mengirimkan buku bg mrk yg nun jauh di desa di tanah air kita tercinta.
ReplyDeleteAnak-anak desa yg menyala akal budinya krn membaca buku yg baik, bagaikan jutaan lampu yg menyalakan Indonesia. Indonesia Menyala krn sumberdaya manusianya.
Saya Bunga. Saya Penyala. Saya berhenti mengutuk kegelapan dan memilih menyalakan lilin tuk Indonesia.
Saya berhenti mengutuk kegelapan dan memilih menyalakan lilin tuk Indonesia.
DeleteSuka sama kalimat itu. Benar, daripada mengutuk, lebih baik menyalakan lilin. Meski nyalanya kecil tapi bisa menerangi sekelilingnya. Sip Bunga. terimakasih komennya, terimakasih sudah membaca. Salut dengan aktivitas Penyala. Salam sama anak2 muda luar biasa itu :)
salut untuk anak2 muda yg semangat dn peduli dg pendidikan indonesia :)
ReplyDeleteBangga dengan anak2 muda seperti ini, menyalurkan hasrat mereka yang menyala-nyala dg hal yg positif...Semoga cpt sehat mak Niar
ReplyDeleteWah, senang banget saya baca ini. Anak-anak muda relawan itu, saya salut dengan mereka.
ReplyDeleteSelamat juga ya mbak, telah berhasil mengumpulkan buku sebanyak itu. Moga bermanfaat bagi yang menerimanya.
Hormat dari saya di Bekasi,
luar biasa langkahnya mba...bermanfaat banget, bisa mncerdaskan anak bangsa...saluut
ReplyDeletesaya salut banget dengan yang memberi berjuta juta langkah untuk amal dengan memberikan pengetahuan melalui buku.. sungguh luar biasa
ReplyDeletesalam ^_^
Acaranya luar biasa banget, salut deh buat kalian semua.
ReplyDeleteSalam
Seneng rasanya melihat anak-anak muda yang peduli terhadap masa depan bangsa
ReplyDeleteDari foto-foto yang Niar sajikan ...
ReplyDeleteSaya bisa membayangkan suasananya saat itu ...
air hujan yang di terpa angin ...
basah ...
berantakan ...
tapi ini tidak menyurutkan semangat anak-anak muda tersebut ...
BTW ...
Penyala itu artinya semacam lentera atau yang menyala ya Niar ?
Salam saya Niar
(24/2 : 5)
Salut, sama semangatnya mereka, Bun. Kepeduliannya luar biasa, dan bukunya pasti sangat bermanfaat bagi mereka yang menerimanya..
ReplyDeleteterharu,,, semoga tahun depan masih diadakan lagi kegiatan "say love with book" ini...
ReplyDelete