“Aku
cerita ini ke Niar karena nggak
mungkin cerita ke keluargaku. Kalo Aku cerita dan besok-besok Aku sudah baikan sama
masku, sudah sayang-sayangan lagi, mereka masih marah sama masku .. kan malu.”
Saya
masih mengingat perkataan seorang sahabat saat saya masih di perantauan dulu.
Ia bukan menceritakan aib suaminya. Bukan. Ia hanya sekadar curhat mengenai
perbedaan pandangan yang biasa terjadi antara pasangan suami-istri yang
menimpanya kala itu.
Saya
bisa melihat permasalahan itu dengan proporsional, tentu akan berbeda bila yang
mendengarnya keluarga dekat sahabat tersebut. Keluarga dekat selalu bersedia
tampil sebagai pelindung dan pembela, apapun masalah yang terjadi.
Terlebih
lagi sebuah masalah, walaupun kecil sering memicu pertengkaran antara
suami-istri. Bahkan bisa menjadi besar dan melibatkan keluarga besar. Lihat
saja permasalahan rumahtangga artis yang terekspos infotainmen bila melibatkan
orangtua kedua belah pihak.
Sumber: infoobatherbal.net |
Tak
perlu jauh-jauh. Saya pernah menegur seorang kerabat yang sudah berkali-kali “sayang-sayangan”
sama suaminya tetapi ibunya masih juga jengkel sama suaminya. Padahal
masalahnya tidak besar tapi si ibu yang amat menyayangi putrinya menjadi lebih
emosional ketimbang anaknya, bahkan masih menyimpan emosinya selama berbulan-bulan
setelahnya. Sementara entah sudah berapa kali putrinya itu bermesraan dengan
suaminya.
Riak
kecil, bahkan badai niscaya dalam rumahtangga. Memang belum lama usia
pernikahan saya dan suami namun ada hal-hal yang berusaha secara konsisten saya
lakukan dalam menjaga lestarinya bahtera kami.
Menjelang
usia 15 tahun pernikahan, saya belajar banyak dari pengalaman orang-orang di
sekitar. Juga dari berbagai media. Ini bermanfaat sekali karena bisa mengambil
hikmah dari berbagai permasalahan yang paling pahit pun tanpa perlu kita
mengalaminya terlebih dahulu.
Tentu
saja, dari pengalaman sendiri juga harus pandai-pandai mengambil hikmahnya.
Juga pandai-pandai introspeksi diri. Semakin bertambahnya usia, untuk menjadi
semakin bijaksana, saya harus semakin banyak belajar karena semakin menyadari
bahwa saya hanyalah setitik noktah di dunia ini.
Dua
menjadi satu. Kira-kira seperti itu kebersamaan dua pribadi berbeda yang dipersatukan
oleh akad nikah. Semua perbedaan berpotensi menimbulkan konflik.
Jika
tiba-tiba mendapati perasaan sedang tak enak, saya membiasakan diri bertanya
pada diri sendiri, “Apa yang sedang saya rasakan?”
Jika
jawabannya, “Marah,” saya bertanya lagi, “Marah kepada siapa?”
Jika
jawabannya, “Suami,” saya bertanya lagi, “Apa alasannya?”
Saya
berusaha selogis mungkin mencari alasan kemarahan saya. Namanya masih punya
egoisme, selalu saja ada bisikan untuk mencari pembenaran. Tapi sebisa mungkin
saya mencoba untuk jujur dan melihat kelemahan saya.
Jika
pada akhirnya saya mendapatkan jawaban, “Tak ada alasan untuk marah.”
Maka
saya berusaha mati-matian menghentikan kemarahan itu dengan istighfar dan
memohon ampunan-NYA. Di sini terasa benar, betapa saya membutuhkan Allah,
bahkan untuk mengendalikan diri saya sendiri. Betapa kerdil diri ini!
Lalu
saya mengingat-ingat segala sisi positif suami yang jika dihitung, ternyata
jauh lebih banyak dari kelemahannya. Dan sebaliknya, saya ternyata memiliki
banyak kelemahan pula.
Sebisa
mungkin saya menyugesti diri untuk meyakinkan bahwa, kami adalah dua menjadi
satu. Di mana kekurangan/kelemahan saya ditutupi oleh kelebihan suami. Dan
sebaliknya, saya harus bisa menutupi kekurangan/kelemahan suami dengan
kelebihan yang saya miliki. Saya harus bisa mengusahakan kelebihan dengan
berusaha untuk lebih sabar, lebih ikhlas, lebih tawakal, dan lebih meyakini-NYA
Berbekal
curhat sahabat di atas, saya berusaha menjaga nama baik suami. Meski serumah
dengan orangtua, alhamdulillah kedua orangtua saya tak pernah tahu permasalahan
rumahtangga saya sebesar apapun itu.
Mungkin
sepintas lalu orang mengira kami tak punya masalah. Tidak, itu tak mungkin. Kami
dihadapkan oleh berbagai persoalan tetapi sebisa mungkin saya tak
membocorkannya kepada kedua orangtua saya. Saya berharap, ini akan menjadi ibadah
jihad yang bisa saya banggakan di hadapan Allah nanti.
Menjaga
nama baik suami, itu penting sekali karena kami adalah dua yang menjadi satu
dan menjadi pakaian satu sama lain. Bila saya tak menjaganya, itu berarti saya
tak menjaga nama baik saya sendiri.
***
Indahnya ... Sumber: enddels.blogspot.com |
Ini
sekadar sharing saja, bukan untuk
menceritakan saya hebat. Bukannya saya tak pernah kebablasan. Saya pernah marah
bagai orang kesetanan. Namun Allah Yang Mahapenyayang masih merahmati saya
dengan menegur hati nurani saya. Begitu tersadar, saya duduk terdiam. Istighfar
sebanyak mungkin. Mohon ampunan-Nya dengan berlinangan air mata. Sungguh, DIA
memang Mahapenolong. Setelah menyerahkan kontrol diri saya pada-Nya, saya
tertuntun untuk kembali introspeksi diri.
Ternyata
saya memang teramat hina, teramat kecil. Butuh Allah Yang Maha Besar untuk
mengendalikan diri saya. Setelah ketenangan diperoleh, saya mengharuskan diri
untuk menekan ego, mencium tangan suami tercinta sembari meminta maaf. Ada rasa
malu dan menyesal, tapi belajar untuk menjadi lebih baik bukanlah kekalahan.
Makassar, 25 Februari 2014
Artikel ini diikutkan GA Wonderful Wife by Ida Nur Laila
Catatan:
Untuk
blog mak Ida, sudah oke menurut saya. Hanya perlu ditambahkan link yang
menunjukkan buku-buku mak Ida. Mungkin berupa label postingan atau tambahan page.
Share :
Iya setuju masalah keluarga bukan untuk konsumsi org lain, aku juga kl ada masalah gq pernah curat ke sana kemari, kan ada Allah ya Mbak :)
ReplyDeleteHhmm... Tips keren nih.. Calon pemenang Kyanya... Aku mlipir sek lah ;-)
Wew mbak Muna ... jangan merendah :)
DeleteSebuah renungan buat calon pengantin seperti saya mak :)
ReplyDeleteDimana ki tinggal di Makassar mak?
Di Rappocini ... eh orang Makassar juga? tinggal di mana? :)
DeleteToddopuli 10 Baru :) kapan2 boleh ketemuan ya, saya sering lewat Rappocini, macetnya minta ampun :)
DeleteBiasanya saat marah yang teringat adalah kesalahan-kesalahan yang dulu. Hal itu malah menambah dendam dan marah makin membara. Beruntunglah Niar masih bisa berpikir logis ketika marah, marah alasannya kenapa? Hal ini menjadi semacam rem
ReplyDeleteHarus cari cara supaya bisa mengerem. Itu lebih baik daripada mencari pembenaran :)
DeleteSetuju Mak. Masalah dg suami pasti ada, semoga sy masih terus menyimpan buat berdua. Sy pernah baca, mengadu kepada Allah pasti aman dari kebocoran :-) Eh, tapi kadang justru orang luar yang "ngomporin" lho #gemesss
ReplyDeletesetuju mak...., maslah dengan suami tidak harus di gembor-gemborkan..., tak semua orang mesti tahu..., karena tak semua orang juga yang dapat memberikan nasihat baik...malah banyak yang mengompori dan akan memperburuk keadaan...
ReplyDeletesukses GA nya ya mak...
Iya mak Niar...dlm rmh tangga pasti slalu ada maslah, tp hrs pandai menyingkapi semua mslh dg bijak, belajar dr pengalaman yll, tdk grusa -grusu...ngadu sana ngadu sini...malah jd omongan org...mslh g selesai mlh menambah mslh baru. Sukses dg GA-nya mak Niar...
ReplyDeleteMemang perlu penyesuaian sana sini dengan suami dan terus belajar agar baik2 saja ya mbak :)
ReplyDeleteaah..., keren banget Niar ini ya..
ReplyDeletesetuju banget pendapatnya..
sampai kapanpun dua orang tak akan bisa jadi satu, seumur hidup harus terus belajar menyesuaikan
ternyata menjaga nama baik juga termasuk ibadah jihad ya bu? mantab deh.
ReplyDeleteJadi istri itu harus terus belajar ya mbak, satu kali salah memperbaiki supaya kedepannya lebih baik lagi. Mbak Niar pasti istri idaman deh
ReplyDeleteberkunjung maak. tengkiu yaa
ReplyDeletesetuju sekali dengan artikel ini, Mak
ReplyDeletedua jadi satu, berbeda tapi satu tujuan. berbeda dan bersatu karena cinta ;)
terima kasih atas sharingnya kak. jadi bahan renungan khusus buat saya yang masih 'satu' ini, hehe :D
ReplyDeletebuat bekal pelajaran nanti tante.... menuju persiapan hehe
ReplyDeletehaduh Emak yang satu ini the best hehe,,,
ReplyDeletemasukan juga buat smw orang.. makash mbak...
sharing plus GA yng bagus :)
moga menang
engga kok mbak Niar, emang hebat ^_^
ReplyDeleteInspiratif, Mak... Kita memang harus terus belajar mendidik & terus menyadarkan diri sendiri. *Jadi ikut merenung...
ReplyDelete