Saya
sedang berkonsentrasi pada tugas-tugas seleksi Srikandi Blogger 2014 ketika menyadari
belum mengirim tulisan untuk mengikuti seleksi Kelas Menulis dan Meneliti (saya
singkat dengan KMM) Bersama Makassar Nol Kilo Meter. Sebagai informasi, Makassar Nol Kilo Meter (makassarnolkm.com) adalah web yang
merupakan sebuah upaya mengungkap denyut kehidupan yang khas dan unik di Kota
Makassar ke dalam sebuah wadah online.
Yang
akan mengajar para peserta pelatihan tentu saja mereka yang ada di belakang website
ini. Salah satunya yang saya kenal adalah Anwar Jimpe Rahman yang akrab disapa
Jimpe. Saya pernah membaca tulisan-tulisannya di buku Makassar di Panyingkul (sebuah
buku yang memuat tulisan jurnalis warga tentang Makassar) dan di blognya.
Seperti
sebuah anugerah saja mendapatkan informasi KMM ini karena saya menyimpan
keinginan belajar dari Jimpe mengenai kaidah-kaidah penulisan ala jurnalisme
warga yang sesungguhnya. Saya tahu ada kaidah-kaidah jurnalisme warga yang
harus dipatuhi setelah membaca buku Makassar di Panyingkul, tulisan-tulisan di
website Makassar Nol Kilo Meter, tulisan-tulisan Jimpe, dan buku Jurnalisme
Sastrawi.
Maka
kesempatan ini tak sia-siakan. Meski sudah hari terakhir, saya berusaha menyelesaikan
sebuah tulisan mengenai pedagang sepatu di sebuah jalan kecil. Sempat panik
waktu mengirimkan tulisan karena e-mail yang saya kirim ke Makassar Nol Kilo
Meter terpental balik ke inbox saya.
Untungnya
Anbhar, kawan blogger Anging Mammiri memberikan sebuah alamat e-mail yang valid.
E-mail segera saya kirim ke alamat itu, setelah sebelumnya mengirimkannya ke
alamat e-mail Daeng Ipul (blogger senior yang juga merupakan “barisan belakang
layar”-nya Makassar Nol Kilo Meter).
Alhamdulillah,
dari 25 orang yang menyatakan mendaftarkan diri, dan di antara 15 orang yang
kemudian mengirimkan tulisan, saya dinyatakan sebagai salah satu dari 9 orang
yang diterima sebagai peserta KMM. Yeayy …
senangnya.
Kampung Buku, 15 Maret 2014 |
Di
penghujung Februari, sebuah SMS pemberitahuan jadwal KMM masuk ke HP saya.
Kelas dimulai tanggal 1 Maret. Saya antusias mengikutinya meski … saya peserta
paling tua. Kebanyakan pesertanya masih mahasiswa atau baru lulus kuliah! He he tak masalah buat saya.
Walau
bangku kuliah sudah saya tinggalkan 17 tahun yang lalu, ingatan masa-masa
mahasiswa masih ada di baris depan memori saya. Jadi saya tak pernah merasa
tua, saya merasa usia saya tak jauh beda dengan mereka meski mereka layak jadi keponakan
saya (haha memang apa hubungannya yak?). Bahkan saya suka risih disapa “ibu”.
Di mana-mana saya meminta teman-teman memanggil saya nama saja kalau sebaya
atau lebih tua daripada saya atau memanggil “kak” jika lebih muda daripada saya.
Well, hari pertama kelas jatuh
pada hari Sabtu tanggal 1 Maret 2014, bertempat di Kampung Buku, yang juga
kediaman pak guru Jimpe di BTN CV Dewi. Kami belajar di teras dari lepas ashar
hingga lepas isya, jedanya hanya waktu shalat maghrib.
Pak
guru Jimpe dan Daeng Ipul membedah tulisan kami. Kami juga diminta menilai
kekurangan tulisan sendiri. Saya bisa mengenali kekurangan tulisan saya karena
saya membuatnya terburu-buru sehingga detil deskripsi tempat dan tokoh di dalam
tulisan itu tidak jelas. Dan saya sama sekali belum mewawancarai para pedagang
di situ. Saya baru ngobrol sekilas dengan salah seorang pedagang saja dan
mengambil gambar secara sembunyi-sembunyi.
Lapak-lapak sepatu yang saya tulis |
Padahal
sebuah tulisan dari jurnalis warga harus detil dalam mengemukakan fakta,
seperti pendeskripsian latar tempat, cuaca, dan tokoh. Juga harus akurat,
dengan mewawancarai tokoh yang dikisahkan. Sebaiknya meminta izin kepada sang
tokoh untuk mewawancarainya dan menjelaskan untuk kepentingan apa wawancara
tersebut dilakukan. Begitu pun pengambilan gambar, syogianya seizin yang punya
kisah/tempat. Pak guru Jimpe dan pak guru pendamping Daeng Ipul memberikan banyak masukan kepada
kami.
Fiyuh … wawancara adalah tugas berat
yang harus saya lakukan berikutnya. Saya pernah membuat tulisan berdasarkan
wawancara tapi yang saya wawancarai adalah orang-orang yang saya kenal. Melakukan
wawancara kepada orang yang belum dikenal merupakan sebuah kesulitan bagi saya
yang introvert dan tidak begitu suka
berbasa-basi ini.
Padahal
untuk mewawancarai seseorang yang tak dikenal bisa saja kita harus berbasa-basi
dulu, bicara ngalor-ngidul supaya situasi dan kondisi sama-sama enak sehingga
sang tokoh ikhlas berbagi ceritanya kepada kita. Tidak mungkin kan, begitu menemuinya kita langsung
mengatakan, “Permisi, Saya mau mewawancarai Anda untuk keperluan tulisan.
Bolehkah?”
Memasuki
minggu kedua, saya belum mewawancarai satu pun pedagang sepatu di jalan itu.
Saya hanya mengerjakan perbaikan tulisan. Deskripsinya saya buat lebih detil
lagi dengan mengamati foto-foto yang sudah saya jepret sebelumnya dan
menambahkan beberapa hal lagi.
Pertemuan
kedua berlangsung tanggal 8 Maret. Kelas berlangsung dari sore hari hingga
lepas isya. Kembali tulisan kami dibedah. Rupanya tak banyak peserta yang
memperbaiki tulisannya. Pak guru Jimpe banyak memberikan masukan, mengenai
esensi tulisan jurnalis warga dan seputar teknis penulisan. Sepulang dari
mengikuti KMM, saya meneguhkan niat (tsaah)
untuk melakukan wawancara secepatnya. Nyaris tak ada kekurangan dalam tulisan
saya kecuali wawancara yang belum dilakukan.
Daeng Lalang (orang yang saya wawancarai) sedang melayani calon pembeli di lapak sepatunya |
Tanggal
11 Maret, saya beranikan diri untuk melakukan wawancara. Dalam beberapa hal,
saya terbiasa percaya kepada insting. Saat melihat ada 3 pedagang sepatu,
insting saya memilih seorang bapak yang usianya paling tua di antara dua pedagang
lainnya. Dari wajah bapak itu, seolah terpancar aura yang … entah apa namanya
itu, yang jelas perasaan nyaman melihatnya. Maka bismillah, wawancara dengannya
saya lakukan. Syukurnya, bapak tua itu bersikap hangat dan terbuka.
Saya
mendapatkan banyak hal dari bapak tua bernama Daeng Lalang itu. Semuanya saya
tuliskan dalam tulisan yang saya beri judul Menggantung
Sepatu Bukan Berarti Menyerah (http://makassarnolkm.com/menggantung-sepatu-bukan-berarti-menyerah/, websitenya sudah tidak ada). Kisah Daeng Lalang saya ramu dengan ingatan
suami saya tentang lapak-lapak sepatu di jalan itu ditambah hal-hal yang saya alami
dan amati.
Pada
bedah tulisan di pertemuan ketiga, tanggal 15 Maret, tak banyak lagi yang perlu
direvisi dari tulisan saya. Pak guru Jimpe hanya berkata, “Sebaiknya
mewawancarai juga pedagang lain tapi tulisan ini sudah memadai. Hanya tinggal
diperbaiki sedikit penulisannya. Hal teknis saja.”
Yeayy … syukurlah akhirnya saya
punya satu tulisan yang lain daripada yang lain melalui kelas ini. Setelah saya
perbaiki sedikit, Menggantung
Sepatu Bukan Berarti Menyerah ini pun tayang di website Makassar Nol Kilo
Meter pada tanggal 17 Maret. Tulisan ini merupakan salah satu tulisan saya yang
punya sejarah unik. Mengerjakannya dalam kurun waktu 3 minggu, mewawancarai
orang yang tak saya kenal sebelumnya, dan melalui pergantian judul seanyak 2
kali.
Selain
itu tulisan ini mengalami perubahan yang amat besar, menjadi amat berbeda dari
tulisan yang saya setor sewaktu pendaftaran KMM dulu. Setelah direvisi sebanyak
3 kali, tulisan ini mengalami perubahan kira-kira 90% – 95% dibandingkan
tulisan sebelumnya. Perbedaan yang amat signifikan setelah memasukkan olahan hasil
wawancara dengan Daeng Lalang.
Daeng Lalang di antar sepatu-sepatunya |
Benar-benar
pengalaman yang amat berkesan. Kalau ditanya mengenai kekurangan selama
mengikuti kelas ini? Secara teknis dan penyambutan tuan rumah tak ada. Sebagai
peserta, saya merasa amat puas dengan apa yang saya peroleh. Saya sudah belajar
gratis kepada orang-orang yang punya pengalaman panjang dalam dunia menulis di
Makassar, ahlinya pula, mana ada kekurangannya?
Tapiiiiii ada tapinya (ihik, maafkan bila saya berterus terang
bapak-bapak guru dan teman-teman sesama peserta). Saya hanya tidak tahan pada
satu hal selama KMM ini berlangsung: ASAP ROKOK!
Di
antara semua bapak guru dan peserta laki-laki barangkali hanya satu orang yang
tidak merokok. Berada di antara kalian membuat saya merasa sedang berada di Pekanbaru
sana. Sehari-harinya saya bebas dari asap rokok, jadi tentu saja saya merasa gimana gitu berada di antara kalian.
Tapi hanya itu saja koq, don’t worry … asap rokok membuat
pengalaman ini semakin berkesan bagi saya. Suer
(salam dua jari) !
Makassar 7 April 2014
Untuk
bapak-bapak guru A. R. Jimpe dan Daeng Ipul,
melalui tulisan ini saya sampaikan dengan tulus,
terima kasih atas keikhlasannya
berbagi ilmu.
Semoga Allah memberkahi Kalian
dengan kebaikan yang berlipat
#Salamduajari#
Share :
wah,acaranya menarik banget ya mbk....jadi pingin ikutan,sayang jauhhhh hehhe
ReplyDeleteKalo mbak Hanna ada di sini, kita bisa bareng2 ke mana2 ikut pelatihan2 kayak gini ya mbak :D
Deleteselama ikut kelas ini saya jadi malu sendiri..
ReplyDeletesudah cukup lama saya tidak membuat tulisan panjang dan dalam seperti waktu masih aktif di Panyingkul dulu. sekarang saya jadi tertantang kembali untuk kembali menulis panjang dan dalam lagi..hehehe
soal asap rokok, hahaha ini memang jadi masalah juga. maklumlah, sebagian besar pegiat dunia tulis memang akrab sama benda satu itu, kecuali yang perempuan kayaknya. hihihi
Ah masa sih .. perasaan banyak ji tulisan yang dalam.
DeleteAsap oh asap ... dan tamu2 yang datang ke Kampung Buku juga banyak yang merokok. jadi sepanjang kelas asap rokok buanyak hehehe. Yaah ... mau diapa. Eh tapi komen pak guru jimpe bagus itu ^_*
TOP bener tu acara
ReplyDeleteTe o pe deh :D
Deletewah acaranya keren tuh mbak, vey di sini juga ada komunitasnya. tapi emang dasarnya vey yg males buat belajar, hihi...
ReplyDeletesoal asap rokok juga rada risi. pasti jilbab jadi penutup hidung n mulut. hihi
Pinginnya tutup hidung mbak Vey tapi koq saya yang gak enak? hihi
DeleteAh besok2 mau demonstratif saja deh pake acara tutup hidung pake jilbab hehehe. Makasih masukannya mbak Vey :D
Mengikuti kelas, apapun bentuknya, memang bisa menambah pengalaman dan gak ketinggalan menambah semangat. Tulisan yang bagus. Salam dari Pamulang.
ReplyDeleteMakasih Bunda sayang ... senang Bunda BW lagi ... ayo nulis lagi ya Bunda :)
DeleteYeay...selamat ya kak niar sudah bergabung di KMM. pastibseru tuh bergabung dengan teman2 Yg memiliki passion yang sama
ReplyDeleteSeru .... passionnya sama, tapi beda2 latar belakang mana saya doang yang emak2 ... seru abis :D
Deletekesempatan langka bisa ikut KMM..
ReplyDeletepengalaman yg menarik dan semangatnya luar biasa
Iya Mas .. langka dan menarik :)
DeleteIbu memang masih muda koq. Kan kita seumuran, Bu. Hihihi
ReplyDeleteKegiatan dari Nol kilo meter hampir sama denga godhong gedhang banjarnegara, Mba. Selalu asiiik kmpul dan sharing ya, Mba.
Ahahaha Ibu Idaaaaaah .. iyaaah kita kan seumuran hihihi
DeleteTerima kasih sudah mengingatkan soal rokok. Saya minta maaf sebesar-besarnya soal itu. Semoga kali lain, terutama saya, bisa mengurangi di kelas seperti ini.
ReplyDeleteInsyaAllah bertemu lagi segera :)
Waah maaf ya pak guru kalo terlalu berterus terang ^__^
Deleteweww cetarrr makkk!!
ReplyDeletekeren banget liputannya, sukses selalu ya mak! minta ijin ambil tulisanmu untuk dijadikan sumber buat lomba GA pak dhe ya! salam sayang dari Cinajur Jabar!
Silakan mak Siti .... dengan senang hati. Terima kasih sekali ^__^
Deleteserunya tawwa kak. kapan yaa sy bisa serius belajar nulis :( :( g ada bakat plus kurang usaha. parah.
ReplyDeletekalah nih sama emak2. hiks
semangat kak! sukses selalu :)
Bakat ndak perlu lho. Sy belajar menulisnya saja sudah mulai tua. Saya belajar menulis baru 3 tahun lalu saat usia saya baru (ehm baru) masu masuk angka 37. Hayoo yang muda2 harusnya bisa karena kebih berenergi :)
Delete