Menurut
Muliadi Mau, ada perkembangan menarik dari media dalam memotret perempun. Sekitar
tahun 1970-an masih miris posisi perempuan di media. Pemilihan diksi untuk
berita pelecehan pun terkesan negatif, seperti “main kuda-kudaan” atau “main
endut-endutan”.
Di
tahun 1980 hingga 1990-an sudah ada perkembangan meskipun masih ada berita
miris tapi sudah mulai mengekspos sisi positif perempuan. Akhir-akhir ini,
perkembangan sudah lebih bagus lagi walau masih ada juga yang “kebablasan”
dalam memberitakan perempuan.
Misalnya
dalam sebuah berita, ditampilkan sosok perempuan bercadar dengan negatif dan
diidentikkan dengan teroris (ini berita yang sama dengan yang dibahasnya pada
pelatihan yang saya ikuti beberapa bulan lalu ketika ia menjadi salah satu pematerinya,
selengkapnya baca di
sini). Judul salah satu beritanya pun diskriminatif: “Perempuan Diduga
Teroris”. Sementara kalau laki-laki, tak akan pernah dituliskan “Laki-Laki
Diduga Teroris”.
Atau
pada sebuah berita narkoba, yang ditangkap laki-laki tapi karena kekasihnya punya
kedudukan penting maka perempuan itu justru yang menjadi fokus berita.
Atau
sebuah artikel yang diturunkan sebuah media terkenal di Makassar hari itu, isinya
tentang produk operator telekomunikasi tapi gambarnya fokus pada 3 perempuan
(SPG) mengenakan rok mini sedang mempertontokan paha mereka sambil menggenggam gadget.
Yusuf
AR, mewakili jurnalis. Ia mengemukakan adanya kesadaran AJI dalam berperspektif
gender. “Ini harus selalu dibicarakan, jangan berhenti membicarakan ini. Ini
adalah bagian membiasakan hasil kerja supaya sadar bahwa pekejaan ini tanggung
jawabnya besar,” demikian tuturnya.
Diharapkan
ke depan akan lebih baik lagi karena sudah ada posisi pemimpin redaksi yang
diisi oleh perempuan. Dengan demikian pemberitaan yang masuk bisa lebih mudah
dikontrol.
Sesi
berikutnya adalah sesi tanya-jawab. Saya berkesempatan sharing pengalaman dengan AJI dan mengeluarkan uneg-uneg tentang
media di sini.
Saya
memberikan testimoni mengenai itikad baik dari AJI. Saya merupakan peserta dua
pelatihan mengenai kesadaran akan penulisan isu yang berperspektif gender yang
diselenggarakan oleh AJI.
Karena
teman-teman AJI mengatakan bahwa ada ruang bagi perempuan untuk bersuara di
media dan mereka bersedia memfasilitasi maka saya mencoba mengirimkan tulisan
(opini) saya ke media pada momen Hari
Ibu dan Hari
Kartini lalu. Alhamdulillah, kedua tulisan saya dimuat di Harian Fajar.
Saya
juga menyampaikan bahwa blog merupakan media alternatif yang amat memberdayakan
perempuan. Karena saya bergabung dengan komunitas blogger yang semua anggotanya
perempuan – KEB (Kumpulan Emak Blogger), saya merasakan sekali manfaatnya ngeblog
dan bergaul dengan sesama anggota dalam pemberdayaan diri kami sebagai
perempuan, utamanya sebagai ibu sementara media mainstream tak menyediakan hal tersebut.
Kemudian
saya mengeluarkan uneg-uneg, mengenai sebuah isu penting yang sepertinya tak
dianggap penting oleh media. Bagi saya, isu anak dan isu perempuan tak bisa
dipisahkan. Salah satunya yang menyangkut masa depan anak-anak kita adalah akan
berlakunya era AFTA (ASEAN Free Trade Area) tahun 2015 mendatang. Tahun 2015 sudah dekat sekali tapi mana
gaungnya di media-media agar generasi muda kita bersiap?
Ini
tidak main-main lho. Tahun depan para
pencari kerja akan berdatangan ke negara kita dan bersaing dengan generasi muda
bagsa ini. Apakah semua orang Indonesia siap?
Menurut
saya, media terutama televisi (karena televisi ada hingga di pelosok-pelosok
desa bahkan sampai di perbatasan dengan negara tetangga) memegang peranan besar
sekali untuk mendidik masyarakat agar aware
akan hal-hal yang akan terjadi. Tantangan AFTA harus diseriusi dengan lebih
bersiap diri menghadapi masa depan yang akan lebih sulit.
Ingat
waktu zaman 1980-an dulu ketika pemerintah sangat menggembar-gemborkan program
Keluarga Berencana? Ketika itu sampai jingle
KB dihafal oleh anak-anak sekolah dasar di luar kepala. Selain program
nyata di lapangan, TVRI secara berulang-ulang memutar lagu ini di televisi. Ini
membuat semua orang bahkan anak SD paham dengan KB. Begitu pun menjelang PEMILU
dengan semboyannya LUBER (langsung – umum – bebas – rahasia), jingle PEMILU juga gencar dinyanyikan di
televisi.
Sekarang
apa yang terjadi? Anak-anak kecil dan anak-anak muda kita disibukkan dengan
tontonan yang amat tidak jelas formatnya. Nyaris mirip di semua stasiun
televisi. Penuh dengan joget-joget tak jelas dengan penonton bayaran yang
setia. Sementara ibu-ibu mereka “dihibur” dengan sinetron dan infotainmen yang
tak mendidik. Berapa banyak anak bangsa yang sadar era AFTA sudah di depan
pintu? Berapa banyak ibu yang sadar harus sekuat tenaga menyiapkan anak-anak
mereka agar dapat bersaing?
Maka
saya menanyakan, bagaimana peran media,utamanya media cetak dalam mendidik masyarakat sehubungan dengan era AFTA ini?
Namun
saya kecewa dengan jawaban yang diberikan oleh pak Yusuf AR. Pak Yusuf hanya
mengatakan, “ ... Pindahkan channel ...”
Ya
ampun, Pak. Kalau itu, saya juga tahu. Saya juga melakukannya! Bagaimana
jurnalis menjawab hal ini? Itu yang ingin saya ketahui.
Dalam
khayalan saya yang mungkin terlalu muluk, ada media – paling tidak satu saja
yang bisa bertindak sedikit idealislah dalam hal ini. Dalam bayangan saya lagi
yang juga terlalu muluk, ini perlu intervensi politik dari pusat. Jangan sampai
kelak ada anak muda yang berpikir negaranya hendak dijajah oleh bangsa-bangsa
ASEAN lain yang tiba-tiba membanjir ke tanah air tercinta, dan bahkan orang-orang
asing itu bisa berbahasa Indonesia!
Oh please .. let me know, adakah
orang bijak di luar sana yang peduli
dengan hal ini? Saya bukan orang
cerdas nan bijak. Saya hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang bertanya karena bingung.
Tapiiii, di luar kebingungan saya itu, saya maklum.
Barangkali memang pertanyaan ini tak ada jawabannya. Barangkali memang kita
harus membiarkan bangsa kita tidak terbiasa dengan tontonan yang memberdayakan
sehingga kualitasnya tidak akan bisa meningkat?
Makassar, 14 Mei 2014
Share :
Niar, saya juga termasuk yang ngeri setelah AFTA berlangsung. Kita tak dipersiapkan secara khusus, sekolah2 anteng saja, malah menghapus bahasa Inggris dari kurikulum SD. Duh gimana caranya bersaing nanti yah
ReplyDeleteIya kak Evi. Kalau untuk yang sadar no problem. Tapi secara luas, bagaimana? Media dan pemerintah bisa sangat berperan dalam hal ini. Lha kalo media dan pemerinta anteng2 saja? -_-
DeleteOh iya bener mba! Gak kerasa ternyata AFTA itu mulai tahun 2015??? Mashaa Allah.... tak bisa membayangkan generasi kebelakang nanti. Melihat masih banyak desa2 tertinggal di Indonesi, pun yang masih buta huruf. Ah, hendak bagaimana Indonesia nanti? Saya jadi ada ide mau buat tulisan tentang AFTA mba. terimakasih info dan sharingnya
ReplyDeleteIya tuh .. bagaimana?
DeleteSip ... silakan
Sekarang Media lebih banyak menayangkan hal - hal yang berbau "Lagi Booming" demi mengdongkrak populatitas dan tentunya menjual dan banyak di tonton. Bahkan parahnya lagi, masyarakaat kita tidak sadar bahwa tayangan - tayangan itu malah menjadikan generasi muda cenderung mencontoh apa yang dilihatnya tanpa membekali mereka pengetahuan agama yang cukup dan moral. setidaknya Benteng agama dan moral bisa menjadi tameng.
ReplyDeleteYah begitulah negara tercinta ini :(
Delete