Dalam dunia menulis, dapat kabar dari
penyelenggara lomba, penerbit, media itu menyenangkan. Walaupun itu kabar buruk
bahwa tulisan kita ditolak. Loh? hehe iya, itu menurut saya sih. Kalau dapat
kabar, walaupun ditolak koq saya merasa (jerih-payah saya) dihargai.
Pernah ada lomba blog yang pengumumannya entah
disembunyikan di mana. Seorang teman mengejar sampai ke perusahaan. Ia
menghubungi manajer marketing tertinggi perusahaan itu, dihubungkanlah ia ke
stafnya, lalu kemudian ke EO - penyelenggaranya. Eh, si EO malah marah-marah
karena kena teguran dari perusahaan kliennya.
Katanya pengumuman sudah ada. Gemas kan ya? Ini
kan bukan mengenai ambisi untuk menang. Tapi mencari hak membaca pengumuman,
itu saja. Dalam lomba blog, blogger sudah memberikan keuntungan yang luar biasa
kepada perusahaan dengan promosi yang "hanya" dibayar dalam bentuk
hadiah untuk segelintir orang kepada perusahaan tersebut. Pesertanya bisa
puluhan bahkan ratusan. Hak dituntut setelah melakukan kewajiban. Sejak kelas 1
SD kita diajari demikian. Dalam pelajaran anak-anak saya pun demikian. Nah,
kewajiban menulis dan mengirim tulisan sudah dilakukan. Lalu, apakah berlebihan
kalau peserta hanya menuntut sekadar informasi yang akurat? Tidak, kan?
Karena gemas, saya ikut memberikan masukan
kepada sang manajer marketing perusahaan tersebut. Masukan saja agar tak
terulang kembali. Saya sampaikan bahwa hal seperti ini bisa menjadi preseden
buruk bagi perusahaannya. Blogger itu ada jutaan dan menguasai media-media
sosial lho, jadi jangan dianggap enteng. Saya kasihan juga sama perusahaan itu,
ya .. siapa tahu saja mau mengambil masukan dari saya.
Nah, bagaimana kalau sudah menulis sebanyak 12
halaman spasi 1, dan pengumuman belum ketahuan padahal katanya akan diumumkan
tanggal 16 Mei? Kalau hanya menulis hal ringan sebanyak 1 - 2 halaman, spasi
1,5, dan tidak pakai menguras pikiran dan energi, saya mungkin memilih
melupakannya. Tapi ini saya mengerahkan seluruh energi saya untuk menuliskan
pikiran saya tentang PEREMPUAN PEMIMPIN. Ini bukan materi ringan buat saya.
Sungguh .. saya tidak bisa melupakan bahwa saya belum melihat pengumuman yang
dijanjikan penyelenggaranya.
Sumber: freeimagescollection.com |
Maka saya membuat tulisan
ini menjadi status di Facebook saking inginnya tahu informasinya. Saya
bolak-balik di page-nya, belum ada pengumuman
lomba. Tapi rasanya tidak mungkin penyelenggaranya ingkar karena saya tahu
penyelenggaranya itu sudah punya reputasi. Jadi hanya masalah distribusi
informasi saja kelihatannya.
Alhamdulillah tak
berapa lama ada informasi dari mak Haya Aliya Zaki kalau informasinya sudah ada
di web penyelenggara. Weh, saya baru menyadari ketololan saya. Seharusnya saya
mengecek di Google saja J.
Membaca informasi
di link itu, saya bersyukur. Karena
saya menang? He he he bukan. Saya kalah. Tapi perasaan saya plong. Suer! Saya
tak kecewa. Saya mah orangnya pedean. Saya maah tidak percaya tulisan saya
jelek tapi saya tidak berbangga diri dan tidak pula takabur apalagi sombong.
Saya percaya diri karena saya yakin sekali punya gaya menulis dan pola pikir
yang khas.
Saya mencerap
segala informasi dan menuangkan tulisan ke dalam bentuk yang tak ada siapa pun
yang menyamainya. Bukan karena saya yang paling hebat sedunia. Bukan. Tapi
karena alur kehidupan dan proses pembelajaran yang saya lalui dan miliki itu
unik. Tak ada samanya dengan orang lain. Apa yang saya sukai, apa yang saya
perhatikan, tak mungkin menyamai pikiran orang lain. Yah, bukan berbeda sama
sekali sih. Pasti ada yang sependapat dengan saya. Tapi cara saya menuangkan
gagasan ke dalam bentuk tulisan itu pasti khas sekali. Ala saya.
Tak bisa
dipungkiri, juri lomba itu mau seobyektif bagaimana pun, pasti punya
subyektifitas juga. Dan sebuah lomba itu punya misi yang dibawa. Kalau tak
menang, berarti salah satu alasannya adalah tulisan saya tidak sesuai dengan
subyektifitas dan misi yang dibawa oleh juri dan lembaga penyelenggaranya.
Khusus dalam lomba ini, misinya adalah pluralisme.
Persepsi pluralisme
bisa saja berbeda bagi setiap orang. Bagi penyelenggara dan juri lomba, bisa
saja persepsinya berbeda dengan saya. Saya mempersepsikan pluralisme tentunya
tak bisa lepas dari idealisme saya. Jadi bisa saja kami tidak sepakat sehingga
saya kalah. Ini salah satu analisa saya saja. Bisa benar, bisa pula tidak.
Nah, kekalahan itu
saya anggap sebagai bantal pengalas “kejatuhan” saya. Semakin sering saya
kalah, semakin tinggi bantal-bantal itu tersusun. Jadi kalau saya “jatuh”
karena kalah, jatuhnya tidak terlalu tinggi dan tidak besar lagi dampaknya.
Sesegera mungkin saya bisa bangkit lagi dan meneruskan hidup saya.
Hidup itu simpel.
Jangan dibikin rumit. Kekalahan itu memang cuma kemenangan yang tertunda. Menyikapi
kekalahan dengan baik berarti memenangkan jiwa kita dari kegalauan, dari
frustrasi, dan dari kejelekan-kejelekan lainnya.
Sepakat? Toss yuk J
Makassar,
4 Juni 2012
Oya ini tulisan yang kalah itu:
(ini baru bagian pertama)
Share :
Tetap semangat menulis dan ngeblog ya, Mak! ^^
ReplyDeletetetap semangat, kalah menang biasa dlm sebuah kompetisi
ReplyDeleteapalagi penilaian juri pasti ada unsur subjektifitas, meskipun kalah belum tentu lebih jelek kwalitas tulisannya dari yg menang.
kalah justru bisa menjadi motivasi untuk lebih baik
keep :)
Toss Mak....
ReplyDelete:-)
menang dan kalah dalam lomba hal biasa. yang penting mental kita tambah berani tampil dengan ikut lomba. kadang repot juga mengikuti ajang lomba blog, ribet mengikuti pengumumannya itu lo.
ReplyDeletepeluuukkkkkkkk :*
ReplyDeletesetuju sama analogi bantalnya Mak :))
hihihihi...tahun ini sepertinya tidak bersahabat dengan saya.
ReplyDeletesampai bulan Juni saya sudah ikut 5 lomba blog dan kelima-limanya saya gagal!
bahkan masuk juara hiburanpun tidak.
tapi tak apalah, sama seperti kak Niar, kekalahan itu hal biasa.
saya juga menolak berkomentar kalau ada yang bilang: daeng, menurutmu aneh ndak itu pemenangnya? kenapa tulisannya kayak biasa-biasa ji?
saya ndak mau pusing mengecek tulisan pemenang, saya lebih memilih santai daripada harus sakit hati apalagi sampai iri...
temanku bilang: dunia ji ini..
hahahaha
Tosss....
ReplyDeleteSaya se7 dgn isi dan maksud postinga ini, harus ada 'kejelasan..!
ReplyDeleteSekali ngeblog tetap ngeblog . Mantap ..!
Toss... sepakat mak, ikut lomba itu bukan semata ingin menang, tapi (kalo bagi saya) lebih untuk menantang diri sendiri untuk mencoba hal baru dan belajar. Soal menang atau kalah tak masalah, tapi ya itu saya juga termasuk orang yang tak suka digantung2, beberapa kali ikut lomba dan pengumumannya telat itu benar2 bikin dongkol. ada apa? apa yang salah? ada sesuatu yang tidak beres? dan lain2, pikiran mulai kemana2. hehehe... tetap smangat nulis ya mak, saya suka sekali membaca tulisan mak yang inspiratif. Main2 jg ke blog saya (promosi) :D
ReplyDeletesaya belum pernah ikut lomba Mak, bukan takut kalah, lha wong di GA-aja gak pernah menang, tapi takut syok kalau menang :D *menghibur diri sendiri yg fakir ide lomba, nulis masih berantakan.
ReplyDeleteitu namanya ambil ancang-ancang mak Niar ^^
ReplyDeleteHa..ha... woles ya Mak Niar. Saya sih, masih selalu semangat ngontes, meski, percayalah Mak-saya lebih banyak gak menangnya dari pada menangnya. he...he... itung-itung latihan menulis gratis :D
ReplyDeleteBetul, Mbak. Kekalahan mah biasa. Kalau menang terus malah berbahaya, kita bisa tinggi hati dan sombong. Kekalahan adalah berayun sedikit ke belakang buat melontarkan diri lebih jauh pada kemenangan berikutnya. Cemunguud Mbak :)
ReplyDeleteKalah menang mah biasa namanya juga lomba. Memang benar kata pepatah bahwa kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda, karena memang orang yang tidak pernah gagal adalah orang yang tidak pernah mencoba.
ReplyDelete