Tetangga
saya, sebut saja namanya pak Salam, setahun yang lalu sakit. Dadanya sakit,
badannya panas. Mulanya ia dibawa ke rumah sakit daerah yang konsentrasinya
pada pasien asma dan stroke. Rumah
sakit itu menjadi pilihan mungkin karena lokasinya dekat dari daerah tempat
tinggal kami, hanya kira-kira 1 kilo meter.
Tak
berapa lama kemudian pak Salam dipindahkan ke rumah sakit umum yang lebih
lengkap. Di sana ia dirawat di gedung infection center yang khusus merawat
pasien dengan kasus-kasus khusus seperti TB, HIV AIDS, dan flu burung.
Kira-kira seminggu kemudian pak Salam meninggal.
Kami
tak tahu apa penyakitnya. Kalau ingin menduga, sepertinya tak mungkin ya
terkena HIV-AIDS karena hidupnya bersih atau flu burung karena tak ada unggas di sekitar kami. Apakah mungkin TB? Entahlah. Mau bertanya
kepada keluarganya juga rasanya tidak mungkin.
Rumah
sakit lebih sering menjadi tujuan orang ketika penyakit sudah gawat. Rasa sakit
sudah tak tertahankan. Selama ini, kata bu Salam, pak Salam jarang sekali
sakit. Baru kali ini ia sakit parah. Padahal gejalanya sebenarnya sudah terasa
sebelumnya, karena masih tertahankan, ia tak berobat.
Kalau
sudah masuk rumah sakit seperti pak Salam, sudah terhitung “kasus yang terlapor”.
Bisa saja ada kasus-kasus lain yang tak terlapor karena ketiadaan biaya,
misalnya. Masyarakat yang keadaan ekonominya lemah, apalagi hidup dalam lingkungan
yang tidak terjaga sanitasinya rentan
menjadi daerah persebaran TB.
Satu Masalah dan Tujuh Kelompok Rentan
Salah
satu permasalahan dalam pengendalian kasus TB adalah belum ditemukannya semua kasus TB, terutama di rumah sakit swasta,
dokter praktek, maupun yang terpantau oleh pemerintah. Kementerian Kesehatan
telah bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam meningkatkan
upaya pelayanan TB sesuai standar internasional pada dokter praktek[i].
Kelompok-kelompok
yang rentan terjangkiti TB tersebar di masyarakat kita, kelompok-kelompok ini ada
beberapa, yaitu:
- Mereka yang sudah menunjukkan gejala klinis seperti pasien TB, antara lain: mengalami demam, kadang-kadang menggigil, keringat malam, nafsu makan menurun, berat badan menurun, dan kelelahan umum.
- Mereka yang menderita atau diduga menderita penyakit yang menurunkan daya tahan tubuh, khususnya infeksi HIV. Mereka yang mengalami gangguan sistem imun sangat rentan mengalami TB karena bakteri TB cepat menginfeksi tubuh ketika daya tahan tubuh melemah.
- Para lansia. Semakin tua usia seseorang, daya tahan tubuhnya cenderung menurun sehingga TB rentan menyerang pada usia lanjut.
- Para bayi[ii]. Daya tahan tubuhnya belum sempurna sehingga rentan terhadap infeksi TB.
- Para balita (anak di bawah usia 5 tahun) yang kontak dengan pasien TB, khususnya multi-drug resistant TB (MDR TB) atau yang dikenal dengan TB resistan obat[iii].
- Para pengidap diabetes[iv]. Seperti halnya infeksi HIV, diabetes juga menyebabkan daya tahan tubuh melemah. Infeksi TB mudah sekali mengenai mereka yang berada pada kondisi tersebut.
- Para perokok rentan terhadap TB karena rokok merusak paru-paru sementara TB juga menginfeksi paru-paru.
Upaya Pemerintah dalam Pengendalian TB
Pada tahun 2010, pemerintah telah mencanangkan strategi
nasional pengendalian TB dengan cara menuju akses universal
layanan TB berkualitas untuk menjamin agar semua kasus TB yang ditemukan dapat
didiagnosa dan diobati dengan benar, patuh dan tuntas serta terjamin
kesembuhannya.
Upaya pemerintah tersebut
diarahkan dalam tiga hal, yaitu:
- Meningkatkan akses universal terhadap layanan TB yang berkualitas untuk mencegah terjadinya TB-MDR;
- Meningkatkan deteksi suspek TB-MDR sedini mungkin dan melaksanakan pengobatan agar mata rantai penularan kuman resisten terputus, termasuk peningkatan pengendalian infeksi dan konseling untuk meningkatkan ketuntasan pengobatan dan kelompok dukungan pengobatan TB-MDR;
- Meningkatkan kegiatan sentinel surveilans resistensi obat, untuk memantau kecenderungan peningkatan epidemi TB-MDR, sehingga mampu melakukan upaya perbaikan secara lebih maksimal.
Dibutuhkan Peran Masyarakat dalam Pengendalian TB
Namun
upaya pemerintah saja tentunya tidak cukup karena kelompok-kelompok rentan
tersebar di masyarakat kita dan tak semua kasus TB bisa terlacak, masih ada
yang “hilang” karena tak dilaporkan. Karenanya dibutuhkan dukungan kolektif dari semua warga masyarakat agar bahu-membahu
dengan pemerintah dalam melaksanakan poin kedua (upaya pemerintah) di atas: meningkatkan deteksi suspek TB-MDR sedini
mungkin.
Kunci keberhasilan menuju Indonesia bebas
TB adalah peran aktif dan semangat
kemitraan dari semua pihak yang terkait melalui gerakan terpadu dan sinergis
yang bersifat nasional[v].
Sinyalemen
ini sudah ada sejak tahun 1995. Saat itu strategi
DOTS (Direct Observed Treatment
Short-Course Chemotheraphy) resmi menjadi strategi penanggulangan TB di
Indonesia, sebagaimana direkomendasikan WHO. Sejak saat itu program
penanggulangan TB DOTS diekspansi dan diakselerasi pada seluruh unit pelayanan
kesehatan dan berbagai institusi terkait.
Tahun
2010, dalam rangka mendukung strategi nasional program pengendalian TB, maka
program diarahkan kepada universal access untuk cakupan dan
kualitas pelayanan DOTS yang lebih luas. Hal ini termaktub dalam pilar terakhir
(pilar ke-6) DOTS: Penguatan Sistem
Komunitas. Komunitas adalah kekuatan yang besar dalam pengendalian TB, salah
satu wujud nyata adalah mendukung
komunitas untuk menjadi advokator untuk peningkatan komitmen pendanaan,
peningkatan awareness masyarakat, mobilisasi sosial serta pelayanan TB di
wilayah spesifik. Hal yang nyata didapatkan adalah terbentuknya beberapa
komunitas pasien yang berfungsi sebagai pendukung bagi sesama pasien (contohnya
PAMALI TB, JAPETI, PETA, dan lain-lani).
Selain
dukungan melalui komunitas pasien pendukung pasien, masyarakat dapat berperan dengan
cara:
- Ikut menyebarluaskan informasi yang valid melalui media sosial dan blog.
- Tenaga medis/petugas kesehatan diharapkan secara pribadi dapat mengambil peran di lingkungannya, misalnya dengan memberi pengertian dan informasi kepada masyarakat mengenai TB.
- Pengurus rumah ibadah dapat berpartisipasi menjadi “corong” yang mengabarkan informasi mengenai TB kepada masyarakat, sebaiknya dibantu oleh pemerintah khususnya pemerintah kelurahan atau pemerintah kota/kabupaten, berupa instruksi kepada rumah-rumah ibadah di kotanya.
- Pengurus RT mengawasi penyuluhan mengenai TB di pos yandu-pos yandu di wilayahnya.
- Guru-guru pendidikan jasmani, atas kesadaran sendiri bisa memasukkan pengetahuan mengenai TB kepada murid-muridnya. Lebih bagus lagi bila ada instruksi dari pemerintah untuk itu supaya lebih diperhatikan oleh para guru.
- Insan media (cetak, elektroni), atas kesadaran sendiri diharapkan membantu pemerintah dalam menyebarkan informasi mengenai TB di medianya.
Untuk Indonesia Bebas TB
Pengendalian TB di Indonesia telah menunjukkan adanya penurunan prevalensi dan kematian
akibat TB. Di samping itu, angka notifikasi kasus TB menunjukkan peningkatan
meskipun belum maksimal. Prestasi Indonesia yang paling menggembirakan adalah
tren angka keberhasilan pengobatan menunjukkan konsistensi di atas 90% selama
beberapa tahun ke belakang. Ini semua membuktikan adanya peningkatan dalam
kualitas pengobatan pasien TB.
Program
Nasional Pengendalian TB di Indonesia telah melakukan berbagai upaya signifikan,
diantaranya yang melibatkan masyarakat adalah:
- Pendekatan Public-Private Mix (PPM) untuk pelayanan TB dengan pelibatan sektor pemerintah dan swasta.
- Penguatan peran pasien dalam pengendalian TB.
Kemenkes
pun sudah menyusun rencana untuk penanggulangan TB yang mengarah pada upaya
setelah MDGs 2015 yaitu Dunia bebas TB.
Well, pemerintah telah mengerahkan
segenap keseriusan dan kemampuannya dalam memerangi TB. Tidak ada lagi alasan bagi kita untuk
menyalahkan pemerintah untuk berbagai kasus yang masih ada, baik yang sudah
terlapor maupun yang “hilang”. Sekarang, tinggal bagaimana peran kita sebagai
anggota masyarakat yang menghendaki Indonesia bebas TB. Mau mengambil peran?
Makassar, 29 Juni 2014
Tulisan ini diikutkan lomba blog TB, serial ke-7 (tema Peran Masyarakat dalam Pengendalian TB)
Referensi:
- http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=1922
- http://health.kompas.com/read/2014/03/19/1803198/Selain.Balita.Siapa.yang.Paling.Rentan.Tertular.TB.
- http://health.detik.com/read/2012/03/12/114309/1864373/763/orang-orang-yang-rentan-tertular-tbc
- http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=1921
- http://www.tbindonesia.or.id/2014/03/28/indonesia-akan-perluas-akses-penganggulangan-tb/
- http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=2381
[i] Sumber: http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=1922
[ii] Dikutip dari
Everydayhealth, Senin (12/3/2012). Sumber:
http://health.detik.com/read/2012/03/12/114309/1864373/763/orang-orang-yang-rentan-tertular-tbc
[iii] Menurut dokter spesialis paru dari
Rumah Sakit Persahabatan Arifin Nawas, sumber: http://health.kompas.com/read/2014/03/19/1803198/Selain.Balita.Siapa.yang.Paling.Rentan.Tertular.TB.
[iv] Dikutip dari Everydayhealth, Senin
(12/3/2012). Sumber: http://health.detik.com/read/2012/03/12/114309/1864373/763/orang-orang-yang-rentan-tertular-tbc
[v] Demikian arahan
Wakil Menteri Kesehatan RI yang dibacakan Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Dr. dr. Trihono, MSc., pada Kongres ke-IX
Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) di Bali pada tahun 2012. Sumber: http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=1921
Share :
Pengendalian penyakit menular secara kolektif akan membantu mengurangi beban masyarakatnya ya, Niar. Di samping anggota akan lebih alert terhadap kejangkitan. Kalau masyarakat waspada pasien seperti Pak Salam mungkin hisa akan terbantu
ReplyDeleteBenar sekali kak Evi. Makasih sudah menyimak :))
DeleteTerima kasih sudah berbagi infonya, Bunda Mugniar :)
ReplyDelete