Penyakit
adalah ujian yang harus dilalui semua manusia, bahkan semua makhluk hidup. Baik
itu penyakit ringan maupun berat, pasti ada konsekuensi yang harus “dibayar”
penderitanya. Minimal meringis menahan sakit.
Penyakit
berat, bahkan menjadi pengingat bahwa kematian begitu dekat. Sedih. Pilu.
Begitulah perasaan yang meyayat ketika menyaksikan keluarga sendiri tengah
berjuang melawan penyakit berat yang dideritanya.
Bila
maut menjemput barulah kita benar-benar percaya bahwa kematian itu begitu
dekat. “Kita ini langganan dengan mati,” begitu kata seorang guru saya.
Langganan, karena sebenarnya kematian bisa datang kapan saja. Ia mengintai
siapa saja. Kemarin anggota keluarga kita, bisa jadi besok kita yang dijemput
paksa olehnya.
Ingatkah
Kawan tentang kisah A Long yang pernah saya ceritakan di blog ini? Ah ya, saya
berikan link-nya supaya Kawan bisa
membacanya ya? Ini dia: Jangan
Lagi Ada A Long – A Long Lain.
Sumber: www.5election.com |
Ia
merebus beras bersama sayur sawi tanpa garam. Bubur sayuran itulah makanannya.
A Long sebenarnya masih punya seorang nenek. Tetapi neneknya hanya sesekali
saja menengoknya. Bila bertandang, ia membawakan cucunya makanan. Saat ditanya
mengapa ia tak tinggal bersama cucunya, ia tak menjawab.
Darah
daging sendiri saja enggan memeliharanya, apalagi penduduk desa. Penduduk desa
setempat menjauhinya karena mereka sudah tahu orang tua A Long adalah pengidap
TB dan AIDS. Siapa yang siap tertular kedua bibit penyakit itu? Dalam tubuh A
Long hampir dipastikan mengandung kedua bibit penyakit mengerikan itu!
Selain
takut tertular, kemiskinan juga menjadi kambing hitamnya. Biaya berobat yang
mahal, membuat penduduk desa menghindari A Long ketimbang membantu membiayai
perawatannya. Begitu pun nenek kandungnya sendiri. Kasihan A Long.
Kedua
orang tua A Long kini seolah bebas. Mereka meninggalkan dunia tanpa perlu
merasakan beban penyakitnya. Tapi sayangnya mereka mungkin tak pernah
memikirkan beban ekonomi yang mereka tinggalkan, yaitu beban kehidupan yang
terletak di bahu A Long.
Mereka
mungkin tak pernah membayangkan, bagaimana A Long akan bertumbuh dalam
kemiskinan, apalagi membayangkan bagaimana A Long akan memperoleh pendidikan
dalam ketiadaan biaya di samping beban penyakit berbahaya yang dikandung oleh
tubuhnya. Siapa pun tahu, hal ini akan lebih mudah bila orang tua A Long telah menyimpan
tabungan untuknya tetapi kenyataan berkata tidak.
Cukup
A Long saja yang mengalaminya. Namun mengingat data WHO tahun 2011, bahwa lebih
dari 95% kematian akibat TB terjadi di negara berpenghasilan rendah dan
menengah.
Dan
mengingat bahwa dari jumlah penderita TB di seluruh dunia, lima puluh persennya
terdapat di Asia Tenggara. Juga mengingat perkiraan bahwa Indonesia merupakan
salah satu negara yang memiliki penderita TB terbanyak di dunia, bersama-sama
dengan India dan Cina, dan setiap tahunnya 500.000 orang di kawasan ini
meninggal dunia akibat penyakit tersebut, maka siapa pun akan bergidik ngeri,
membayangkan kemungkinan adanya A Long-A Long lain di tempat-tempat yang tidak
terjangkau.
Mengetahui
fakta tentang kematian memang mengerikan. Namun kita perlu mengetahuinya agar
bisa mencari cara mengantisipasinya. Angka kematian akibat TB di dunia mencapai
1,3 juta jiwa per tahun. Di Indonesia, setiap tahun terdapat 67.000 kasus
meninggal karena TB atau sekitar 186 orang per hari.
TB
adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat 3
dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia (SKRT 2004). Selain
itu pada usia 5 tahun ke atas, TB merupakan penyebab kematian nomor 4 di
perkotaan setelah stroke, Diabetes dan hipertensi dan nomor 2 dipedesaan
setelah stroke (Riskesdas 2007).
Beban
TB di Indonesia masih sangat tinggi mengingat setiap tahun masih ada 460.000
kasus baru. Dalam sebuah jurnal berjudul Tuberkulosis dan Kemiskinan yang disusun
oleh Tjandra Yoga Aditama, dari Departemen Pulmonologi & Kedokteran
Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Persahabatan,
Jakarta (2004) di sebutkan bahwa TB bukan lagi jadi masalah kesehatan masyarakat di satu negara bila
jumlah penderita baru yang menular kurang dari satu orang untuk setiap satu
juta penduduk.
Bila
dihitung secara kasar, dalam keseluruhan jumlah penduduk Indonesia yang sebanyak
250 juta jiwa, dibagi 460.000 kasus baru, berarti setiap sebanyak 543 orang ada
1 orang yang baru tertular TB. Berarti
ada lebih 200 orang yang baru tertular dalam setiap 1 juta penduduk Indonesia.
Wow, sungguh angka yang fantastis!
Beban ekonomi akibat TB dan kemiskinan, berdampak juga pada masalah- masalah kependudukan negeri ini |
Di
samping itu, penyakit TB pun mengakibatkan dampak ekonomi pada penderitanya.
Salah satunya adalah, 75% pasien TB
harus mengambil pinjaman atau berhutang untuk biaya pengobatan dan biaya
sehari-hari. Bila ini terjadi maka slogan mencegah lebih baik daripada mengobati tinggal sebagai kata-kata
mutiara belaka. Karena terbukti bahwa mengobati itu jauh lebih berat daripada
mencegah.
Dalam
jurnal Tuberkulosis dan Kemiskinan itu
disebutkan pula bahwa penyakit dan
kemiskinan dapat seperti vicious cycles. Karena miskin, orang jadi kurang gizi,
tinggal di tempat yang tidak sehat, dan tidak dapat melakukan pemeliharaan kesehatan dengan baik. Akibatnya, si miskin
akan jatuh sakit. Karena sakit maka dia terpaksa berobat. Biaya pengobatan itu
cukup mahal, akibatnya si miskin akan makin miskin lagi, sehingga berhenti
berobat, makin parah demikian seterusnya.
Publikasi
WHO dalam rangka World TB Day 2002 yang mengambil tema Stop TB Fight Proverty
menyebutkan di dalam poin kelimanya:
Penelitian menunjukkan bahwa 3 atau 4 bulan masa kerja akan hilang karena seseorang sakit TB. Hal itu berpotensi menyebabkan hilangnya 20-30% pendapatan rumah tangga dalam setahun. Bila seseorang meninggal akibat TB, maka keluarganya akan kehilangan sekitar 13-15 tahun pendapatan karena kepala keluarganya meninggal akibat TB.
Kehilangan
sekitar 13 – 15 tahun pendapatan tentunya akan berdampak sangat signifikan bagi
keluarga yang ditinggalkan oleh orang tua yang meninggal karena TB sementara
anak-anak yang ditinggalkan sedang butuh-butuhnya curahan kasih sayang dan
materi untuk tumbuh kembang dan pendidikannya. Maka kengerian berikut yang dihadapi adalah lingkaran kemiskinan dan
kebodohan yang tak ada habisnya. Terbayangkah akan jadi apa-apa anak-anak ini
kelak jika tak mendapatkan penanganan yang baik?
Di
saat yang bersamaan, negara kita tengah mengalami masalah-masalah kependudukan
karena laju pertumbuhan penduduk teramat pesat. Laju pertumbuhan penduduk
Indonesia saat ini adalah 1,49% per tahun (SP 2010) atau bertambah sekitar 4
juta jiwa per tahun. Laju pertumbuhan penduduk ini berdampak signifikan
terhadap 6 hal berikut: kualitas penduduk, pendidikan,
kesejahteraan, ketahanan pangan, lingkungan, serta pertahanan dan keamanan.
Kemiskinan dan juga penyakit menular pun amat berperan dalam masalah-masalah
kependudukan ini. Bila masalah kemiskinan dan TB tak terselesaikan dengan baik
maka “kemiskinan dan TB” pun menjadi penyumbang signifikan dalam
masalah-masalah kependudukan tersebut.
Untuk
itu pemerintah telah berusaha semaksimal mungkin memberantas TB. Berdasarkan
Surat Keputsan Nomor 1190/Menkes//SK/20014, pemerintah telah menyelenggarakan
pengobatan gratis untuk TB. Masyarakat diharapkan dapat segera memeriksakan
diri jika memiliki gejala penyakit TB (batuk berdahak lebih dari 2
minggu bahkan hingga mengeluarkan darah, berat badan yang menurun drastis,
demam, serta sakit pada bagian dada) ke Puskesmas atau ke rumah
sakit pemerintah. Sebagai anggota masyarakat, kita bisa membantu penyebarluasan
informasi ini kepada warga yang terjangkit TB tetapi takut berobat karena
memikirkan biayanya. Yuk, berantas TB
agar tak ada lagi tulang punggung keluarga yang meninggalkan beban ekonomi
besar bagi generasi penerus bangsa.
Makassar, 15 Juni 2014
Tulisan
ini diikutkan Lomba Blog TB Sesi ke-6
Referensi:
- Alvin Bintang, 2013, A Long, Kisah Pilu Bocah 6 Tahun yang hidup Sendirian di China, Amazing Depok.
- http://www.tempo.co/read/news/2013/05/24/060482869/Bakteri-Tuberkulosis-Mati-karena-Vitamin-C
- http://www.slideshare.net/simantak/penanganan-terkini-tuberkulosis-atau-tb
- http://bola.kompas.com/read/2012/03/23/15415923/500.000.Orang.Meninggal.Tiap.Tahun.akibat.TB
- http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=2145
- http://blog.tbindonesia.or.id/
- https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0CB8QFjAB&url=http%3A%2F%2Fmki.idionline.org%2Findex.php%3FuPage%3Dmki.mki_dl%26smod%3Dmki%26sp%3Dpublic%26key%3DOC0z&ei=6ACdU6CAJcmTuASzpoLADA&usg=AFQjCNEIScN39zdviH1z0fsLTkOlN0-Lww
- Fact sheet berjudul Kependudukan dan Dampaknya dalam Pencapaian Tujuan Nasional, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
- http://www.tbindonesia.or.id/
Share :
Wahh..tlisannya lengkap. Semoga beruntung ya Mak di serial ini :)
ReplyDeleteAamiin makasih mak Widya :)
Deletebagus mbak tulisannya. Sebenarnya pingin ikutan juga. Tapi sampai sesi 6 ini belum sempat terusss...... *nggak bisa ngalahin krucil
ReplyDeleteMakasih Mbak. Wah, saya kayaknya sedang egois makanya bisa selesai :)
DeleteDulu saya juga pernah kena TB paru waktu bayi. Ketularan ayah saya. Ngga inget sih kaya gimana rasanya. Cuma diceritain kalo minum banyak antibiotik.
ReplyDelete