Kadang-kadang
secara tak diduga orang yang kita sayangi mempermalukan kita. Saya pernah
mengalaminya. Di antaranya akan saya ceritakan di sini, pengalaman “dipermalukan
“ oleh ketiga anak saya. Ini penting supaya orang tahu kalau blog saya bukan
sekadar pencitraan.
1
Sebelum
punya anak, kalau melihat ada anak kecil yang menjerit-jerit di tempat umum,
saya memandang iba kepada orang tua sang anak, sembari mengasihaninya karena terlihat
tak mampu “mengurus anaknya”.
Nasib
berbalik saat saya menjadi ibu. Waktu si sulung Affiq masih batita, ia pernah
mengamuk di toko buku karena permintaannya untuk membeli mainan puzzle kayu ditolak oleh saya dan
papanya.
Kami
menolaknya karena kemampuannya sudah jauh di atas nilai edukasi yang ditawarkan
oleh permainan itu. Membelinya adalah kesia-siaan. Kami menawari gantinya
dengan buku cerita. Ia bersedia. Tapi ketika buku sudah dibayar dan kami hendak
pulang, ia berulah. Mainan itu kembali dituntutnya, pakai acara jejeritan lagi.
Beberapa
pasang mata mengarah kepada kami. Mereka menatap iba. Bayangkan betapa
campur-aduknya perasaan kami kala itu. Antara kesal dan malu. Tapi kami keukeuh, Affiq harus diajar untuk
menurut kepada kami, bukan kami yang harus menurutinya.
Sumber: http://defenderoftexel.wikia.com |
Maka
satu-satunya cara membawanya pergi adalah dengan mengangkutnya secara paksa ke
sepeda motor kami. Alhasil sepanjang jalan ia menjerit-jerit. Tidak sampai di
situ saja. Di rumah kawan yang kami datangi pun ia berulah, sampai duduk di
tengah jalan, jejeritan. Tentu saja kami tak menyerah. Anak-anak akan belajar
kalau dengan merengek/menangis/menjerit ia bisa “menguasai” orang tuanya, ia
akan selalu melakukannya.
2
Waktu
kami tiba-tiba kedatangan tamu di saat waktu makan malam, dan tamu tersebut
merupakan keluarga dekat maka satu-satunya cara yang mungkin dilakukan agar
dapat menjamunya adalah segera keluar rumah dan membeli makanan yang sudah
masak di warung makan.
Si
bungsu Afyad buru-buru menyiapkan diri, hendak ikut ketika melihat saya
bersiap-siap. Naluri “kekakan” Athifah (7 tahun) mendorongnya untuk membujuk
Afyad di depan tamu kami, “Jangan ikut, Dek. Mama cuma mau pergi beli ikan!”
3
Pernah
mengalami perut kembung selama bermenit-menit? Aih, tidak enaknya! Nah,
saat merasa tidak enak itu, saya ke warung sebelah. Si bungsu Afyad (4 tahun) menemani
saya.
Seorang
lelaki sementara dilayani oleh pemilik warung. Saya berdiri tepat di sebelahnya,
menunggu giliran dilayani. Rasa tidak enak di bagian perut masih saja mencekam
saya. Susah sekali menahan rasa hendak buang angin. Benar-benar “jalur bagian
belakang” saat itu sulit diajak berkompromi. Takut sekali saya membayangkan
bila tiba-tiba kentut di situ.
Namun
sekeras apapun saya berusaha, nyatanya saya kalah juga. Tampaknya si “jalur
bagian belakang” dan perut saya sedang berkolaborasi menentang kekuasaan penuh
yang selama ini saya miliki. Kalau sudah begitu, tak ada pilihan lain, selain
mengusahakan angin yang mendesak-desak itu keluar dengan cara elegan.
Saya
menahan napas. Lelaki di sebelah saya masih belum selesai hajatnya dengan pemilik
warung. Syukurlah, angin itu keluar dengan elegan. Tak ada dobrakan yang
menimbulkan bunyi serupa bom. Tapi saya tak kuasa menyembunyikan bunyi serupa
peluit yang ditiup oleh orang yang tengah sekarat.
“Aaah
aman, tak ada yang mendengar,” saya tersenyum yakin dalam hati.
“TUTUT!
TUTUT!” Afyad di sebelah saya berujar girang sembari menunjuk-nunjuki saya.
Makassar, 5 Juli 2014
Diikutkan dalam "The
Silly Moment Giveaway" Nunu el Fasa dan HM Zwan
Share :
Hahaha,,, udah susah payah mengeluarkan angin dengan elegan, eeh "Tutut,, Tutut" ketauan deh :D
ReplyDeleteIya nih, si bungsu belum mengerti bagaimana cara menjaga nama baik ibunya :)
DeleteLucu banget, Mak Mugniar. Soal dipermalukan anak dengan jejeritan karena menginginkan sesuatu pun sering saya alami. Kasihan juga pada Palung anak saya, tapi ia harus diajar agar tak menguasai ortu dengan cara begitu. Saya sepakat denagn cara Mak. Ternyata kita senasib. *Lupa kala kanak-kanak pernah gitu, haha....
DeleteBuang angin secara elegan memang susah dipraktekkan, juga oleh saya yang lebih parah, haha.
Salam manis untuk Athifah. Kalau baca ini apakah bingung, hehe.
Wah sorry ya Mak, Rohyati .. saya dulu tipe anak elegan, tidak jejeritan kalo kemauan saya ndak dituruti *sambilkipaskipas* :))
DeleteSebenarnya sudah cukup elegan sampai Afyad membocorkannya, Mak hehehe.
Buang angin dekat orang lain yang tak sengaja itu pernah pula aku alami Niar. Duh rasanya pengen deh tenggelam ke perut bumi saat itu hehehe...
ReplyDeleteHahahaha .. manusiawi kan ya kak Evi?
DeleteAku senyum justru baca opening tulisan... hehhehe... memangnya selama ini blogmu ada yang bilang sekedar menulis pencitraankah? Hahahaha.... tapi ceritanya lucu2
ReplyDeleteKan lagi momen2 pencapresan, Mbak Ade ... disesuaikan gituh :))
DeleteAthifah pengertian sekali, cuma waktunya yang nggak tepat :D
ReplyDeleteDan Afyad ... lucu! Udah senang2 nggak ada yang dengar, malah "dibongkar" sama tutut-tutut-nya Afyad.
Saya kadang sebel sama orang tua yang anaknya nangis trus dibiarin. Masih bagus Kak Niar angkat paksa ke motor.
Ini kejadian kesekian ia jadi anak pengertian pada waktu yang tidak tepat, Mil :)
DeleteWeits, kalo di rumah, kadang2 anak nangis terpaksa dibiarkan, Mil. Tak selamanya anak nangis kita bisa diamkan. Karena terkadang kuat2an dengan mereka. Mereka punya kemauan yang harus dituruti dan kita tidak mau menurutinya karena alasan yang prinsipil atau karena ada yang sedang dikerjakan yang tdk bisa ditunda.
Hahahaha dek afyad dan tut tut tut nyaa :p
ReplyDeleteUntung dia ndak bilang, "Mama KENTUT," ya :)))
DeleteWkwkwk..anak-anak memang selalu nyusahin orangtuanya ya, Mbak. Kayaknya waktu kecil dulu saya juga sering banget bikin malu orang tua saya, hhahaahah..
ReplyDeleteTapi lucu lho buat dikenang, ndak murni nyusahin hahaha
DeleteWakaka...sukses ketawa dibagian Tututut mbak Niar
ReplyDeleteHahaha afyadddddd....
ReplyDeleteTerdaftar
Tetima kadih sudah mngikuti GA silly moment
Salam^^