Judul : Mereka Bicara Fakta –
Wajah Sistem dan Regulasi Kesehatan Indonesia
Penulis : Susanti dkk
Penulis : Susanti dkk
Penerbit : Insist Press
Cetakan : Pertama, Januari 2014
Tebal : xiv + 148 halaman
ISBN : 978-602-8384-77-3
Ukuran : 19 cm x 13 cm
Peristiwa
mogok massal yang dilakukan para dokter menjelang penghujung tahun lalu
dianggap sebagai ekses dari arogansi mereka. Masyarakat menjadi tak simpati
karenanya. Hal ini menjadi sorotan dari beberapa penulis di dalam buku ini.
Lima
belas penulis dari latar belakang yang beragam menuangkan fakta di sekitar
mereka mengenai wajah sistem dan regulasi kesehatan di negara ini. Pengalaman
menyenangkan dialami oleh Idrus bin Harun melalui JKA (Jaminan Kesehatan Aceh)
yang dikeluarkan pemerintah setempat. Walaupun harus dioperasi, biaya yang
dikeluarkannya minim sekali berkat JKA.
Namun membangun sistem
layanan kesehatan masyarakat tidak saja bermula dari dokter. Harus ada inovasi
sistem secara kontinu dari pemerintah, pengawasan masyarakat sipil, serta
penghargaan atas jasa-jasa para pekerja medis. Di Aceh, JKA adalah jawaban yang
coba diberikan pemerintah (halaman 26).
Seorang
petugas kesehatan menuliskan mengenai paradoks yang muncul dari membanjirnya
informasi kesehatan di masyarakat. Pemahaman parsial saat mencerna informasi
tersebut bisa berdampak buruk sementara rumah sakit menjadi penentu pelayanan
tetapi tidak menggaransi.
Saat membutuhkan barang
sehari-hari kita biasanya akan membeli. Namun ketika sakit, kita akan menebus
obat. Pertanyaannya, kenapa untuk obat kita menggunakan kata “menebus” bukan
“membeli”? Ini lebih merupakan paksaan, alih-alih pilihan. Alasannya, mereka
yang menebus obat kerap tidak paham dengan hubungan obat dengan penyakit yang
dideritanya. Ketimpangan informasi antara pasien dan penyedia layanan kesehatan
ibarat celah lebar yang mudah disusupi oleh kenakalan oknum penyedia layanan
kesehatan itu sendiri (halaman 31-32).
Sistem
pendidikan kesehatan pun menjadi pembahasan. Betapa pendidikan kedokteran saat
ini hanya bisa dijangkau oleh golongan ekonomi atas. Menjadi pertanyaan
kemudian pada kualitas dokter yang dihasilkan.
Jika berkaca pada
STOVIA, tentu terdapat perbedaan yang nyata pada pendidikan kedokteran masa
kini. Dulu, para calon dokter ini mendapatkan beasiswa hingga tak memusingkan
persoalan harga pendidikan. Sekolah dokter itupun dapat diisi anak-anak guru
yang termasuk golongan masyarakat biasa. Coba tengok pendidikan kedokteran
kini, masihkah murah seperti dulu? (halaman 78)
Tak
hanya itu, adanya “perselingkuhan” antara dokter, apotek, dan perusahaan
farmasi, kemudian kelicikan petugas kesehatan di lapangan, dan tidak
terjangkaunya semua lapisan masyarakat akan layanan kesehatan, membuat sistem
kesehatan kita jadi seperti benang kusut yang harus diuraikan satu per satu.
Namun
ada pelita-pelita yang membuat kita masih bisa menaruh harapan. Buku ini memuat
kisah tentang petugas-petugas kesehatan yang amanah, termasuk suster apung
bernama Rabiah yang berdedikasi tinggi (halaman 41). Setiap hari Rabiah harus
siap mengarungi lautan, mengunjungi area puskesmas tempatnya bertugas yang
meliputi 25 pulau kecil yang tersebar di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.
Juga
ada kisah dari Grace Melia, ibu muda yang mendirikan Rumah Rubella agar dapat
mengedukasi masyarakat tentang berbahayanya virus TORCH bagi ibu hamil. Ini
bermula dari aneka permasalahan yang dirasakannya karena putrinya terinfeksi virus
Rubella saat ia hamil (halaman 55).
Membaca
buku ini makin membuka mata kita bahwa selain kompleksnya permasalahan
kesehatan di sekitar kita, diperlukan pula upaya proaktif melalui inisiatif
sendiri untuk mencegah dan mengatasi penyakit, demikian pula dalam mengedukasi
masyarakat. Itu jauh lebih baik ketimbang menyalahkan pihak lain.
Dan,
uraian penutup dari penyunting buku ini patut diingat: 15 tulisan dalam buku ini tidak berpretensi memberikan solusi. Buku
kecil ini cukup dipahami sebagai kabar-kabar yang muncul dari masyarakat dan
bisa menjadi pemantik cara mengurai masalah tersebut satu per satu (xii).
Share :
bener min, skrg biaya masuk kedokteran mahal mas sudah mencapai kisaran ratusan juta...
ReplyDeleteboleh nanya min?? virus torch dan rubella itu semacam virus apa n menyerang pada bagian mana??
makasih sebelumnya min udah berbagi ilmu... ^^
Hai mas Wahyu, ijin ikutan nimbrung ya *salim dulu sama Mak Niar*, kebetulan aku yg menulis ttg TORCH itu :)
DeleteTORCH adalah singkatan dari Tokso, Rubella, CMV, dan Herpes. Jadi Rubella adalah bagian dari TORCH. Tokso bukan virus melainkan parasit sedangkan tiga komponen lainnya adalah virus. TORCH ini pada umumnya bisa menyerang siapa saja dg gejala yg ringan, tapi kalau menginfeksi ibu hamil akan jadi sangat berbahaya krn bisa menembus ke plasenta janin sehinga janin akan terganggu perkembangannya. Akhirnya janin akan lahir dg gangguan kesehatan. Untuk Rubella sendiri adl nama lain dari campak Jerman, jadi gelajanya mirip penyakit campak. Demam, timbul ruam merah, sendi ngilu, dsb. Bayi yg lahir dg infeksi Rubella kongenital/bawaan (artinya didapat sejak masih di dalam kandungan) sangat berpotensi mengalami gangguan pendengaran, katarak, kebocoran jantung, mikrosefali, dan beberapa gangguan kesehatan lainnya. Kalau anakku, semua dapat, hanya katarak aja yg enggak. Jadi masih bisa sangat bersyukur :))
This comment has been removed by the author.
Deletemakasih mbak atas pencerahannya..
Deletedapat ilmu baru deh.... :)
Sistem dan reguliasi kesehatan kita memang perlu untuk diperbaiki.
ReplyDeleteSeperti BPJS itu... semoga dengan perbaikan sistemnya akan dapat memberikan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
BTW IRC itu apa Mak?
saya sering ngenes melihat sistem dan regulasi di negara kita yg masih buruk, kasihan pada mereka yg memang membutuhkan jaminan kesehatan yg baik tapi minim dana. Semoga sistem dan regulasi kesehatan di negara kita kedepannya akan semakin baik. Aamiin.
ReplyDeleteSaya manggut-manggut sendiri baca review-nya, mbak. Baru tahu juga kalau jaman dulu, ketika ada STOVIA, pendidikan di kedokteran tidak semahal sekarang. Tahun 2012 dulu, ketika saya akan mendaftar kuliah, sempat tertarik dengan kedokteran, tapi dengar2 biaya masuknya sampai ratusan juta - -" .
ReplyDeleteikut melansirkan link ke: http://blog.insist.or.id/insistpress/?p=9602&lang=id
ReplyDeleteUpdate link terkait rehal: http://insistpress.com/katalog/mereka-bicara-fakta-wajah-sistem-dan-regulasi-kesehatan-indonesia/
Delete