Judul : Once More Ramadhan
Penulis : Adya Pramudita, Dian Nafi, Aida MA, Wawat
Smart,
Pujia
Achmad, Linda Satibi, Leyla Hana,
Saepullah,
Arrifa’ah, Rima Ria Lestari, Hairi Yanti
Penerbit :
Grasindo
Tahun
terbit : 2014
Ukuran : 19 cm x 13 cm
Tebal : 154
halaman
ISBN : 978-602-251-556-2
Menjalani
Ramadhan dengan sepenuh jiwa bukan hal yang mudah bagi sebagian orang yang tak
mendapatkan maknanya. Perlu proses pembelajaran untuk melalui Ramadhan dengan
ikhlas dan bersemangat. Menahan lapar, dahaga, dan berhubungan suami-istri
setengah harian selama sebulan penuh bukanlah hal yang mudah bagi sebagian
muslim.
Bagi
sebagian yang lain, melalui momentum mengejutkan nan tak terlupakan membuat
mereka berkeinginan untuk bertemu kembali dengan Ramadhan berikutnya agar bisa
lebih memaknainya dengan sepenuh hati.
Enam
belas kisah dalam buku ini menggambarkan momentum-momentum berharga yang
membuat para penulisnya belajar dengan lebih dalam lagi mengenai makna
kehidupan, kehilangan, bahkan kematian.
Seperti
dalam kutipan kisah seorang istri ketika suaminya meninggal dunia, berikut ini:
Aku menyangka kemuliaan itu kalau seseorang berada di depan. Memimpin. Atau berkhotbah, mengajari, bertausiyah di depan, di panggung. Tetapi Allah menunjukkan sesuatu yang lain. Yang luput dari persangkaanku selama ini. Suamiku ternyata mulia tanpa harus berada di depan, di panggung. Dia mengajarkan sesuatu tanpa menggurui. Dia mencontohkan (Contekan, halaman 18).
Ramadhan
pun bisa begitu indah dirasakan ketika seseorang mengalaminya di luar negeri.
Menjadi muslim yang minoritas di Belanda sembari menjalankan puasa dalam waktu
yang lebih lama justru membuat penulis lebih bersemangat menjalankannya:
Namun di balik semua itu, aku selalu mensyukuri dua hal, kesempatan yang diberikan Allah merasakan indahnya Ramadhan di bumi-Nya yang lain dan bertemu dengan saudara muslim lainnya (Serunya Ramadhan Musim Panas di Rotterdam, halaman 61).
Lain
lagi pengalaman Ramadhan dalam kisah Momennya Berbagi. Penulis mencoba mengamalkan
tausiyah dari seorang ustadz mengenai tapatnya Ramadhan dijadikan momen berbagi
kepada sesama.
Maka
penulis mencoba menyelenggarakan buka puasa gratis, dengan cara membagi-bagikan
ta’jil (penganan buka puasa) untuk warga sekitar rumahnya. Pada awalnya ia
merasakannya berat karena hati dan sikapnya tak terbiasa melakukannya. Namun
lama-kelamaan ia menikmatinya karena merasakan terjalinnya keakraban yang lebih
intens dengan para tetangganya, “hanya” berbekal tausiyah bahwa:
ta’jil tak perlu mewah asalkan bisa berbagi dan bersilaturahmi bersama masyarakat. Itu intinya … Istri yang membuat hidangan untuk berbuka. Sementara aku dan anakku yang belum berumur dua tahun yang membagikannya kepada tetangga di sekeliling rumah (halaman 94).
Teruntai
pula kisah syahdu seorang perempuan yang nyaris ditinggal kawin oleh suaminya.
Kepasrahannya pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan berbuah manis. Melalui
doa-doa yang dipanjatkannya setiap hari, Allah menggerakkan lelaki itu
mencarinya dan menjemputnya seraya menghamburkan kata-kata permintaan maaf dari
mulutnya:
Hari itu aku kembali, ada doa yang sudah didengarkan, ada jiwa baru yang bijaksana melihat hidup. Rinduku … rinduku … menunggu Ramadhan selanjutnya. Akan kuukir lagi hati yang semakin baru setiap kali Ramadhan menyapaku (Doa di Ujung Ramadhan, halaman 142).
Sesungguhnya
bagi jiwa-jiwa yang dekat dengan Penciptanya, Ramadhan selalu dinanti.
Sebagaimana kisah-kisah yang dituliskan dalam buku ini, semoga kita pun
demikian. Berharap bisa bersua lagi dengan Ramadhan berikut.
Makassar, 2 Agustus 2014
Tulisan
ini diikutkan Indiva Readers Challenge
Share :
Amiin ya Rabb... Semoga amal ibadah di Ramadhan yang lalu juga diterima oleh Allah SWT...
ReplyDeleteSalam dari Pulau Dollar
Penggalan kisahnya yang apik. Cotntoh kisah saat sang istri ditinggal selamanya oleh suami tercintanya telah memberikan makna baru akan sebuah kepemimpinan. Buku ini layak dibaca untuk semua kaum Muslimin
ReplyDeleteSemoga akupun dipertemukan kembali dengan ramadhan berikutnya...amin...
ReplyDeletemerinding baca ulasannya mbk....
ReplyDeletemohon maaf lahir batin mbk niar...:)