Saya
beruntung dididik keras oleh Ibu dalam hal mengerjakan pekerjaan rumah dan
tidak boleh tidur di pagi hari. Seingat saya, sejak SMP saya sudah punya tugas
menyapu rumah setiap hari. Tidak boleh kotor. Telapak kaki ibu selalu
mendeteksi keberadaan debu. Biarpun saya sudah menghabiskan waktu lama untuk
menyapu, tetap juga dapat perintah ulangan, “Sapu lagi, masih kotor!”
Begitu
juga dengan mencuci piring, sudah menjadi pekerjaan rutin saya. Kecuali mencuci
pakaian, selalu ada asisten rumah tangga yang mengerjakan, yang kerjanya
setengah harian. Tapi itu pun saya tahu diri, tak membiarkannya mencuci pakaian
dalam saya.
Sering
kali saya ngedumel dalam hati kalau
masih mengantuk berat tapi harus bangun pagi-pagi. Hanya berani dalam hati,
saya tak berani mengeluarkannya secara verbal. Menurut Ibu, tak pantas anak
perempuan bangunnya siang.
Kata almarhumah Erna (sahabat saya yang jago masak), "Perempuan itu minimal harus bisa bikin sambal." Dabu-dabu ini mudah sekali cara bikinnya tapi kalau tak belajar, mana bisa bikin :) |
“Kalau
masih mengantuk, nanti tidur lagi tapi bangun dulu, menyapu rumah!” tegas Ibu.
Kata “nanti” yang dimaksudkannya adalah ketika hari mulai siang, baru boleh
tidur lagi. Pokoknya: JANGAN TIDUR PAGI-PAGI!
Akhirnya
tertanam dalam diri saya rasa tak enak untuk tidur pagi, setelah shalat subuh. Saya
merasa bersalah kalau melenakan diri, memanjakan mata terpejam setelah subuh.
Saat menginap di rumah saudara pun, saya berusaha melek, menahan kantuk di pagi
hari.
Begitu
juga dalam membantu pekerjaan rumah di rumah yang saya tempati menginap, saya
tak segan melakukannya karena Ibu membiasakan saya mengerjakan pekerjaan rumah
atau membantu pekerjaan/hal yang tengah dilakukannya. Atau kalau tuan rumahnya
punya anak kecil dan tak ada yang mencebok anak kecil itu saat tiba-tiba
bersimbah dengan air seni atau kotoran, saya mau turun tangan membantu
membersihkan anak kecil itu.
Begitulah
sampai menikah. Di awal pernikahan, saat berkunjung ke rumah mertua, saya
mencoba membantunya mengerjakan pekerjaan rumah di waktu pagi, sebisa saya.
Saya mencoba mengakrabkan diri dengan ibu mertua, salah satunya dengan cara
membantunya mengerjakan pekerjaan rumah.
Omelet Mie, masakan saya tadi pagi |
Hanya
satu pekerjaan rumah yang saya tak terbiasa melakukannya dulu: MEMASAK. Yup, memasak. Karena Ibu bukan orang
yang biasa memasak sendiri. Beliau terbiasa ada yang memasakkan.
Tapi
saya tak mau terbiasa tak tahu memasak. Saya mencoba belajar, mulai saat
kuliah. Saya cemburu dengan teman-teman perempuan yang piawai memasak. Cemburu
sekali. Menurut saya, salah satu nilai lebih seorang perempuan, selain
kecerdasannya adalah keterampilannya dalam memasak atau bikin kue.
Saya
mulai dengan menonton hampir semua acara masak di stasiun-stasiun tivi. Saya
hafal jam tayangnya, dari pagi sampai malam hari. Saya mencatat resepnya,
lengkap dengan cara membuatnya dan penjelasan kokinya tentang bahan-bahan yang
digunakannya. Sampai akhirnya saya paham kalau memasak itu sebenarnya tak sulit
asal kita mau belajar.
Pelan-pelan,
saya praktik masak, mencoba membiasakan diri menumis, membolak-balik masakan di
atas wajan yang kalau tak terampil melakukannya bisa menyebabkan wajan yang dasarnya tak datar terjungkal dari atas
kompor gas, dan membiasakan memotong-motong bahan.
Saya
malu, beberapa kali dicela kawan-kawan. Selain itu, saya ingin sekali bisa
membahagiakan keluarga saya dengan memasak. Jangan sampai anak-anak saya
meminta saya masak nasi goreng, saya tak bisa. Atau kalau ingin makan nasi
goreng, harus selalu beli. Konyol, kan?
Pepatah
Bugis berikut: Lélé bulu tellélé abiasang, lélé mo abiasangngé, abiasang topa paléléi
(artinya: gunung boleh berpindah kebiasaan tak akan berubah, kebiasaan
hanya bisa diubah oleh kebiasaan pula) benar adanya.
Alhamdulillah,
walaupun saya tidak pernah bisa mencintai kegiatan memasak, saya bisalah
memasak yang standar-standar. Waktu mengikuti suami ke Riau, seminggu setelah
menikah, saya senang-senang saja belajar masak dari koleksi buku masakan saya.
Saat itu, karena tak langsung dikaruniai momongan, saya masih suka memelototi
acara masak di tivi. Saya berusaha mempelajari cara memasak aneka jenis makanan.
Saya
bahkan dengan beraninya pernah ikut lomba masak dengan resep kreasi sendiri di
sebuah perusahaan MLM beberapa tahun lalu. Waktu itu dari sekian banyak resep
yang masuk, resep saya terpilih bersama 5 kreasi resep lainnya untuk mengikuti
lomba itu (ceritanya bisa dibaca di sini). Seandainya saya dulu tak membiasakan
diri, pastinya saya tak bisa masak sampai sekarang ini. Ala bisa karena biasa.
Makassar, 14 September 2014
Share :
Setuju mbak.. saya juga begitu.. pengen piawai masak dan momong anak.. awalnya juga harus mati matian blajar.. *mpek skarang masih harus blajar
ReplyDeleteSaya juga masih harus belajar, Mbak :)
Deletesemuanya memang harus dibiaakan dulu spy bisa ya mbak...
ReplyDeleteSepakat, Mak :)
Deletemau dong diajari bikin sambal dabu-dabu
ReplyDeleteGampang, Mbak .. cuma bawang merah, tomat dan cabe, dikasih sedikit minyak jelantah, dan air .... jadi deh :)
Deletesaya penikmat sambal... tapi belum pernah cicip sambal dabudabu... mau dong diajarin.
ReplyDeleteKalo serius, ada di komen tepat di atas komen mas Adi :)
DeleteMbak ini komentar di atas spam sekali...
ReplyDeletePerempuan memang setidaknya harus bisa bikin sambel ya Mbak, tapi aku selalu nggak pas kalau bikin sambel. Kadang kepedesan, kadang asin, kadang aneh rasanya. Barangkali harus ikutin cara Mbak Mugniar buat catat resep biar takarannya pas.
Fiyuh ... sudah saya hapus .....
DeleteLama2 pake perasaan bisa :)
setuju mak, ala bisa karena biasa...
ReplyDeleteSip ;)
Deletehehehe lain waktu ketemuan, mau coba masakan ta mak Niar naah :D semoga beruntung, masakan ala mak Niar jreng jreng jreng...
ReplyDeleteNas gor mo nah .. yang sederhana hahaha
Deletebener Mak, memasak itu adalah kebiasaan. Kalau sudah biasa setiap hari memasak, nantipun bakal tahu sendiri takar menakar bumbu yang pas.. :)
ReplyDeleteSemangat masak Mak... :)
Benar Mak, pake takaran perasaan saja bisa jadi :)
Deletesaya juga suka ngiri mak kalo ada wanita yg pintar masak :)
ReplyDeleteTos Mak hihihi
DeleteSaya pilih Omelet Mie aja, hehehe,,,
ReplyDeleteSaya gak terlalu bisa masak, suami saya yang biasa masak.
Beruntung ya :)
DeleteSuami saya jg bisa masak, ayah saya juga .... mereka laki2 yang hebat ya :)
Tidak tidur pagi memang sehat dan banyak manfaat ya, Mbak. Bila ini dibiasakan, tentu malah asyik jadinya.
ReplyDeleteomelet mie, saya juga suka bikin model diversifikasi mie yg ini mbak.
ReplyDeleteTaburlah kebiasaan baik, panen karakter baik pula.
#apa kabar Mbak. Lama banget saya gak BeWe
Mak.. saya baru liat tulisan Bugis.. seperti itu ya? *salah fokus :D
ReplyDelete