Resensi ini pada mulanya saya kirim ke media Koran Jakarta. Alhamdulillah dimuat di rubrik Perada pada tanggal 26 September 2014 dengan judul Wanita yang Menolak Dilangkahi (klik di sini untuk membaca), tapi sudah diedit sana-sini sehingga ada hal-hal yang ingin saya sampaikan, tak masuk di dalamnya. Nah, di posting-an ini, saya tampilkan versi lengkapnya. Walaupun demikian, saya bersyukur karena dimuat di media tertentu adalah sebuah tantangan menarik yang kerap ingin saya penuhi.
***
Judul : Lukisan Hati
Penulis : Ade Anita
ISBN :
978-602-02-3653-7
Penerbit : Elex Media
Komputindo
Tahun terbit : 2014
Ketebalan : 390 halaman
Umak bilang aku
harus ikhlas. Tapi Umak tidak pernah memberitahu padaku seperti apa ikhlas itu?
Sekarang, jika aku bertanya pada kakak apa ikhlas itu, apa yang akan kakak
jelaskan padaku? Awas ya jika kakak mengatakan bahwa ikhlas itu seperti orang
buang air besar. Di mana orang yang buang air besar itu tidak pernah keberatan
dengan apapun yang dibuang di jamban. Karena asli, aku sudah bosan dengan
contoh itu (halaman 15).
Kalau selama ini Solasfiana bisa ikhlas berkorban mencarikan nafkah
untuk Umak dan kedua adiknya hingga Marsyapati bisa jadi bidan dan Isfahan bisa
mandiri dan membantu keuangan keluarga namun dalam hal pernikahan, ia sama
sekali tak ikhlas dilangkahi Marsyapati. Rintihan Marsyapati tak mampu menggoyahkannya.
Walau begitu, Marsyapati tak jemu mendesaknya karena calon suaminya ingin menikahinya
sementara Solasfiana sendiri, belum ada satu lelaki pun yang meminangnya padahal
umurnya sudah lebih dari cukup untuk menikah.
Beruntung adat Sumatera Selatan dan Umak mendukung Solasfiana. Mendadak
Umak begitu peduli pada kulit dan pakaiannya, juga tak bosan-bosan
mencarikannya pendamping hidup. Kakak
perempuan tak pantas dilangkahi karena akan dicemooh masyarakat. Bisa-bisa tak
ada lelaki yang mau menikahinya dan ia menjadi perawan tua (halaman 310,
323).
Novel yang membagikan banyak pengetahuan tentang Sumatera Selatan
melalui pemaparan setting tempat dan
budayanya ini mulanya beralur maju. Mendekati akhir, ada variasi maju-mundur. Di
dalamnya bertebaran hikmah yang diselipkan dalam bentuk dialog, seperti: Tuhan tidak pernah salah memilih seseorang
untuk menerima sebuah takdir tertentu. Ketika sebuah takdir ditentukan, maka
orang tersebut akan diberikan pilihan. Selanjutnya, terserah orang itu mau
berpikir atau mengabaikannya (halaman 64).
Ditulis dalam sudut pandang orang ketiga, detil reaksi psikologis
menjadi perhatian penulisnya. Perasaan Solasfiana saat minder karena memakai
sepatu lusuh, misalnya dideskripsikan dengan gerakan menarik kaki ke arah belakang,
sebagai usaha menyembunyikannya dari tatapan seorang perempuan berpakaian mahal
(halaman 53). Reaksi kakunya saat dibonceng Zainudin pun menarik untuk dicermati,
Solasfiana sedemikian kikuknya karena seumur hidupnya belum pernah dibonceng
motor oleh seorang lelaki mana pun (halaman 290).
Novel yang merupakan pengembangan dari novel Yang Tersimpan di Sudut
Hati (terbit 2013) ini mengajak pembaca merenungkan makna ikhlas, juga cinta.
Ada tokoh Sofyan, dokter muda sahabat Solasfiana yang batal menikah setelah ia
memperkenalkan Solasfiana kepada calon istrinya. Ada Zainudin yang ditinggal
mati istrinya dan mendapatkan sosok keibuan dalam diri Solasfiana yang akrab dengan Zahra – putrinya, ada Aulia
Rahman – sahabat pena yang banyak membantu keluarga Solasfiana, dan ada Ikhsan
– seorang marbot yang banyak memberi petuah kepada Solasfiana.
Konflik hati dan budaya mewarnai cerita. Ada Nurhayati dan Nyi Kemas
yang menjadi korban cinta. Lalu ending yang
tak terduga bakal menambah daftar barisan sakit hati. Solasfiana sendiri,
dengan mengukur kenyamanan hatinya, berusaha menemukan kepada siapa hatinya itu
akan ditambatkan. Sebagai orang yang sudah banyak membuktikan cinta kepada
keluarganya dengan bekerja keras tanpa kenal lelah, ia merasa layak mendapatkan
hak CINTA-nya.
Kekurangan berupa inkonsistensi penyebutan honor Solasfiana sebagai cleaning service sekolah (halaman 275
dan 206) dan beberapa kesalahan tulis (halaman 104, 199, 214, 326) tidaklah
berarti dibanding keapikan novel yang ditulis dengan ringan dan mengalir, serta
mengajarkan banyak hikmah ini.
Siapa pun yang menyimpan pertanyaan tentang “apa itu cinta sebenarnya”
seperti Sofyan (halaman 342) dan perjuangan hidup layak membaca novel ini. Dan
siapa pun yang berniat menulis novel dengan cita rasa khas daerah tertentu,
novel ini layak pula menjadi referensi.
Share :
Cari di Gramedia ahhh
ReplyDeleteSilakan Pak Asep ... sekalian dengan buku saya juga ya .. yang berjudul Agar Dicintai Suami Layaknya Sayyida Khadijah *eh :P *
Delete:D
hehhe selamat ya mak niar... pinjem dong novelnya hihihi... :D
ReplyDeleteMakasih Aida .... tukaran yuk :))
DeleteHanya satu pintaku, ajarain aku menerbitkan buku dong hehe... Wah jadi ama Juragan Mugniar yang eksis tulisannya neh...
ReplyDeleteSalam ukhuwah dari Pulau Dollar
Ikut grup2 menulis, Mas .... salah satu contohnya ada di page blog saya :)
Delete