Manusia bisa berubah. Ya, saya percaya itu.
Karena saya juga mengalami banyak sekali momen yang mengubah pola pikir saya
terhadap banyak hal, terutama sejak aktif ngeblog. Saya merasakan wawasan saya
semakin berkembang. Salah satu yang berubah dari diri saya adalah cara saya
memandang diri saya sendiri – mungkin bisa diartikan dengan “citra diri”. Saya juga
menemukan cara baru untuk meningkatan rasa percaya diri.
Kegiatan menulis dan ngeblog memegang peranan
penting dalam hal ini. Karena jatuh cinta pada dunia menulis maka saya harus
banyak-banyak membaca. Karena saya blogger, maka saya harus blog walking (BW), dari kegiatan BW ini, saya membaca beragam hal dari blog para kawan
blogger.
Sementara itu, di rumah saya harus menghadapi ibu
yang punya pola pikir sendiri tentang "ibu rumah tangga". Beliau minder dengan
kondisi saya yang “hanya” ibu rumah tangga. Ini berulang kali terlihat saat
bertemu dengan orang lain. “Ini Niar, anak saya. Dia cuma ibu rumah tangga padahal
dia sarjana teknik,” begitu beliau memperkenalkan saya walau tak ada yang
mempertanyakan profesi saya. Mendengar ini, tak ada yang saya inginkan kecuali
memiliki mantera menghilang atau jubah yang bisa menyembunyikan wajah saya dari
tatapan kasihan orang-orang. Apalagi jika mereka memperbincangkan saya dengan
menyudutkan dan mengasihani saya begitu rupa, aih sepertinya tak ada orang yang semalang saya di dunia ini.
Wawancara dengan Kompas TV Makassar, membahas tentang IIDN Sumber: akun twitter Kompas TV Makassar |
Bagi Ibu, keberhasilan itu adalah bila setelah
lulus kuliah, seseorang bekerja pada bidangnya, di sebuah perusahaan besar.
Pandangan kebanyakan orang yang bertemu dengannya pun demikian. Jadi wajar saja
bila beliau kemudian minder karena tak bisa menyebutkan profesi yang bagus
untuk saya sementara orang-orang itu menceritakan dengan bangga anak-anak
mereka yang kerja di BUMN A, di perusahaan multi nasional B, atau di departemen
C. Ataukah sukses dengan gelar dokter, jaksa, dosen, atau pengacara. Apa yang
bisa dibanggakan dengan anak yang “hanya” ibu rumah tangga?
Ah,
saya tak hendak menyalahkan ibu saya. Beliau punya pemikiran sendiri. Wajar
bila beliau kecewa karena sudah susah-payah menyekolahkan saya. Tapi saya pun
punya latar belakang dan alasan sendiri yang sama sekali tak terbantahkan hingga
sampai kepada posisi ini.
Apapun itu, saya menyebutnya “takdir”. Takdir
yang membawa saya kepada posisi ini dan takdir pula yang membuat saya harus
menghadapi ibu dengan pola pikir demikian.
Segala puji bagi Allah yang selalu mengilhamkan semangat
belajar dalam diri saya. Saya tak ingin bertahun-tahun larut dalam keterpurukan
karena tak lagi bisa menemukan harga diri dan percaya diri. Saya mencoba bangkit
melalui kegiatan menulis. Alhamdulillah, perlahan-lahan saya menikmati rona
bangga di wajah ibunda ketika ia melihat saya tampil sebagai nara sumber pada
sebuah talk show di stasiun televisi
lokal. Sama ketika ia melihat tulisan-tulisan saya di koran dan majalah, juga
ketika melihat 2 plakat kemenangan pada 2 buah lomba.
Pada kerabat kami, beliau bisa menceritakan
tentang buku yang saya tulis atau tentang acara televisi tempo hari itu. Hanya
sedikit sebenarnya pengalaman saya, tapi melihat reaksinya, sudah merupakan nikmat luar biasa. Panas terik selama bertahun-tahun itu mulai terhapus oleh
rintik-rintik hujan. Rasanya sungguh syahdu.
Pengalaman ini membawa saya kepada sebuah
pemikiran bahwa kelak, anak perempuan saya dan menantu-menantu saya akan berada
di posisi yang sama dengan saya. Pada posisi menentukan apakah mereka akan
bekerja di luar rumah, bekerja dari dalam rumah, ataukah setulusnya menjadi
pendamping suami tanpa penghasilan. Saya sadar, saya harus bijak menghadapinya
ketika masa itu tiba dan menjadi motivator mereka, apapun pilihan mereka selama
itu baik, sejalan dengan perintah Allah, dan tidak mendatangkan mudharat.
Saya sudah belajar banyak dari pengalaman saya.
Sekarang saya harus menata diri dan mempersiapkan anak-anak agar tak mengalami keterpurukan
seperti yang saya rasakan, menumbuhsuburkan kepercayaan diri, dan memotivasi
mereka.
Mutiara ada di dalam diri setiap orang. Adalah
tugas saya membantu mereka menemukan mutiara itu, jika bisa secepat mungkin.
Dan mutiara itu … bukanlah mutiara yang harus mereka persembahkan kepada saya
untuk membahagiakan saya tetapi mutiara untuk kehidupan mereka sendiri. Karena
mereka yang menjalani kehidupan itu dan akan mempertanggungjawabkannya kepada
khalayak dan kepada Sang Maha Pencipta.
Makassar, 19 Oktober 2014
Share :
Tulisannya menyentuh sekali Mbak... siapa sih yang tidak ingin melihat seorang Ibu bangga atas pencapaian prestasi seorang anaknya??... :)
ReplyDeleteTerima kasih apresiasinya, Mas ^^
DeleteTulisan ini merupakan deskirpsi yang jujur dari dalam hati. Benar kata Sam di atas saya di kolom komen di sini. Very touching. Sangat menyentuh. Ungkapan jujur seorang ibu dan itu adalah realita di Indonesia
ReplyDeleteTerima kasih apresiasinya, Pak Asep :)
DeleteMemang masyarakat kita lebih melihat kepada yang umum umum saja sehingga ketika ada sedikit yang berbeda maka mereka terlalu besar kekhawatirannya dan cenderung rendah diri. Pun ketika saya memutuskan menikah ketika baru lulus sekolah dan menikahi wanita yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal, semuanya menentang dan mengkhawatirkan kehidupan kami kelak. Kekhawatiran merekapun terbukti, alhasil kami pun hidup bak gelandangan selama 2 tahun lebih. Namun karena kami bertekat kuat untuk mandiri, kamipun tidak pernah meminta pertolongan dari saudara ataupun orang tua. Kami percaya bahwa kami sebenarnya sudah jauh mencuri start kehidupan daripada teman teman sebaya kami. Dan itu terbukti dengan kondisi ekonomi kami saat ini yang sudah setara bahkan melebihi dari keluarga ataupun kerabat yg jauh lebih tua 10-15 th dari kami yang tentunya dulu mereka sangat menentang pernikahan kami.
ReplyDeleteAlhamdulillah ya Pak Edi. Perjuangan membawa hasil. Semoga berkah berlimpah buat keluarganya
DeleteAnak kadang tidak tune in dengan pola pikir orangtua kok.
ReplyDeleteEmak melarang anak cucu bolak-balik ganti HP, sedangkan kami suka karena terpesona fitur dan termakan gengsi,bukan fungsi
Semoga berjaya dalam GA
Salam hangat dari Surabaya
Sekarang saatnya kita (anak2) belajar menyelaraskan dengan orang tua dengan cara yang elegan ya Pakdhe :)
DeleteTerima kasih kunjungannya .. aamiin
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTulisan ini semakin membuka hati Danwawasan pembaca .inspirasi sekali..
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir Mbak Tri
DeleteTulisannya bener-bener menyentuh mbak :-)
ReplyDeleteTerima kasih apresiasinya ya :)
Deletesegala sesuatu pengalaman hidup kita, sudah selayaknya menajdi pelajaran utk kita dlm mendidik anak2 ya mak..
ReplyDeleteIya Mak Santi. Pengalaman memang guru yang terbaik :)
DeleteSemangat Mak Mugniar, pilihan kita hanya kita yang tahu dan menjalani, jadi kita hanya bisa terus berusaha menjadikan pilihan kita itu adalah yang terbaik untuk kita.
ReplyDeleteTerima kasih Mak atas supportnya. Benar sekali, asalkan kita tahu tanggung jawabnya ya Mak, insya Allah tidak mengapa :)
DeleteBaca tulisan ini jadi ingat Ibuk di kampung Mbak. Ibuku juga punya pola pikir yg sama. Tapi sekarang beliau sudah berubah, apa pun pilihan jalan yang diambil anaknya itulah yang yang terbaik. Gitu mbak. waah jadi kangen Ibuk :)
ReplyDeleteAhamdulillah .. Ibuk juga belajar dari pengalaman, ya Mbak Tatit :)
DeleteHampir sama dengan saya mbak.. pemikiran orangtua dengan anak sering berbeda.. ada dampak positif dan negatifnya memang.. saya juga pernah mengalami terpuruk hingga depresi.. karena melihat sikap mereka.. lalu mencoba bangkit, mengambil sisi positifnya. Saya jadi berkaca dari pengalaman. Kurang lebih sama seperti mbak niar.. memakhlumi orangtua, dan lebih lunak dengan pilihan2 oranglain yang mungkin tidak sejalan dengan pola pikir kita. :)
ReplyDeleteSejalan kita ya Mbak Sarah .... mudah2an kita makin belajar dari pengalaman kita ya :)
DeleteDuhh.. rintik2 hujan yg syahdu terasa sampai kehatiku mbak. Bahagia ya mbak ibu akhirnya bisa menerima pilihan mbak dan pastinya makin bangga sama mbak Niar... :)
ReplyDeleteAlhamdulillah Mbak Muna .... sekali merengkuh dayung sebenarnya. Saya yang butuh me time menemukan cara untuk eksis. Dan alhamdulillah ada buah2nya yang bisa menjadikan saya kompromi dengan Ibu.
DeleteKumenangis membacanya Mbak Niar....ah speechless..
ReplyDeleteTerima kash apresiasinya, Mbak Ety :')
DeleteMenulikan telinga untuk hal2 yg menyakitkan saya. Itulah yg saya lakukan. Bagaimana mungkin sy sempat menanggapi cibiran & nyinyiran spt itu, bahkan saingan (krn dunia blogging pun mulai mengenal kompetisi) jika tiap hari sy sibuk melayani keluarga? Sudah lama sekali sy tidak memperhatikan mom war lagi :D
ReplyDeleteFiyuuuuh ... beginilah kehidupan ya Mak Lusi? :D
DeleteKeren bgt mba tulisannya...
ReplyDeleteKalau ibu saya sampai sekarang msh berharap saya bs kerja, ga hrs kerja d kntr, yg penting bs mandiri... sayang hobi saya menulis blum bs menghasilkan pendapatan tetap hihihi...
Aih pdahal menurut saya sdh menghasilkan lho ngeblognya Mbak Lia. Hm orang tua memang punya pemikiran sendiri ya? :)
DeleteIndah sekali tulisannya, mak :')
ReplyDeleteDulu nenek sy prnah bilang, "Ngapain capek2 UMPTN jd sarjana tapi ga kerja?" Hiks...
Semoga sukses buat GA-nya ya
Padahal banyak hal lain yang diperoleh sebenarnya ya Mak ... banyak yang bisa dipelajari saat kuliah dan barangkali saja bukan untuk kerja kantoran ...
Deleteselalu keren tulisannya. Btw..baru ngerti blognya udah .com
ReplyDeleteMakasih dah mampir ya Mak Arin :)
DeleteTernyata saya tidak sendiri, menghadapi orang tua yg bersikap seperti itu. Smg hati orang tua kita dibukakan oleh Alloh mbak..
ReplyDeleteAamiin .. semoga ya Mbak :)
Deleteasssalamu'alaikum mbak...hampir senada degn ibu saya, dan kebanyakan ibu2 lainnya yg bangga pada anak dari sisi profesi. saya jurusan ekonomi, ibu saya ingin saya jadi pegawai bank..tapi karena saya sadar bhwa saya perempuan yg wajib mengurus rumah tangga stelah menikah, akhirnya saya memilih aktivitas yg tidk menyita waktu banyak diluar rumah...sperti terus belajar menulis sebagai karya saya...ibu kecewa, meski sudah saya jelaskn alasannya. saya juga belum mampu membuktikan apa-apa pada ibu. smoga kedepannya ibu bisa bangga dengan pilihan hidup saya...trims mbak atas pengalamannya
ReplyDelete