Judul: Road to Happiness
Penulis: Asa Mulchias
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Tahun terbit: 2008
Tahun terbit: 2008
ISBN: 978-979-1397-30-8
Ketebalan: 184 halaman
Ukuran: 20 cm x 14,5 cm
Buku yang sangat unik ini dimulai dan diakhiri
dengan serius tapi ditengahi dengan segambreng
humor. Mulanya mengajak pembaca untuk menyikapi kegalauan dengan tepat.
Menilik dari cara bertuturnya yang gaul habis, sasarannya adalah remaja.
Penulis mencoba memberi pemahaman bahwa semua
orang mendapatkan ujian karena hidup itu tidak selamanya indah (halaman 14 –
16). Ujian masing-masing orang berbeda, tergantung kesanggupannya. Beratnya
ujian seseorang berbanding lurus dengan level keimanannya (halaman 19).
Tidak percaya? Mari simak hadits berikut:
Dari Abu Sa’id Al-Khudry ra., dia berkata: “Aku
memasuki tempat Rasulullah saw., dan beliau sedang demam. Lalu kuletakkan
tanganku di badan beliau. Maka aku merasakan panas di tanganku di atas selimut.
Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah alangkah kerasnya sakit ini pada dirimu.’
Beliau berkata, ‘Begitulah kami (para nabi). Cobaan dilipatkan kepada kami dan
pahala juga ditingkatkan bagi kami.’ Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah
yang paling berat cobaannya?’ Beliau menjawab, ‘Para nabi.’ Aku bertanya,
‘Wahai Rasulullah, lalu siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Kemudian orang-orang
salih. Apabila seseorang dari mereka diuji dengan kemiskinan, sampai-sampai
tidak mendapatkan kecuali (tambalan) mantel yang dia himpun. Dan, apabila salah
seorang dari mereka sungguh merasa senang karena cobaan, sebagaimana salah seorang
di antara kamu yang senang karena kemewahan.’” (HR. Ibnu Majah)
Penulis membahas serba-serbi cobaan, termasuk
jenis-jenisnya (halaman 26 – 34) dan bagaimana menghadapinya dengan sabar
(halaman 40), dengan syukur (halaman 44 – 47), berdo’a (halaman 54), optimis
dengan prasangka baik (halaman 57), memperbaiki pola pandang (halaman 59), dan
tertawa (halaman 62).
Hah?
Tertawa?
Iya. Tertawa! Kamu tidak salah baca!
Karena, menurut sebuah penelitian, tertawa dapat
meningkatkan imunitas tubuh terhadap penyakit. Dan berdasarkan penelitian lain
terungkap bahwa orang-orang yang berpenyakit jantung itu pada umumnya kurang
tertawa dan tidak menyukai humor ketimbang orang yang jantungnya baik-baik saja
(halaman 67).
Penulis kemudian membeberkan sederetan fakta tentang
pengaruh tertawa untuk memperkuat pemaparannya tentang pentingnya tertawa bagi
kesehatan (halaman 71) dan berusaha mempengaruhi pembaca untuk tertawa dengan
membaca cerita-cerita humor (fiksi) yang disajikan pada bab 3 dan bab 4 buku
ini.
Bab penutup sungguh keren. Tulisan nonfiksi pada
bab itu berhasil membuat saya menitikkan air mata haru dengan pandangan islaminya
mengenai hikmah-hikmah ujian (halaman 171 - 177) yang dilengkapi dengan
dalil-dalil yang memotivasi. Hikmah-hikmah ujian yang dimaksud adalah: agar
kita kembali ingat kepada Allah, musibah menghapus catatan dosa dan kekhilafan,
menaikkan derajat di hadapan Allah, tiket masuk surga, dan membersihkan hati
dari penyakit.
Sayangnya buku yang memukau ini bagi saya
menimbulkan sedikit ganjalan. Pertama,
terlalu banyak pemakaian istilah gaul ala orang Jakarta di dalamnya. Maaf-maaf
saja, saya merasa tidak nyaman karena itu bukan dialek saya. Sebaiknya buku
yang memiliki peluang didistribusikan hingga ke luar Jakarta ditulis dalam
bahasa yang mudah dicerna oleh seluruh rakyat Indonesia.
Saya heran deh, kenapa buku-buku remaja banyak
yang identik dengan bahasa gaul ala Jakarta? Padahal kan bahasa gaul seperti
itu tidak dipakai di semua daerah? Di daerah saya misalnya, di sini kami tidak
menggunakan bahasa gaul seperti itu. Bagaimana pesannya mau sampai ke banyak
orang kalau bahasa yang digunakan sangat spesifik?
Bukannya mengharamkan penggunaan dialek Jakarta,
tapi ya jangan kebanyakan jugalah. Di samping itu, beredar luasnya buku-buku
yang isinya terlalu banyak mengumbar istilah gaul ala Jakarta bisa mempengaruhi
penulis-penulis daerah untuk juga menggunakan istilah-istilah gaul seperti itu
karena mereka menganggapnya lebih keren. Percaya deh, saya sudah membaca
beberapa karya penulis asal daerah saya yang terpengaruh penulisan seperti itu
dan membacanya sungguh tidak asyik!
Dan menurut seorang pemimpin di sebuah penerbit
nasional yang pernah saya hadiri sesi talkshow-nya
di ajang Makassar International Writers Festival, banyak penulis daerah yang
suka menggunakan dialek Jakarta. Menurut Mbak Gina
S. Noer - nara sumber tersebut, hal itu pun merupakan keprihatinannya. Ia banyak menerima naskah
dari daerah tetapi menggunakan dialek Jakarta. Gina pun mengharapkan penulis
tetap dengan kekhasannya sendiri, termasuk dalam gaya bahasa.
Kedua,
saya tidak menemukan daftar pustaka padahal buku ini banyak menuliskan tentang
hasil penelitian dan juga memuat dalil-dalil aqli
dan naqli. Ketiga, ada sedikit kekurangsempurnaan paragraf (halaman 100, 121,
dan 130). Ada satu paragraf dalam setiap halaman tersebut yang masih harus
diperbaiki cara penulisannya.
Dan keempat, tidak semua cerita humor bisa saya nikmati. Saya
tidak tersenyum sama sekali membaca beberapa di antaranya, malah saya merasa
tidak lucu sama sekali. Tapi bukan salah bukunya eh penulisnya sih, karena selera humor
tiap orang kan berbeda, seperti berbedanya selera makanan tiap orang. Saya
menganggapnya tidak lucu tapi pasti ada orang lain entah di mana yang sampai ngesot karena tak kuat menahan tawanya bila
berdiri saat membaca humor-humor itu.
Namun keempat ganjalan tersebut tidaklah
mengurangi kekerenan buku ini. Karena isi buku
ini sangat bermanfaat dan dalil-dalil yang dikemukakan ampuh dalam mematahkan
kegalauan yang melanda hati dan pikiran manusia yang masih punya hati nurani.
Kenapa hanya yang masih berhati nurani saja yang
kegalauannya bisa dihalau setelah membaca buku ini? Karena bila usai membaca
buku ini, seseorang yang tengah galau tak berubah menjadi lebih baik, berarti
hatinya super gelap. Ia masih harus membaca ulang buku ini dari awal dan
mendatangi psikolog atau psikiater, atau barangkali perlu diruqyah untuk mengembalikan
kemanusiaannya!
Kalau boleh disimpulkan dalam
satu kalimat: “Beneran deh, buku ini tuh
keren banget” (edede kenapa saya yang ikut-ikutan sede’?).
Sayangnya, buku ini sudah tidak dijual lagi di
toko-toko buku. Kalau ada yang berminat, coba hubungi penerbitnya: Indiva Media
Kreasi. Barangkali saja stoknya masih ada karena buku ini saya dapatkan
langsung dari penerbitnya, sebagai hadiah dimuatnya resensi saya di sebuah
media nasional beberapa waktu lalu.
Makassar, 10 November 2014
Tulisan ini
diikutkan Indiva Readers Challenge
Share :
Humor diselip dengan hadits2. Apik, ya.
ReplyDeleteSaya pagi ini sudah senyum, dan tertawa, Mbak. :D
Sehat dan happy selalu ya, Mbak.
Dua bab humornya (fiksi) diapit oleh bab-bab nonfiksi, Idah. Nah hadits-hadits dan dalil2 lainnya ada di bab pembuka dan penutupnya yang ditulis secara nonfiksi :)
DeleteMemang seringkali humor perlu diselipkan dalam kehidupan asal sesuai syar'i. Saya saja merasa perlu bacaan humor biar jidat tidak terlipat terus dengan seabrek aktivitas emak-emak yang tak biasa :D
ReplyDeleteBeli dimana, Bunda?
Penasaran banget nih gue (hahahah sok logat Jakarte nih saya)
Kentara nih Bundanya Salfa speed reading hihihi ... tuh ada di paragraf terakhir:
DeleteSayangnya, buku ini sudah tidak dijual lagi di toko-toko buku. Kalau ada yang berminat, coba hubungi penerbitnya: Indiva Media Kreasi. Barangkali saja stoknya masih ada karena buku ini saya dapatkan langsung dari penerbitnya, sebagai hadiah dimuatnya resensi saya di sebuah media nasional beberapa waktu lalu.
Silakan memesan langsung ya ... di FB kan ada akun dan page penerbitnya :)
Hmmm, buku yang memuat dalil-dalil yang dibahasakan dengan bahasa ringan buat remaja pas banget ya mbak Niar
ReplyDeleteYup ... bahasanya ringan dan selipan humornya di tengah bab menjadikan buku ini sangat unik dan keren, Mbak Ika
DeleteMengaomentari dialek2 itu, dan saya pun termasuk, sehingga terkadang ba bilangika orang ededeh pindahmi monas ka.
ReplyDeleteMgkn menurutku ji sj kak, berdialek kayak Jakarta kok rasanya seperti sdh dialek nasional deh, sehingga kadang2 dialek daerah lain menjadi lucu.
Dialek disini termasuk logat yg sy maksud, cocokmi ka kak?
Tidak setuju Ida ... itu bukan dialek nasional. Kita punya dialek Makassar yang keren tong. Makassar bisa tonji. Kalo menulis mau diselipkan logat2 Makassar keren lho, asal jangan juga di seluruh tulisan hehehe
DeleteSaya lahir dan dibesarkan di DKI Jakarta. Sekarang sudah lebih dari 20 tahun saya merantau di kota Pontianak yang rata rata adalah Bahasa Melayu. Pepatah mengatakan dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung. Saya liat dulu lawan bicara saya siapa. Kalau warga Pontianak pada khususnya, tentu saya akan memakai aksen atau dialek Pontianak.
ReplyDeleteBenar Pak Asep, bagusnya seperti itu
Deletesayangnya alasan pertama tdk disertai contoh kata 'gaul'nya jadi saya juga blm ngerti hehe
ReplyDeleteMisalnya bohon jadi bo'ong, teman jadi temen ... ya kayak di sinetron2 itu. Saya mengharap buku2 remaja bisa lebih mengindonesia karena yang baca juga bisa remaja2 seindonesia. Untuk mencerdaskan orang seindonesia, saya berharap buku2 yang tersebar di toko2 buku bahasanya lebih mengindonesia, lebih menjangkau semua daerah. Alhamdulillah, CEO penerbitnya bilang kalau buku2 terbitannya akan lebih mengindonesia. Buku ini terbitan lama, sih Mas ... tahun 2008.
Delete*bohong* maksudnya
Deleteseru bgt kayaknya baca bukunya mak, memang hati perlu di refresh selalu ya.. :)
ReplyDeleteHehehe seru .. humornya itu khas remaja mungkin jadi saya tidak cocok semuanya. Ada yang malah sudah saya dengar sejak tahun 94 atau 95 :) tapi buat kebanyakan remaja sepertinya cocok karena memang targetnya remaja :)
Deleteunik ya ada fiksi & non fiksinya :)
ReplyDeleteUnik sekali .... saya baru kali ini baca buku unik model begini .. sepertinya cocok buat remaja yang modelnya begini ini supaya tidak bosan baca nonfiksinya. Buku ini banyakan fiksinya ketimbang nonfiksi :)
Delete