“Mama tahu, tidak … demi apa saya tidur siang
tadi?” tanya Athifah beberapa jam setelah bangun dari tidur siangnya, dua hari
yang lalu.
“Tidak,” saya menjawabnya sembari
terbengong-bengong dengan pilihan kata “demi” yang digunakan putri mungil
berusia 8 tahun ini.
“Demi Mama!” ucapnya semringah.
Owh
… manis sekali tapi ini
sebuah kesalahan yang harus diperbaiki sesegera mungkin.
Saya tersenyum dan mengatakan kepadanya, “Sini
Mama tanya. Kalau Athifah bangun segar untuk belajar dan bisa sehat karena
tidurnya cukup. Yang sehat dan nanti senang karena nilainya bisa bagus itu Mama
atau Athifah?”
“Saya.”
“Bukan Mama, kan? Nah, berarti Athifah kalau
tidur siang itu untuk Athifah sendiri ya. Untuk kebaikan Athifah. Bukannya
untuk Mama.”
Athifah mengangguk.
Saat usianya 5 tahun |
Athifah tumbuh menjadi gadis kecil yang ekspresif
dan extrovert. Sangat berbeda dengan
saya. Saya saat seumuran dengannya adalah seorang gadis kecil yang kesulitan
berekspresi dan amat introvert. Sifat-sifat
yang dimiliki Athifah ini merupakan sifat bawaannya sejak lahir. Sepertinya
menurun dari ibu saya yang juga ekspresif dan extrovert.
Saya mengajari anak-anak untuk meminta maaf di
usia yang sedini mungkin, sejak mereka mengerti tentang rasa bersalah dan
kesalahan yang dilakukan. Tetapi si sulung Affiq dan Athifah berbeda. Athifah
lebih legowo dalam menerima
kesalahan. Affiq cenderung jaim. Sejak
berusia balita, Athifah mau mengakui kesalahannya. Dengan berurai air mata,
sembari terisak-isak dia mengatakan, “Maaf, Mama.”
Sepintas lalu mungkin terlihat sebagai sebuah
kehebatan dalam pola pendidikan terhadap Athifah. Padahal tidak demikian.
Kebesaran hatinya, ekspresifnya, dan extrovert-nya
– sekali lagi adalah sifat bawaan yang dibawanya sejak lahir. Tugas saya adalah
mengarahkannya di track yang benar.
Bila suatu saat dia berlebihan dalam mengaktualisasikan diri melalui
sifat-sifat itu, saya harus segera bertindak, mengembalikannya ke jalur yang
benar.
Saya bersyukur, di usia ini Athifah mampu
mengutarakan apa yang ada di pikiran dan hatinya. Seperti ketika dia digoda
oleh seorang kerabat berulang kali bahwa ayam kesayangannya hendak dipotong,
dia berani menyuarakan rasa tidak sukanya. Karena beberapa kali perkataan “saya
tidak suka”-nya tak digubris oleh tantenya, Athifah berteriak dan menangis.
Keras sekali. “TANTE. SAYA TIDAK SUKA DIKASIH BEGITU. SAYA
SUDAH BILANG BERKALI-KALI TAPI TANTE TERUS-TERUSAN GANGGU SAYA. SAYA TIDAK SUKA!!!”
Jujur, saya senang mendengarnya. Saya tersenyum
dalam hati mendengar keterusterangan Athifah. Menurut saya tak baik menggoda
terus seorang anak yang sudah menyatakan ketidaksukaannya dengan menjadikannya
sebagai bahan candaan. Itu bully.
Sekaligus mengajari si anak untuk bersenang-senang di atas penderitaan orang
lain. Bercanda itu adalah ketika yang orang lain sama-sama merasa senang,
bukannya merasa dianiaya. Yang dilakukan kerabat kami itu kesalahan besar.
Tapi saya harus menegur keras Athifah karena
caranya mengungkapkan perasaan salah. Walaupun dia benar, dia tak boleh
berteriak sekeras itu kepada tantenya. Kepadanya saya katakan, “Tidak suka
boleh. Marah, boleh. Tapi tidak boleh teriak. Katakan baik-baik!”
Well,
begitu menjadi ibu ternyata saya tidak pernah boleh
berhenti belajar. Setiap hari ada saja bahan pembelajaran yang saya terima dari
Athifah, juga dari kedua bocah lelaki saya. Mempelajari satu sisi Athifah yang
saya tulis di sini saja membutuhkan waktu bagi saya untuk merenung dan
mencermatinya sebaik mungkin.
Makassar, 3 Desember 2014
Share :
Athifah sama seperti saya, hehehe. Hanya saja, sekarang saya malah kesulitan berekspresi. Kata2 yg saya keluarkan saya pikir2 lagi biar tidak menyinggung lawan bicara saya. Akhirnya sekarang saya cenderung menjadi pendengar dan pembaca.. Kadang kangen juga dengan sosok saya yg dulu extrovet luar biasa.
ReplyDeleteAthifah pintar jadi anak sholihah yaa
ReplyDeleteWah Athifah pintar ya mengutarakan maksud.
ReplyDeleteMak, sy kira td artikel ini review buku ttg seorang anak yg ekspresif loh heheh tnyt Athifah..
masya Allah athifah... :)
ReplyDeletesuka saat anak terbuka mengatakan perasaannya..tapi memang bunda harus selalu mengingatkan dgn lembut ya mb.. Athifah & budanya yang bijak :) *salam sayang
ReplyDeletejd bayangin waktu kak athifah bilang "maaf mama", keren kk athifah plus bundanya jg donk : )
ReplyDeletehuwaaa.. aku suka becandain ponakan kalo dia lg serius nonton Bunda, hehe.. kalo itu bully semoga sy gak ngulanginnya lagi hehe
ReplyDeleteSifat bawaan Athifah sudah bagus..tinggal diarahkan sj, tugas masih menanti ya mak Niar..
ReplyDeleteTerimaakasih sdh berbagi cerita utk meramaikan GA saya...selalu gemes baca ttg Athifah..
Betul mak Niar, setiap anak lahir dengan membawa kecenderungan masing-masing, unik.
ReplyDeleteTugas orangtua mengarahkan agar kecenderungan itu sehingga bisa bermanfaat dan berada pada jalan yang benar.
Salam sayang untuk Athifah yang cerdas :)