Judul:
Giliran Petruk Jadi Presiden
Penulis:
Guskar Suryatmojo
Penerbit:
Halaman Moeka Publishing
Tahun
terbit: 2014 (cetakan ke-2, April)
ISBN:
978-602-26907-0-2
Ketebalan:
208 + x halaman
Ukuran:
20 cm x 14 cm
Bukanlah
hal mudah bagi saya untuk membaca cerita pewayangan walaupun sejak kecil sudah
tahu tentang wayang sebagai budaya Jawa. Sejak kecil saya melihat acara Ria
Jenaka di TVRI (tahun 1980-an) yang menampilkan tokoh-tokoh Gareng, Petruk, Bagong,
dan Semar, pernah pula beberapa kali nonton film India “Mahabharata” di TPI (tayang
tahun 1990-an), dan juga beberapa kali nonton penggalan-penggalan cerita wayang
di TV. Tetapi saya sulit mengingat nama dan watak para tokoh pewayangan
sehingga sulit bagi saya menelaah cerita, dikaitkan dengan karakter, dan pesan
yang hendak disampaikan.
Tetapi
buku ini membuat cerita-cerita wayang menjadi lebih mudah untuk dicerna. Karena
mengadaptasinya dengan situasi dan kondisi politik saat ini. Buku ini disusun
sebagai kumpulan cerita yang terdiri atas 41 cerita wayang. Tiap cerita
mengandung satu sesi pendek yang fokus, memuat pesan khusus yang ingin
disampaikan penulisnya.
Sebagian
besar cerita berlatar belakang perang besar – Bharatayudha antara dua klan yang
masih bersaudara: Pandawa dan Kurawa. Ada pula kisah yang terjadi jauh sebelum
Pandawa dan Kurawa lahir, seperti kisah kesetiaan Sawitri yang mengejar nyawa
suaminya – Bambang Setiawan yang dibawa oleh dewa pencabut nyawa – Sanghyang Yamadipati.
Sang dewa akhirnya luluh karena Sawitri rela mengikutinya hingga melintasi
neraka dan kemudian jatuh pingsan (halaman 37).
Cerita
yang disuguhkan menjadi terasa “lebih dekat” dengan kehidupan sekarang karena
adanya “unsur-unsur kekinian” yang dimasukkan penulis ke dalam cerita. Semisal Petruk
yang mengenakan ransel mengemudikan motor bututnya. Ia menyaksikan kerumunan
manusia yang tengah berdemonstrasi menuntut presiden yang tengah berkuasa agar lengser (halaman 2). Atau cerita tentang
Kicaka yang jatuh cinta pada Drupadi yang sedang menyamar sebagai Sairandri – pelayan
permaisuri negeri Wirata, menyelipkan TV sebagai tontonannya ketika sedang
menayangkan pernikahan agung pangeran William dan Caterine Middleton (halaman
105) sembari mengkhayalkan pernikannya dengan Sairandri. Ada pula penyelipan
istilah telik sandi (halaman 14) dan Facebook (halaman 21).
Berbagai
situasi politik terselip dalam cerita-cerita di buku ini. Beberapa kecurangan
dalam pertempuran dan dalam perebutan kekuasaan menjadi rona tersendiri.
Dikisahkan Bima menyerang Duryudona pada bagian bawah perutnya padahal itu
terlarang dalam aturan perang, bagaimana Karna dibunuh ketika sedang
memperbaiki roda keretanya yang terperosok di lumpur Padang Kurusetra, juga
tentang Karna yang ikut-ikutan mengeroyok Abimanyu – putra Arjuna hingga tewas
(halaman 33 dan 86).
Namun,
kata hati nurani menjadi konflik tersendiri. Seperti ketika Mahaguru Kripa tak
setuju rencana Aswatama membunuh musuh yang sedang tak berdaya: “Hus, ora ilok, Aswatama. Itu bukan cara
ksatria dalam peperangan.” (halaman 32). Dan ketika Kresna menyuruh Arjuna
membunuh Karna yang tengah lengah ketika sedang memperbaiki roda keretanya yang
terperosok – Arjuna sempat menolak, “Tidak kakang, perbuatan itu melanggar kode
etik pertempuran ksatria!” (halaman 86).
Tokoh
Sengkuni cukup banyak diceritakan dalam buku ini. Wataknya yang licik patut
menjadi contoh sosok yang tak baik untuk diteladani. Sejatinya Sengkuni
mengkhianati kepercayaam Duryudona kepadanya, dengan mempermainkan informasi
yang dia berikan seenak perutnya. Sepak terjangnya tidak mudah terendus namun
bisa dirasakan. Tak heran jika pedang
hukum tak bisa menyentuhnya, orang lain yang dikorbankan (halaman vii).
Tokoh
Karna adalah contoh pribadi yang patut ditiru. Nasib baik yang membuatnya
berubah posisi, dari rakyat jelata (dalam buku ini diceritakan sebagai anak
angkat seorang kusir) hingga menjadi adipati pada sebuah kerajaan kecil di
bawah Hastinapura karena keistimewaannya dihargai oleh Duryudona – raja Hastinapura.
Walau
akhirnya mengetahui Kunti adalah ibu kandungnya, Karna tetap hormat dan
menyayangi adik-adiknya yang berada di pihak lawan. Tetapi jiwa ksatria membuatnya
memilih berada di pihak Kurawa dan berjuang membela kehormatan kerajaan hingga
titik darah penghabisan. Tetapi ia tak mengabaikan saudara-saudaranya begitu
saja. Restu ibunda dipintanya (halaman 81) dan ia menebus kecintaan kepada
saudara-saudaranya dengan satu cara yang sangat elegan. Bagaimana cara yang
elegan itu bisa dibaca dalam buku ini.
Lalu,
ada apa dengan Petruk yang namanya dijadikan judul buku ini? Judul buku ini
adalah judul dari cerita pertama buku ini. Berasal dari lakon Petruk Dadi Ratu, penulis
mengadaptasinya menjadi kisah Giliran Petruk Jadi Presiden (halaman 1).
Petruk
yang hanya seorang punakawan dari klan Pandawa ini mendadak menjadi sakti
mandraguna berkat jimat Jamus Kalimasada yang diberikan oleh Bambang Priyambada
padanya. Hal ini mengantarkannya kepada nasib baik: menjadi presiden di
Republik Suralaya.
Pada
awal masa pemerintahan hingga pertengahan masa pemerintahannya, Petruk berjaya.
Korupsi berhasil diberantas. Negeri Suralaya berhasil surplus pangan. Rakyat
bahagia. Namun suatu ketika jimat terebut diminta kembali oleh Bathara Kresna.
Pamor Petruk surut. Apa yang terjadi kemudian, dituturkan dengan amat menarik
oleh penulis – sekali lagi, dengan mengadaptasi sikon saat ini.
***
Membaca
buku ini, bukan untuk dikritik pesan moral melalui istilah “jimat” atau “memohon
kepada dewa”. Tentu saja itu tak cocok dengan agama yang saya anut. Tetapi membaca
kekuatan karakter dan pesan kehidupan di dalamnya, menjadi amat menarik untuk
direnungkan ataupun ditertawakan. Barangkali saja, kita bahkan bisa menertawakan
diri sendiri karena menemukan kemiripan di dalamnya. Selain itu, pelajaran
politik dan kehidupan secara luas bisa dicermati. Kalau ada manfaat, baiknya
diambil. Kalau ada cerita tentang kesalahan, baiknya jangan ditiru. Itu yang
saya kagumi dari buku ini dan cerita-cerita wayang.
Hanya
satu yang saya sayangkan. Saya kesulitan mencerna baik-baik semua
nama dan karakter tokoh-tokohnya. Karena nama-namanya bukanlah nama-nama yang
familiar di benak saya lantaran beda budaya. Beberapa kali saya harus
membolak-balik lembaran buku ini untuk menyegarkan kembali ingatan saya,
siapakah tokoh yang dimaksud atau bagaimana karakter tokoh itu.
Bila
buku ini dicetak ulang, sebaiknya penulis menambahkan semacam indeks nama-nama
tokoh di bagian belakang buku ini berikut karakter dan gambaran identitas
lainnya supaya setiap pembaca yang awam budaya Jawa macam saya ini kebingungan,
cukup mencarinya di halaman belakang agar tercerahkan kembali sehingga bisa mengucapkan,
“Oooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooh ..... yang itu toh!”
Makassar, 3 Januari 2015
Tulisan
ini diikutkan Indiva Readers Challenge
Catatan:
Penulis bisa dihubungi melalui kyaine2010@gmail.com. Silakan pula meluncur ke blognya di www.padeblogan.com dan www.guskar.com
Catatan:
Penulis bisa dihubungi melalui kyaine2010@gmail.com. Silakan pula meluncur ke blognya di www.padeblogan.com dan www.guskar.com
Share :
#Ferdias Bookelmann
ReplyDeleteYang menarik adalah Jamus Kalimasada mak, meski arti sebenarnya mustika dewi Kali, namun dulu saat penyebaran agama islam di Jawa, Jamus Kalimasada dikaitkan dengan Kalimat Syahadat.
Ini menarik, kalo dengan berpegang dengan dua kalimat syahadat, seorang petruk bisa sukses jadi ratu.
Zaman dulu hal ini dijadikan cara untuk memasukkan dakwah Islam ya Mak. Jadinya bisa lebih masuk kepada masyarakat bawah
DeleteHihihi menarik nih reviewnya mak, penasaran dan jadinya pengen baca versi lengkapnya
ReplyDeleteSilakan hubungi penulisnya, Mak :)
DeleteSejak SENGKUNI dipopulerkan oleh terdakwa kasus Hambalang, saya kini kayaknya sudah harus buka buka buku lagi tentang Perwayangan di Indonesia. Malu juga soalnya kalau NOL sama sekali.
ReplyDeletePernah suatu ketika saya dijuluki oleh kawan saya. Kawan saya menjuluki saya dengan KUMBOKARNO. Saya waktu itu anggap enteng aja, Ah paling juga sebutan aja Tapi ternyata nama KUMBOKARNO itu ada dalam pewayangan. Tokoh KUMBOKARNO ini rupanya diriwayatkan hobinya TIDUR. Walaaaalallalaa memang waktu itu saya hobinya Tidur
Oooh hahahaha .... jadinya tidak enak juga ya Pak Asep. Karakter2 tokoh2 wayang, menarik untuk disimak ternyata ya. Bisa pula dipakai meledek orang :)
DeleteAku jg termasuk yg awam dengan cerita pewayangan. Tapi tentu saja selalu penasaran dengan warisan budaya ini. Banyak nama yg tak familiar juga... Kalau ingin berkenalan dengan cerita pewayangan utk awam, kira2 ada buku yg cocok tidak ,ya?
ReplyDeleteNah ini cocok Mak, langsung saja ke penulisnya :)
Deletekadang saya mikir, kok bisa ya orang bikin suatu alihan situasi masa kini pada dunia wayang. kayaknya patut diacungi jempul, karena imajinasinya memang sangar dan memang mempu menembus batas waktu. seperti dagelan politik ala wayang masa kini. kan susah mas bikin cerita petruk kalau jadi presiden. masalahnya referensi dalam dunia pewayangan india, tidak ada petruk garengnya. salute dan kayaknya patut di baca.
ReplyDeleteIya Mbah .... itu membuat buku ini jadi terasa lebih dekat dengan kita karena settingnya dibikin saat ini tapi latar belakangnya masih cerita wayang aslinya, yang sebagian besar perang Baharatayudha. Silakan menghubungi penulisnya, Mbah :)
DeletemBak Niar, terima kasih atas referensi buku GPJP.
ReplyDeleteMemang sih, GPJP masih terlalu 'njawani' sehingga istilah2 Jawa dlm buku tsb akan menjadi awam bagi pembaca yang nggak mudeng bahasa Jawa.
Buku GPJP yang mBak Niar baca adalah cetakan kedua, jika cetakan kedua stoknya habis dan masih ada pembaca yang memesan GPJP, pada cetakan ketiga akan saya revisi dengan masukan2 dari mBak Niar.
Salam.
Untungnya saya punya banyak teman orang Jawa di grup2 yang saya ikuti, Gus. Malah ada di antara mereka yang menyapa saya dengan Bahasa Jawa :)
DeleteKalo istilah bahasa Jawa di buku ini, ada yang saya paham (seperti yang saya tuliskan di atas itu: "ora ilok" dst) ada pula beberapa yang tidak.
Terima kasih banyak perhatiannya atas resensi saya Gus :)