Lanjutan dari tulisan sebelumnya
Urusan rumah tangga belum benar-benar
beres ketika saya harus berangkat menuju kantor BaKTI (Bursa Pengetahuan
Kawasan Timur Indonesia) pada 30 April lalu, untuk menjadi salah satu nara sumber pada Diskusi
Inspirasi bertajuk Merawat Semangat Perjuangan Perempuan. Untungnya suami saya orangnya
kooperatif, untuk urusan rumah tangga saat itu – urusan gas yang habis, ia
bersedia menanganinya, demikian pula urusan anak-anak.
Saya tiba menjelang pukul 3 siang.
Sudah ada Kak Luna Vidya – sang moderator dan Ariel – personil boy band Nudi (alumni X Factor 1). Ariel
yang juga putra Kak Luna ini sering menjadi penyanyi pada acara-acara yang
diselenggarakan oleh BaKTI akan menjadi penyanyi ... hm ... apa namanya ya ...
pengiring? Atau bintang tamu? Well ... Pokoknya
Ariel akan menjadi menjadi salah satu pengisi acara juga di Diskusi Inspirasi
ini.
Nyaris bersamaan dengan saya, datang
seorang peserta diskusi – Ibu Sofia namanya dan seorang perempuan sederhana berjilbab hitam
yang ternyata Tante No (Ibu Nurhawang). Mereka orang-orang yang ramah. Ketika
bertatapan mata, kami saling melempar senyum. Abby Onety – kawan dari IIDN
Makassar datang tak lama kemudian. Setelah itu, Puang Anja masuk ke ruangan.
Suasana langsung menjadi hidup. Tante No dan Puang Anja adalah dua nara sumber
pada diskusi ini selain saya. Dari segi usia dan pengalaman hidup, mereka sudah
sangat jauh “mumpuni”-nya dibandingkan saya (bio data keduanya bisa dibaca di sini).
Lagi coba-coba Instant Infographic,di : http://marketplace.ciptakreasiindomedia.com/produk-anda/instant-infographics/?aff=14 |
Puang Anja adalah seorang perempuan
yang enerjik. Selain ramah, ia suka berbagi cerita. Ia senantiasa menyapa dan
bercanda dengan orang-orang yang masuk kemudian di ruangan itu. Tante No
sendiri lebih banyak diam, hanya sesekali menimpali ketika namanya disebut oleh
Puang Anja. Mereka berdua sudah saling kenal sejak lama, sejak tahun 1990-an.
Mereka sama-sama berjuang untuk hak-hak perempuan dan kalangan tak mampu.
Puang Anja mengatakan, “Kalau mau
jadi anggota DPR harusnya punya tujuan. ‘Apa maumu’, jangan asal mau jadi
anggota dewan yang terhormat saja. Jadilah anggota DPR yang selalu belajar.”
Puang Anja menikah di usia yang
sangat muda, masih 17 tahun. Ia adalah sosok perempuan pembelajar yang tangguh.
Di usianya yang 59 tahun kini, di samping masih aktif memperjuangkan
kepentingan perempuan dan konstituennya yang miskin, ia juga kerap diundang
menjadi nara sumber untuk memberikan pengetahuan dan pandangannya mengenai
hal-hal yang responsif gender.
“Ini mi begini suaraku. Sudah empat hari saya jadi nara sumber, bicara
di mana-mana,” ucap Puang Anja sembari memegang lehernya. Suara Puang Anja
memang terdengar agak parau – efek menjadi pembicara selama 4 hari. Namun ia
masih bersemangat berbagi di acara BaKTI hari ini.
Sebelum acara dimulai, saya sempat
mencatat hal-hal menarik yang dibagi Puang Anja. Ia menceritakan bagaimana
caranya belajar ketika baru mulai beraktivitas dalam dunia pemberdayaan
perempuan. Bila sedang naik pete’-pete’ (angkot) di Kota Pare-Pare dan melihat
ada spanduk bertuliskan “Sosialisasi Bla Bla” – maksudnya sosialisasi
pemerintah kepada masyarakat dalam bidang-bidang tertentu (misalnya kesehatan,
pendidikan, atau sosial), ia langsung turun dan masuk menjadi peserta tanpa
diundang. Niatnya hanya satu: ingin
belajar.
Ia tak memedulikan kemarahan aparat
pemerintah di acara itu. Jika ada yang mengatakan, “Siapa ibu ini, kenapa
datang tanpa diundang?!” maka dengan berani ia mendebat mereka dengan bekal
Bahasa Indonesianya yang baik (berbeda dengan kebanyakan perempuan di kampung
yang takut malu-malu, dan Bahasa Indonesianya tidak begitu bagus dalam
berpendapat). “Yang namanya sosialisasi itu kan gratis untuk rakyat. Saya
bagian dari rakyat dan saya mau mengikuti sosialisasi ini!” ... tidak tepat
seperti itu, tapi kira-kira begitulah yang disampaikannya hingga tak ada lagi
yang berani mengusirnya. Begitulah Puang Anja, tak ada kamus takut atau
malu-malu dalam dirinya, untuk belajar. Bukan hanya itu, ia pun berani
mengkritik jika ada hal-hal yang tak sesuai logika ditemuinya dalam sosialisasi
yang dihadirinya.
Eksistensi Puang Anja kini tak lepas
dari peran ibundanya. Ibunya yang pendidikan akhirnya sekolah dasar,
mendorongnya untuk menjadi anggota dewan. Ketika melihat putrinya ikut
berdemonstrasi dengan turun ke jalan, sang ibu bertanya, “Apa maumu?” Tanpa ragu
Puang Anja menjawab, “Saya mau perempuan mandiri!”
“Kalau begitu, jadilah anggota DPR!”
tandas ibundanya. Menurut ibunya, Puang Anja takkan dapat mewujudkan
cita-citanya kalau hanya cuap-cuap. Puang Anja harus menjadi bagian dari pengubah, yaitu sebagai
bagian dari penentu kebijakan.
Aih, Puang
Anja, saya suka style ta’.
Makassar, 7
Mei 2015
Bersambung
Share :
menarik...
ReplyDeletegimn caranya ya tulisan ini bisa di baca oleh puang Anja?
ReplyDelete