Lanjutan dari tulisan sebelumnya (tulisan ini tulisan ke-5)
Rasanya
masih ingin cerita banyak hal, tapi mikrofon sudah harus saya berikan kepada
Puang Anja. Puang Anja menceritakan tentang bagaimana mulanya ia menjadi
aktivis. Menjelang usia 20 tahun pernikahannya, ia dikagetkan dengan kedatangan
ibu mertua sang suami ke rumahnya. Ibu mertua? Ibu dari ... yup, ibu dari perempuan lain. Ibu dari
madunya!
Bagaikan
disambar petir di siang bolong rasanya. Namun Puang Anja menata hatinya,
menunggu suaminya bangun dari tidur siangnya dan memberitahukan baik-baik
mengenai kedatangan tamu yang tak diundang itu.
Puang
Anja tak tinggal diam. Ia mencoba memperjuangkan haknya. Ia merasa rumah
tangganya selama ini baik-baik saja. Rumah tangga yang bahagia dengan 4 anak.
Tak pernah ada pertengkaran namun tiba-tiba saja ia harus berbagi.
Ibunda
yang ditempatinya mengadu hanya berkata, “Itu biasa, Nak. Terima saja.”
Foto: Abby Onety |
Biasa?
Iya, hal itu biasa dalam adat Bugis. Mendengar ini barulah saya mengerti mengenai
kodrat yang dibentuk oleh budaya. Sebagai laki-laki bangsawan yang kedudukan “kebangsawanannya”
lebih tinggi daripada Puang Anja, suaminya berhak kawin lagi. Jadi, ukurannya
adalah “status sosial”.
Puang
Anja melaporkan suaminya ke kepolisian. Ia meminta surat nikah suaminya dengan istri
keduanya diusut. Kalau di surat nikah itu tertulis statusnya sebagai “duda”
maka surat nikah itu palsu karena Puang Anja – istri pertamanya masih hidup.
Suaminya PNS, jadi ia bisa saja menuntutnya dengan cara demikian.
Namun
akhirnya Puang Anja mengalah ketika anaknya terlihat tak rela dengan proses
hukum yang tengah dialami orang tuanya. Demi anak-anaknya, ia rela mengalah.
Tak apalah ia dimadu asalkan kebutuhan anak-anaknya tetap terpenuhi. Untuk
melipur lara dan berkehidupan yang lebih baik, Puang Anja merantau dari Wajo ke
Pare-Pare. Di Pare-Pare ia belajar banyak. Dari ibu rumah tangga biasa yang
sehari-harinya diantar sopir pribadi ke mana-mana, ia mulai naik angkot, ia
belajar tentang pemberdayaan perempuan, menjadi aktivis, kemudian anggota DPRD.
Misinya adalah: membawa pesan bahwa perempuan harus kuat
secara ekonomi.
Puang
Anja adalah potret perempuan pembelajar yang berdedikasi tinggi. Reses baginya
adalah tiap hari. Dua puluh empat jam pintunya terbuka untuk warga (konstituennya) yang
membutuhkannya. Kalau ada yang melapor belum mendapatkan bantuan, ia langsung
menguruskannya. Tak heran kalau semua konstituennya mendapatkan bantuan. Puang
Anja rajin mengikuti rapat di Banggar (Badan Anggaran), menganalisis anggaran
dengan seksama dan kritis, mengawal anggaran dari Banggar sampai ke Komisi,
mencari tahu di bagian mana di pemerintahan (kementerian) ada bantuan bagi
warga miskin, dan mengupayakan bantuan itu sampai kepada konstituennya.
Ia juga
menceritakan bagaimana pola hubungan yang ia bangun selama ini dengan SKPD dan
anggota dewan lainnya. Satu hal yang selalu diperhatikan Puang Anja dalam
menganalisis anggaran, yaitu: ada
anggaran untuk perempuan. Ia juga memperhatikan apakah program yang akan
diluncurkan itu responsif gender atau
tidak.
Diskusi
ini menarik sekali. Kebanyakan peserta bertanya kepada Puang Anja. Namun
moderatornya – Kak Luna, dengan cergas tak membiarkan saya dan Tante No terlalu
lama bengong. Ada saja idenya untuk membuat kami juga berbicara.
Sumber: Abby Onety |
Ketika
ditanyakan mengenai kesulitan apa yang dirasakannya ketika memperjuangkan
perempuan, Tante No bercerita tentang perempuan yang suaminya berhasil
dijebloskan ke penjara karena melakukan KDRT.
“Dia
datang dengan muka babak belur, minta dibantu. Begitu suaminya masuk penjara,
baru satu minggu dia datang menangis-menangis. Katanya, ‘Kasihan anakku, Tante
No, ndak ada bapaknya. Kasih keluar mi bapaknya.’ Saya bilang, ‘Ah bukan
anakmu, Kamu yang kasihan!’ Jadi saya menghadap ke polisi. Polisinya bilang, ‘Ah,
bukan anaknya itu Tante No. Mamanya ji yang menangis!’ Lain kali jangan moko bawa orang ke sini kalo begini ji, deh Tante No!” paparan Tante No
membuat seisi ruangan tertawa.
Susah
ya, untuk membuat efek jera seperti ini saja rupanya tidak selalu mudah. Tak
semua perempuan ingin dibantu.
Sifaun
Nisa – mahasiswi yang bergabung dengan IIDN Makassar bertanya mengenai
bagaimana menghadapi kritik terhadap tulisan yang dibuatnya. Tulisan itu
dianggap “terlalu keras”. Saya menjawab, “Pegangan kita adalah nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat dan karakter kita. Periksa apakah ada orang yang dirugikan/disakiti atau tidak. Saya sebenarnya orang yang takut
berkonflik dengan orang lain tapi kadang-kadang saya mengkritik kalau saya
menganggap ada hal yang harus saya suarakan.”
Tante No (tengah, berjilbab hitam). Puang Anja, paling kanan (berjilbab oranye) Foto: Abby Onety |
Menjelang
penghujung diskusi, saya menghimbau siapa pun untuk menulis menyebarkan
manfaat. Tak usah muluk-muluk, di media sosial saja. Menulis pun sebenarnya
bisa jadi solusi dalam memecahkan persoalan. Saya pernah mengalaminya. Seorang
mahasiswa juga pernah mengalaminya. Mahasiswa itu mengirim surat langsung
kepada bupati Gowa mengenai kemelut yang tengah berlangsung di sebuah pasar
tempat ayahnya berdagang. Alhasil, ada penyelesaian dan ayahnya mendapatkan
kios di sana padahal mahasiswa itu tak punya koneksi sama sekali, juga tak
berkerabat dengan bupati. Ia sendiri yang datang langsung ke kantor bupati
memberikan suratnya.
Mudah-mudahan
saja, setelah ini, para peserta yang hadir tak ada lagi mengatakan, “Menulis
ji? Bisa apa sih, dengan menulis?” karena saya sudah sedikit bercerita dan
membuktikan bahwa dengan menulis, perempuan juga bisa memberdayakan diri dari
rumahnya. Menulis sebenarnya mudah, tak butuh bakat. Yang penting mau berusaha mengasah diri. Menulis itu keterampilan yang bisa dilatih. Kalau Puang Anja dan Tante No berjuang di luar rumahnya,
mudah-mudahan dengan ini saya bisa membuktikan kalau perempuan pun bisa
berjuang dari dalam rumahnya, dengan menulis ... seperti yang dilakukan
Kartini.
Makassar, 8 Mei 2015
Terima
kasih sebesar-besarnya kepada BaKTI, telah memberikan kesempatan kepada saya
untuk bercerita pada Peringatan Hari Kartini bertajuk Merawat Semangat
Perjuangan Perempuan pada tanggal 30 April lalu.
Selesai
Share :
Jiiiiahahaaa... aku di peyuk Puang Anja, asyikkk'eee . moga ketularan inspirasix
ReplyDeletenyimak dulu mba :)
ReplyDelete.jangan sedih perempuan banyak masalah :)
ReplyDelete