Tanggal
3 Mei lalu saya menghadiri Pre Event MIWF bertajuk Writing and Activism. Ada 3
aktivis perbukuan yang hadir, yaitu: Anwar Jimpe Rahman (Jimpe, dari Kampung
Buku), Zulkhaer Burhan (Bobby, dari Kedai Buku Jenny), dan M. Ilham (dari Rumah
Baca Philosophia). Ketiga tempat baca yang digawangi ketiga orang ini aktif
dalam “pergerakan aktivisme” di Makassar.
Abdi,
sang moderator mengatakan, yang disebut aktivisme (activism) adalah gerakan mengajak orang-orang untuk mengubah
perilaku terhadap sesuatu. Kalau demonstrasi di jalan merupakan suatu bentuk
aktivisme yang bisa berakibat fatal maka kepenulisan adalah aktivisme damai.
Dan, semua aktivisme adalah politik.
Setelah
moderator membuka acara, ketiga nara sumber menceritakan kegiatan mereka.
Jimpe
menceritakan proses yang dilakukan Ininnawa – Kampung Buku yang sudah berusia 11
tahun. Bukan hanya menyediakan perpustakaan, Ininnawa juga aktif mendampingi dan
memfasilitasi masyarakat dalam gerakan-gerakan positif. Selain itu juga
berkonsentrasi di penerbitan buku-buku yang membahas kebudayaan Sulawesi
Selatan. Atas nama label Ininnawa,
hingga saat ini sudah ada 30 – 40-an judul buku yang diterbitkan. Di luar label Ininnawa, sebenarnya sudah banyak
yang difasilitasi pengurusan ISBN-nya.
Ada 3
judul buku yang laris manis, dari Ininnawa: Warisan Arung Palakka, Perkawinan
Bugis, dan Assikalabineng. Judul terakhir itu, bahkan Gramedia pernah berani
membeli 500 eksemplar secara kontan.
Ininnawa
juga menjembatani teks-teks tentang Bugis/Makassar yang ditulis orang-orang
asing. Selain itu, di-launching pula
situs Makassar Nol Kilo Meter. Situs ini, disebut oleh Jimpe sebagai “mencoba
bekerja secara anarkis”. Anarkis di sini maksudnya: semua sama-sama
kedudukannya, sama-sama guru dan sama-sama murid (tapi saya suka menyebut Jimpe
sebagai “pak guru” karena ia salah satu guru menulis saya, mungkin ia risih ya
kalau saya sebut dengan sebutan “pak guru” J). Oya, di situs ini, tak ada yang bertindak
sebagai pemodal, lho.
Ininnawa
adalah sumber inspirasi berdirinya Rumah Baca Philosophia. Filosofi hadirnya,
berangkat dari tataran religius, bahwa amalan orang yang meninggal terputus
kecuali tiga hal, salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Rumah Baca
Philosophia sekarang punya 5.000 judul buku, didominasi oleh buku sastra dan
buku anak. Rumah Baca Philosophia aktif menyelenggarakan diskusi, bedah buku,
dan bedah film.
Bobby
menceritakan terbentuknya Kedai Buku Jenny. Saat ia masih kuliah di Yogya, ia
punya hobi mengunjungi pertunjukan musik. Di situlah ia bertemu grup band
Jenny. Bobby sangat terkesan karena grup tersebut melakukan hal yang jauh lebih
besar dari sekadar bermusik. Setiap habis tampil, mereka ke angkringan. Di sana
mereka berdiskusi, di antaranya berbincang tentang kesetaraan. Ide nama “Kedai
Buku Jenny” diperoleh dari grup band tersebut.
Misi
terbesar Kedai Buku Jenny adalah mendekatkan musik dengan buku (karena selama
ini komunitas yang dekat dengan buku terlalu segmented). Cafe Jenny pun dibuat karena di Makassar waktu itu ia
tak bisa setiap minggunya mendatangi panggung-panggung musik (karena belum
banyak panggung musik di kota ini). Di Cafe Jenny, tiap bulan dihelat panggung
musik lalu setelah itu, para pengunjung bisa berdiskusi. Di sana juga orang
bisa menggelar pameran kecil-kecilan.
Kedai
Buku Jenny pernah menggelar kegiatan bertajuk “Mengaji Pram” di mana para
peserta berdiskusi mengenai buku Pramoedya Ananta Toer. Mereka membincangkan
kosa kata dalam buku, membincangkan konteks sejarah, dan konteks Hubungan
Internasional pada saat itu (pada setting
cerita itu dibuat). Selain itu ada pula perpustakaan Malala dan lini
penerbitan (penerbitan indie).
Moderator
memberi pertanyaan kepada ketiga nara sumber, mengapa mereka menulis. Ilham
mengatakan bahwa menulis adalah bentuk perlawanan, menulis mempertemukan
dirinya dengan istrinya, dan menurutnya aktivis yang juga inspirator lahir dari
mereka yang menulis.
Bobby
mendekati istrinya dengan menulis. Sekarang ia merasa perlu menulis tentang
band-band lokal. Namun karena berbagai hal sering terkendala. Ia memicu dirinya
dengan cara memberi utang pada dirinya.
Jimpe
suka menulis karena pada awalnya ia tertarik pada jurnalistik. Ia bukan orang
yang mudah dalam bertutur secara lisan pada awalnya tetapi sekarang ia
merasakan, menulis telah membuatnya lebih mampu berbicara di depan banyak orang.
Ketemu istrinya pun, di Kampung Buku. Salah satu cara yang dilatihnya adalah
tidak mengulang kata-kata yang sama dalam satu paragraf.
Saya mendapat
kesempatan untuk bertanya hal ini kepada ketiga nara sumber: apa tantangan dan
juga ancaman aktivisme menulis di zaman ini?
Menurut
Jimpe, cara offline/tatap muka
tetaplah yang terbaik. Di zaman ini gangguan banyak sekali dari HP/media
sosial.
Menurut
Bobby: tantangannya adalah bagaimana kerja menulis disebarkan di banyak tempat
dengan cara masing-masing. Bagusnya, sekarang sudah banyak komunitas jadi tidak
begitu susah lagi. “Ruang menjadi penting,” tambahnya lagi.
Sedangkan
Ilham berpendapat bahwa akses informasi di zaman ini baik benar maupun salah
tersebar di mana-mana. Jadi, perlu ada filterisasi, harus membaca banyak
sumber.
Acara
yang dimulai terlambat dari waktu yang dijadwalkan itu harus segera diakhiri karena
tak lama lagi akan masuk materi AKUAPONIK dari Fadly – vokalis grup band Padi.
Makassar, 12 Mei 2015
Share :
sayang nya acara seperti ini hanya ada dikota besar. sedangkan dikota kecil pasti tertinggal
ReplyDelete