Saya
tak jadi mengikuti sesi Maman Suherman di Makassar International Writers
Festival (MIWF) pada tanggal 5 Juni lalu padahal saya sangat ingin
menghadirinya. Saya sedang menyukai tema jurnalisme, media, dan jurnalisme
warga. Saya hadir pada sesi Maman Suherman di MIWF 2 tahun lalu dan saya suka
sekali mendengarkan pengalamannya dalam dunia media sampai-sampai ia
menerbitkan buku.
Saya
tak dapat mengikuti sesinya kali ini karena lokasi acara di kampus UIN.
Sementara Athifah ingin sekali menyaksikan dongeng di MIWF yang diselenggarakan
di Fort Rotterdam. Dongeng MIWF hanya sekali setahun dan bisa jadi pengalaman seumur hidup yang tak terlupakan bagi Athifah
dan adiknya – Afyad. Saya menghargai ini makanya saya membatalkan ikut sesi
Maman Suherman meskipun saya sangat ingin menghadirinya. Jauh lebih penting dan
berharga menyaksikan anak-anak saya berbahagia ketimbang memperturutkan
keinginan saya (ceritanya bisa dibaca di sini).
Maka saya
pun memilih sesi Seno Gumira Ajidarma – penulis yang telah menghasilkan puluhan
cerpen yang dimuat di beberapa media massa. Sesi berjudul Writing in a
Tumultuous Nation ini berlangsung di Fort Rotterdam, tepatnya di gedung bekas chapel. Saat saya masuk ke ruangan ini,
acara sudah berlangsung hampir setengah jalan. Tidak banyak lagi kursi yang
kosong. Saya harus memperhatikan dengan seksama, apakah ada kursi kosong
terselip di antara hadirin.
Beruntung,
ada kursi kosong tidak jauh dari tempat saya berdiri. Seorang lelaki yang duduk
di sebelah kursi itu menjawab tanya saya, bahwa tak ada yang menempati kursi
itu. Saya menghempaskan tubuh dan mencoba menyimak perkataan penulis senior
ini.
Karya-karya
Seno Gumira Ajidarma yang dikenal luas, salah satunya adalah: cerpen Pelajaran
Mengarang yang terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas 1993. Buku kumpulan
cerpennya, antara lain: Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi
Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk
Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999). Karya lain berupa novel Matinya
Seorang Penari Telanjang (2000).
Saya
tak tahu sudah ketinggalan sebanyak apa materi di sesi ini. Suara yang
terdengar dari pengeras suara pun tak terdengar jelas di telinga saya. Tapi
saya menangkap tema “kritik sosial” dan “filosofi seorang Seno Gumira Ajidarma”
tengah dibicarakan dalam ruangan ini.
Berpose di salah satu pojok MIWF |
Lelaki
57 tahun ini menekankan pentingnya kesadaran.
“Kesadaran itu penting, sangat menentukan, dan bisa mengubah zaman,” ujarnya.
Ia mengaku tak menyukai satu bentuk ketakutan. Ketakutan itu tak alamiah,
menurutnya. Kalau ketakutan terhadap ketinggian atau binatang buas masih
merupakan ketakutan alamiah yang bisa ditolerirnya. Tapi ketakutan jenis ini
adalah “ketakutan yang bikin muntah”.
“Ketakutan
yang bikin muntah” yang dimaksud penulis yang mendapatkan Sea Write Award (1987)
dan Dinny O’Hearn Prize for Literary (1997) contohnya adalah ketakutan yang tak
wajar. Ketika tetangga tiba-tiba hilang, misalnya. Karena takut, membuat
seseorang jadi berkata, “Diam saja. Tak usah ikut-ikut!”
Menurutnya,
bereaksi menunjukkan empati adalah sikap yang lebih tepat. Lebih baik marah-marah
ketimbang diam. Kalau dirinya, bereaksi dengan cara menulis. Nah, kalau mau dimuat di media, saran Seno: harus kreatif dan menulis kritik sosial.
Peraih
gelar doktor dalam ilmu Sastra pada tahun 2005 yang juga meraih Khatulistiwa
Literary Award di tahun yang sama ini juga berkali-kali mengatakan “berjuang”, “struggle”, dan “fight”. Mengaku senang berjuang sendiri, Seno
mengatakan bahwa, “Penulis tak boleh manja. Harus ‘bergerilya’. Harus punya
otak bisnis!”
Perkara
bagaimana bisa hidup dalam idealisme, Seno mengatakan pentingnya memiliki
kreatifitas dan berpikir berbeda. Orang harus berjuang dalam segala hal. Dalam
kehidupan orang harus berjuang, bukan hanya dalam dunia menulis.
Pertanyaan
hadirin juga ada yang menyangkut karya-karya Seno. Tentang bagaimana lelaki
berambut panjang yang sudah memutih ini menuliskan senja yang indah, Seno
mengatakan dengan mengamati senja, menuliskan keindahnya ia jutru mendapatkan sebuah
filosofi. Senja itu indah. Dahsyat. Tapi dengan pasti HILANG.
Kini,
ia sedang mengerjakan calon novel terbarunya. Setiap harinya penulis buku-buku Atas
Nama Malam, Wisanggeni—Sang Buronan, Sepotong Senja untuk Pacarku, Biola Tak Berdawai,
Kitab Omong Kosong, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, dan Negeri Senja ini
menargetkan menulis sebanyak 600 kata dan mengecek ulang fakta sejarah. Ia
sedang menulis novel ber-setting sejarah.
Mengecek ulang fakta sejarah adalah penting karena bisa saja ada fakta sejarah
baru yang muncul. Maka fakta yang lama harus segera diganti dengan fakta baru.
Menurut
Seno, sangat menarik menulis dalam latar sejarah karena bisa bebas
berimajinasi. Banyak adegan bisa dimasukkan di dalamnya. Salah satu hal yang
dilakukan Seno dalam memperkaya tulisannya adalah membaca disertasi (mahasiswa)
Teknik tentang pembangunan rumah zaman dulu.
Seorang
peserta bertanya tentang cerpen Seno yang berjudul Aku Pembunuh Munir.
Dikaitkan dengan quote terkenal Seno
yang berasal dari salah satu judul buku karyanya: “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara”, maka apakah
yang harus dilakukan sastra dalam hal ini?
Seno
memberi jawaban yang tak kalah memukaunya dari quote tadi:
Ketika hukum tak bisa menghukum maka biarkan sastra yang menghukum
Sore
yang benar-benar indah. Hari ini saya akan melihat kebahagiaan terpancar di
wajah anak-anak saya yang mengikuti sesi Kids Corner sebentar lagi – acara yang
hanya berlangsung sekali dalam setahun bahkan mungkin sekali dalam seumur hidup
mereka dan saya mendapatkan tambahan wawasan dari seorang Seno Gumira Ajidarma.
Walau batal ikut sesi Maman Suherman, saya tak menyesal. Saya melangkahkan
kaki, keluar dari gedung bekas chapel dengan
perasaan puas.
Makassar, 9 Juni 2015
Tentang Seno Gumira
Ajidarma, bersumber dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Seno_Gumira_Ajidarma
Share :
Saya suka kalo ngobrol bareng penulis. Blm sekelas seno aji memang, tp kmarin ngobrol cerpenis koran2 dr Jepara
ReplyDeleteMenyenangkan bisa mendengar pengalaman2 mereka ya Jiah
DeleteInspiratif banget karya2 seno gumira, aku pernah baca cerpenya yg pelajaran mengarang, keten banget
ReplyDeleteWaaah jadi pengen baca
Deletewah, saya malah nggak tahu, sosok penulis ini, Mbak.
ReplyDeletesetiap penulis pasti punya tujuannya masing-masing ketika dia menulis. hebatnya, Pak Seno ini bisa menjadikan sastratak hanya sekedar sastra.
jadi penasaran sama bukunya.
Saya cuma sering dengar namanya, saya tidak ngeh dengan karya2nya .. bersyukur saya menghadiri sesinya :)
DeleteTulisan Seno Gumira Ajidarma buatku lumayan berat buat dicerna mak
ReplyDeleteNampaknya begitu ya Mak. Mak Ika sudah pernah baca karyanya? Saya belum ...
Deleteaku baru mengenal sosok pak seno. dan belum ada buku yang aku miliki.
ReplyDeleteKalo sudah baca dan me-review, infokan ke saya ya Mas
DeleteWuiiiiiiih....mbak niaaaat, enak kali ya bisa bertemu SGA. Ini penulis favortikuuuuuu.... Tulisan-tulisannya memang bagus dan melegenda ya, baik fiksi maupun non-fiksi. Nice reportase mbak.
ReplyDeleteWiih fans beliau pun banyak Mbak, di sini .... usai sesinya, orang2 rebutan foto2in ... iya Mbak, saya beruntung bisa mengikuti sesinya
DeleteLiputan yang bagus bu. Saya yang tidak ikut, bisa mendapatkan informasi berharga. Poin yang cukup sulit, dan perlu belajar terus menerus, adalah mengemas tulisan dengan kreatif dan memiiki manfaat bagi pembaca. Sukses selalu bu
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca
DeleteHidup memang untuk berjuang ya Jeng.
ReplyDeleteBanyak yang ingin menerbitkan buku tapi enggan berjuang hihihi..hanya berhenti pada keinginan belaka.
Terima kasih artikelnya yang inspiratif.
Salam hangat dari Jombang
Iya Pakdhe ... dalam sungguh2 ngeblog pun kita harus berjuang ya
DeleteTerima kasih sudah mampir, Pakdhe
Iya Pakdhe ... dalam sungguh2 ngeblog pun kita harus berjuang ya
DeleteTerima kasih sudah mampir, Pakdhe
Banyak memetik hikmah dari filosofi beliau ya Mbak... Nice post...semoga kita2 bisa mengambil yg terbaik dari hikmahnya..
ReplyDeleteSemoga, Mbak :)
Deletedimaros ada juga seminar dari maman suherman, tapi saya tdk pergi karena kesibukan sekolah. padahal lokasinya dekat banget sama rumah saya.
ReplyDeleteBuku Seno Gumira Ajidarma Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara nampaknya menarik.