Pelatihan Menulis Lanjutan untuk Komunitas Perempuan, namanya. Saya menghadiri pelatihan
yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar ini pada
tanggal 30 dan 31 Mei lalu, mewakili KEB (Kumpulan Emak Blogger). Ini pelatihan
ketiga yang saya ikuti yang diselenggarakan AJI Makassar. Pelatihan pertama
berlangsung pada bulan November 2013 dan pelatihan kedua berlangsung pada bulan
Januari 2014.
Pada
TOR (term of reference) pelatihan
yang dibagikan kepada peserta, salah satu latar belakangnya adalah:
Meski kesadaran perempuan di Sulsel terhadap kesetaraan gender cukup tinggi, namun kita masih sering menemukan perempuan mengalami kekerasan, baik secara fisik maupun psikis. Menurut data FPMP, kasus kekerasan terhadap perempuan di Sulsel mengalami peningkatan. Pada tahun 2011, tercatat sekitar 18 kasus dan pada tahun 2012, menjadi 27 kasus kekerasan. Ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih menganggap peran perempuan dalam kehidupan sosial tidak terlalu penting.
Memilih tempat duduk dekat colokan |
Depan: Halia, Nurul Rejeki, dan Bu Arnis (peserta). Belakang: para panitia dan nara sumber. |
Saya
sangat menghargai kepedulian dan kekonsistenan AJI Makassar tentang isu perempuan. Senang sekali diundang kembali untuk mengikuti pelatihan ini.
Buat
teman-teman yang ingin tahu materi apa saja yang sudah saya dapatkan pada dua pelatihan
terdahulu, bisa membaca reportase saya di link-link
berikut:
- Sinergi Berbagai Warna dalam Berbaurnya 14 Komunitas Perempuan
- Jalan Alternatif Agar Perempuan Lebih Lantang Bersuara
- Perempuan, Ayo Menulis (1)
- Perempuan, Ayo Menulis (2)
- Agar Perempuan Membingkai Media
- Mencari Tahu Posisi Perempuan dalam Media
- Belajar Ragam Analisis Media
Ina Rahlina dan Gunawan Mashar |
Ina Rahlina |
Gunawan
Mashar – ketua AJI Makassar, dalam sambutan pembukaan pelatihan menekankan
harapan dari pelatihan ini, yaitu agar para peserta bukan sekadar menulis
tetapi mencoba melihat seksama sebuah persoalan, menulis ala jurnalis
sebenarnya.
Selanjutnya,
Ina Rahlina – jurnalis yang bertindak sebagai fasilitator meminta para peserta
menuliskan harapan dan kekhawatirannya terkait pelatihan ini. Saya menuliskan
harapan saya mengenai keinginan saya untuk menyerap semaksimal mungkin
pengetahuan yang diberikan dalam pelatihan ini. Untuk “kekhawatiran”, jujur
saja tak ada karena selama ini saya sudah berusaha konsisten menulis berbagai
isu kemanusiaan, termasuk isu perempuan dan anak di sekitar saya atau yang
tertangkap oleh indera saya tapi karena harus menuliskannya, saya menuliskan
bahwa saya khawatir kalau-kalau saya tak mampu semaksimal mungkin memenuhi apa
yang diharapkan penyelenggara pelatihan – yaitu mengenai konsistensi menulis
mengenai isu yang ada di sekeliling saya.
Setelah
para peserta menempelkan “harapan dan kekhawatirannya”, Ina Rahlina membawakan
materinya berjudul Media dan Perempuan. Inilah sebagian pemaparannya:
Sebenarnya
banyak ide di sekeliling kita tapi kita tidak peka untuk menuliskan dan
mempublikasikannya. Media kuning dan infotainmen sekarang banyak sekali. Isu
sudah di-setting dalam infotainmen, yang diliput harus memiliki kriteria
tertentu dan diekspos. Perempuan jadi perbincangan karena jadi subjek dan objek
sekaligus. Di dalam kediriannya perempuan aktualisasi pikiran-pikiran,
kehendak-kehendak dan tujuan hidup. Tapi di pihak lain, karena wujud fisik yang
dimiliki dia jadi sasaran tembak lingkungan di sekitarnya.
Dalam
laporan, media masih melakukan hal yang sama. Dalam membuat tulisan, misalnya
tentang kesuksesan perempuan, biasanya mereka dikaitkan dengan bagaimana mereka
mengatur waktu untuk keluarga, untuk suami. Kepada laki-laki ditanyakan: apakah
istrinya berperan. Perempuan selalu dalam posisi sub ordinat. Kita berharap
dengan mampu menulis, kita bisa menuliskan hal-hal yang berbobot. Kita bisa
menulis tentang perempuan-perempuan yang melakukan perubahan, menginspirasi
orang lain.
Ada
hal-hal yang perlu dikoreksi bersama. Kita harus mengubah itu, mulai dari
komunitas masing-masing:
- Masyarakat lebih tertarik pada hal-hal sensasional dibandingkan hal-hal rasional.
- Televisi: 30% infotainmen.
- Tiras lampu merah, tabloid Check & Recheck menanjak.
- Tabloid Senang capai tiras 500 ribu eksemplar (dengan menjual gosip-gosip)
Dengan
makin canggihnya teknologi, media mainstream
sekarang tidak terlalu mendominasi. Informasi bisa sangat cepat via smartphone.
Ruang laporan warga cukup terbuka. Komunitas kita jadi sangat terbuka jika kita
memanfaatkan ruang-ruang citizen journalism. Supaya isu-isu tentang
perempuan, tentang perubahan, success
story di komunitas kita meluas,
diketahui publik.
Makassar, 3 Juni 2015
Bersambung
ke tulisan berikutnya
Share :
0 Response to "Perempuan Menulis, untuk Perempuan"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^