Tulisan ini diikutkan lomba Kisah #InspirasiIbu di fan page Facebook HIT Terinspirasi Ibu (ditulis tanggal 10 Juli)
Saya
menyaksikan perkembangan kepribadian ke arah yang berkualitas dari kerabat satu
ini sejak awal tahun 1990-an. Namanya No’i Inombi, lahir di sebuah kampung di
kawasan Suwawa – Gorontalo, 43 tahun silam. Saya memanggilnya dengan sebutan
“Kak No’i”. Ia perempuan yang punya prinsip dan tegas.
Saya
ke rumahnya kemarin sore untuk mengambil opor ayam pesanan Ibu. Eh, jangan
tanya kenapa Ibu bukannya memesan opor pada saya, ya? Saya ini tempatnya
memesan tulisan, bukan masakan. Eh, kayak yang jago nulis saja saya ini hahaha.
Sore
itu Kak No’I memasak dua panci besar opor ayam. Satu untuk kami dan satunya
lagi untuk keluarga besarnya. Enam belas tahun berumah tangga dengan lelaki
Makassar, ia bisa beradaptasi dengan baik dengan keluarga besar suaminya. Ia
tinggal di “kompleks perpetakan mertua indah” bersama keluarga besar suaminya.
Dia, suami dan anak semata wayangnya – Syahril (15 tahun) mendiami petak ukuran
kira-kira 12 meter persegi di rumah itu.
Kak
No’i keukeuh berkontrasepsi sejak kelahiran Syahril. Sepertinya keputusannya
tepat karena setiap harinya, hingga saat ini, ia menjadi tempat penitipan
ponakan-ponakan suaminya ketika ibu-ibu mereka sedang bekerja/berkegiatan,
terutama 3 anak perempuan terkecil di keluarga itu. Ia berperan besar dalam
urusan kampung tengah anak-anak itu. Bahkan, karena dianggap masakannya yang
paling enak di antara semuanya, dia yang paling sering dijadikan tempat makan
orang-orang serumah.
Kenapa
tak punya anak lagi? Alasannya komplit. Biaya hidup makin tinggi. Untuk kondisi
keuangan, katanya hanya bisa mengayomi Syahril. Ia pun sudah menganggap
ponakan-ponakan perempuan suaminya sebagai anak-anak sendiri. Bahkan tidur
malam pun, anak-anak itu seranjang dengannya.
Walau
hanya tamatan SMP, saya sangat salut, Kak No’i paham harus bersikap bagaimana
terhadap Syahril untuk masa depannya dan bagaimana bersikap realistis sekaligus
bijak dalam berkehidupan.
Ia
tak pernah memanjakan putra semata wayangnya itu. Ia membiasakan Syahril
mengerjakan beberapa tugas rumah. Contohnya dalam hal kebersihan rumah
(menyapu, mengepel, buang sampah). Sejak SD, dia selalu memperhatikan
penerimaan anaknya terhadap pelajaran sekolah. Ia mengajari yang bisa
diajarinya. Bila tidak, ia mengikutkan Syahril les di tempat lain.
Kepada
Syahril ditekankannya, kalau mau kuliah harus bekerja dulu supaya bisa
membiayai kuliahnya sendiri. Tugasnya sebagai manajer keuangan keluarga
dilakoninya dengan teramat baik. Ia pandai berhemat untuk menyelesaikan
pembangunan rumah pribadinya. Dirinya sendiri bisa mengkonsumsi makanan yang
amat sederhana yang penting Syahril dan ayahnya kenyang dengan makanan yang
mereka sukai. Dalam berpenampilan pun ia sangat sederhana. Walau sesekali ada
godaan dari perempuan-perempuan lain di sekitarnya untuk berpenampilan lebih
mahal, ia tak pernah tertarik. Ada yang pernah memberinya saran aneh:
“Berhutang ko, beli baju mahal-mahal.
Biar saja suamimu yang pusing bayar!” Tapi dia hanya menertawai saran itu.
“Saya
tidak nonton televisi dan membaca mi sekarang. Kalau puasa begini, fokusku
cuma: memasak dan beribadah,” ujarnya menutup pembicaraan kami sore itu.
Share :
sederhana banget ya mba
ReplyDeleteIya Mbak
Deletesalut banget dengan Ka No'I mba...prinsipnya bagus..
ReplyDeleteSaya juga salut, Mbak
Deletedikira syahrini ternyata syahril hehe
ReplyDeleteEh, masih jauh itu hehehe
DeleteBiaya hidup emang mahal, tapi tidak harus menjadi alasan mempunyai keturunan lagi. Setiap roh yang dilahirkan akan dijamin rezekinya masing-masing, wealah berlagak ustads !
ReplyDeleteHehehe .. begitulah pemikiran dan ketakutannya. Tapi sepertinya rezekinya dalam jumlah anak hanya satu. Kalo masalah anak, walaupun dihindari bagaimana pun - walaupun pakai alat kontrasepsi sekali pun, kalau Allah mau menjadikannya, tetap saja orang bisa hamil (ada contoh kasus). Yah, saya tidak bermaksud membenarkan atau menyalahkan pendapat ybs :)
DeleteSungguh menginspirasi
ReplyDelete