Tulisan ini merupakan tulisan ke-8 mengenai Pelatihan Jurnalistik Membangun Perspektif Perempuan dan Anak dalam Pemberitaan (LBH APIK, 10 – 11 Agustus 2015). Tujuh tulisan sebelumnya adalah: Menggugah Kepedulian Jurnalis Melalui Kritik Media, Kekerasan dan Media, Agar Media Berperspektif Gender, Sudut Pandang Hukum yang Bisa Digunakan dalam Menulis Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak, Isu Anak, Bukan Hanya Engeline, Pentingnya Peran Media dalam Melindungi Hak Anak, dan Sekilas Tentang Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak
Ibu
Rosniati Sain, pada hari kedua menyampaikan kepada para peserta pelatihan bahwa
peran serta masyarakat diharapkan dengan tidak memberikan label negatif. Ketika
anak mengalami kekerasan atau anak berhadapan dengan hukum ketika dikembalikan
ke masyarakat tidak ada sedikit pun cap diberikan kepada anak tersebut. Dia
diterima seperti sedia kala (hmm, biasanya
ini sulit ya, kebanyakan orang suka memberikan label “anak nakal” kepada anak
yang pernah berhadapan dengan hukum).
Wartawan
ketika mengawal kasus-kasus anak juga diharapkan memperhatikan kepentingan
anak. Pada pelaku tindak kejahatan anak, anak memang tidak dapat dibenarkan
tapi tidak juga bisa disalahkan. Ada peran orang tua dan lingkungan di
dalamnya. Ada peran masyarakat juga.
Sumber: www.childmatters.org.nz |
Usai
istirahat siang, para peserta diminta membedah sebuah kasus yang pernah
ditangani oleh LBH APIK Makassar. Kami diminta melihatnya dalam tinjauan hukum.
Kalau menulis (berita) tentang itu, apa saja tinjauan hukum yang bisa digunakan
untuk menulisnya.
Dengan perjanjian
pranikah, sekolahnya akan dibiayai hingga perguruan tinggi, seorang gadis belia
A (15 tahun) yang semula tak mau, akhirnya mau dinikahkan orang tuanya dengan
B, kerabatnya sendiri. A kemudian tinggal di rumah orang tua B.
Seminggu
setelah pernikahan, A meminta izin pada suaminya untuk bersekolah. Sekolahnya terletak di
seberang
pulau.
Butuh waktu
+30 menit menggunakan katinting (sejenis perahu) untuk menyeberang. Setelah itu, ia masih harus melanjutkan perjalanan darat selama ±1,5 jam hingga kota
kecamatan,
tempat sekolahnya berada. Jarak yang jauh itu
membuat
A tak
bisa setiap hari pulang ke rumah mertuanya. Karenanya
ia menumpang di rumah saudara tirinya yang tinggal tak jauh dari sekolah
pada saat hari
sekolah. Hanya di akhir pekan,
ia bisa pulang menemui suaminya.
Baru
saja seminggu masuk sekolah, B melarangnya bersekolah lagi.
Namun, A bersikeras tetap sekolah. B yang berang dengan sikap istrinya
mendatangi sekolah, mendesak pihak sekolah untuk mengeluarkan A dari sekolah. A
pun ditegur pihak sekolahnya lantaran merasa terganggu dengan sikap suaminya.
Tak sampai di situ, A diancam akan diceraikan oleh suaminya jika larangan
bersekolah tidak dituruti.
Dalam
suatu perjalanan dari sekolah kembali ke rumahnya, A mengalami kecelakaan saat
mengendarai sepeda motornya. Akibatnya dia mendapat luka di bagian
tangan kanannya. Meski sakit dan menjalani perawatan di rumah, B
tidak ikut merawat A, apalagi membiayai pengobatannya. Karena tidak
tahan dengan
sikap suami dan keluarga suaminya, serta tekanan batin yang begitu kuat, A
memutuskan meninggalkan kediamannya. A juga melayangkan gugatan cerai kepada
suaminya. Gugatan cerainya diputus pada tanggal 25 April 2013 dan telah
memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht
van gewisdje).
Saat
proses gugatan perceraian diajukan, B rupanya juga melaporkan A ke Polres setempat atas dugaan penelantaraan dalam rumah tangga. Adanya laporan polisi ini membuat
A dan keluarganya meminta kepala desa untuk memediasi kasusnya namun gagal.
Keluarga suaminya bersikeras melanjutkan proses pidana terhadap A. Kasus ini
terus bergulir hingga pemeriksaan di Pengadilan Negeri setempat.
A dijerat dengan Pasal 49 huruf a UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekekarasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). A terancam pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000 (lima belas juta rupiah).
Karena A dituduh menelantarkan B.[1]
Bagaimana membedah kasus ini?
Kali
ini, peserta pelatihan diminta untuk menggunakan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN
2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK dalam melihat kasus tersebut[2].
Sumber gambar: bigbootbooks.com |
A
adalah korban berkali-kali, ia mengalami kesengsaraan (pasal 1 ayat 15a). Dia
mau menikah karena menuruti keinginan orang tuanya, atas iming-iming boleh
sekolah bahkan hingga perguruan tinggi. Berdasarkan UU REPUBLIK INDONESIA NOMOR
35 TAHUN 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, A masih tergolong anak-anak (belum berusia 18 à pasal 1).
Ada
beberapa hal dari UU ini yang bisa dipakai dalam mencermati pengalaman A, di
antaranya:
- Setiap Anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat (pasal 9 ayat 1).
- Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan
- Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain (pasal 9 ayat 1a).
- Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir (pasal 14 ayat 1).
- Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan Hak Anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental (pasal 21 ayat 1).
- Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin Anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan Anak (pasal 24).
- Kewajiban dan tanggung jawab Masyarakat terhadap Perlindungan Anak dilaksanakan melalui kegiatan peran Masyarakat dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak (pasal 25 ayat 1).
- Kewajiban dan tanggung jawab Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan, akademisi, dan pemerhati Anak (pasal 25 ayat 2).
- Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak (pasal 26 ayat 1 c).
- Dalam hal Orang Tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada Keluarga, yang dilaksanakansesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (pasal 26 ayat 2).
“Kasus
penelantaran keluarga diletakkan kepada siapa
yang memiliki relasi kekuasaan yang lebih kuat. Jadi di sini sebenarnya tidak tepat mengatakan A sebagai penelantar keluarga karena dia (justru)
sebagai korban,” Pak Rusdin Tompo menambahkan satu catatan lagi.
Bedah
kasus yang dipandu oleh Ibu Lusi dan Pak
Rusdin ini adalah bagian terakhir dari Pelatihan Jurnalistik Membangun
Perspektif Perempuan dan Anak dalam Pemberitaan. Harapan dari penyelenggara dan
pemateri adalah supaya semua materi yang disampaikan menjadi bekal bagi para
peserta untuk lebih peduli lagi pada penulisan berita terkait isu perempuan dan
anak. Yaitu menulisnya secara etis, tidak hanya mengorek-ngorek permukaannya
saja, dan meninjau sudut pandang hukum berdasarkan landasan hukum yang berlaku
di Indonesia. Dengan demikian, masyarakat bisa lebih dicerdaskan dan bisa
mendorong upaya hukum dalam penyelesaian kasus-kasus tertentu.
Para
peserta diminta menuliskan RTL (Rencana Tindak Lanjut) yang bisa dilakukan.
Saya, tentu saja menuliskan bahwa saya akan menuliskannya di blog dan
menyebarluaskan di akun-akun media sosial yang saya miliki. It’s a promise!
Dan dengan berakhirnya tulisan (seri) ke-8 ini, saya sudah menuntaskan janji saya. Saya berharap, tulisan-tulisan di blog ini bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya. Insya Allah – mudah-mudahan Allah pun berkehendak, tulisan ini akan berada di sini, bisa diakses siapa saja, sampai kapan pun.
Dan dengan berakhirnya tulisan (seri) ke-8 ini, saya sudah menuntaskan janji saya. Saya berharap, tulisan-tulisan di blog ini bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya. Insya Allah – mudah-mudahan Allah pun berkehendak, tulisan ini akan berada di sini, bisa diakses siapa saja, sampai kapan pun.
Makassar, 26 Agustus 2015
Selesai
[1]
Kasus tersebut ditulis untuk LBH APIK oleh Pak Rusdin Tompo. Saya menyamarkan
nama dan lokasinya.
[2]
Silakan browsing, bisa langsung download jika ingin memilikinya
Share :
interesting case..juga referensi kerangka normatif yang bisa digunakan. Tidak bisa dipungkiri bahwa ketidaktahuan kita akan hukum yang berlaku membuat banyak hal jadi salah kaprah. Keep up the good work mak :)..cheers...
ReplyDeleteYup. Memang mesti pintar2 mencari informasi ya, Mak. Makasih yaa
Deletemiris dgn tragedi yg terjadi pada A. Dan amat menyayangkan tindakan org tua A yg menikahkan anaknya di usia dini hanya dgn iming2. Kejadian ini memang hrs menjadi pelajaran utk kita semua.
ReplyDeleteIya Mbak. Kalo anaknya memang suka, gak perlu diiming2i seperti itu mungkin masih lebih wajar. In isebenarnya pernikahan yang setengah dipaksakan. Kasihan, anaknya mau hanya karena ada iming2
DeleteKalau sudah menikah adalah hak preogatif Allah SWT. Kalau bukan karena izin dari Allah SWT Tidak akan ada pernikahan
ReplyDeleteSegala sesuatunya bisa terjadi karena ada izin Allah, Pak Asep. Tapi bukan berarti keburukan yang timbul semata2 dari Allah. Kalau ada akibat buruk dari sebuah pernikahan yang setengah dipaksakan, tidak adil kalau membiarkan A terpuruk.
Deleteternyata usia minimum untuk menikah skr sudah berbeda ya mbak gak kaya jaman dulu
ReplyDeleteSekarang ada batasan hukumnya, Mbak Lidya. Saya kira untuk mencegah hal2 yang tak diinginkan. Banyak hal yang sudah bergeser di zaman ini.
Deletebanyaknya kegiatan edukasi menarik
ReplyDeletesepeninggal saya ke jakarta
hiks.. uhuhuhu semoga deh bisa cepat ke makassar
biar bisa ikut acara2 kayak kag niar ikuti
bermanfaat banged
Ayo mi, pindah lagi ke Makassar, Qiah :)
Deletenice report mak .
ReplyDeleteTerima kasih, Mak
Deletejadi pelajaran nih buat saya
ReplyDeleteSama, buat saya pun demikian
DeleteMak, kayaknya di bagian akhir nama A tak sengaja ditulis deh.
ReplyDeleteWaduh ...iya, sempat salah. Saya tidak teliti lagi, ternyata namanya kesebut di bagian akhir. Makasih ya Mak, koreksinya, sudah saya benarkan
DeleteKan ada perjanjian sebelum nikah ya?
ReplyDeleteItu harus dijalankan duns.
Sama hal nya bila seorang wanita yang dilamar mengajukan persyaratan untuk calon suaminya.
Jadi dalam kasus ini ada pelanggaran hak seorang istri
Nah, itu juga. Dalam Islam pun, perjanjian pranikah harus dijalankan. Tapi tidak tahu juga apakah perjanjian pranikahnya ada hitam di atas putihnya :(
DeleteYa dan sebenarnya banyak hak A yang dilanggar :(
Wah semoga bisa diambil hikmahnya setelah membaca postingan ini. Untuk menjadi orang yg lebih bisa berfikir positif dan berfikir jauh kedepan..
ReplyDeleteAamiin aamiin. Semoga bermanfaat bagi banyak orang, terutama teman2 blogger
DeleteSenang ya mbak bisa ikut belajar penulisan jurnalistrik dan berpartisipasi menyebarluaskan pentingnya pencegahan tindak KDRT. Mestinya ortu lah yang bertanggung jawab pada pendidikan anak, tapi kadang keadaan ekonomi yang membatasi keinginan sekolah mereka.
ReplyDeleteBenar Mbak, mentok di keadaan ekonomi :(
Deleteaku yang baca sedih loh, di luar perilaku suaminya, aku ga paham kenapa ada keluarga yang mengizinkan, bahkan mau anaknya menikah di usia sekolah. apalagi ditunjang kata-kata A tadinya ga mau, karena dijanjiin bisa sekolah dia jadi mau.
ReplyDeletetapi keluarga suaminya juga aneh ya. bahasa awamnya mah, aneh aja..
Sama, saya juga sedih. Membayangkan ada di posisi A. Masih usia 15 tahun mau menikah hanya karena dijanji akan disekolahkan. Duh.
DeletePerlindungan anak menjadi suatu keharusan agar tindakan kekerasan lahir batin dapat dicegah baik oleh keluarga sendiri maupun oleh orang lain.
ReplyDeleteTerima kasih pencerahannya
Salam hangat dari Jombang
jadi pelajaran juga nih
ReplyDeleteRumittttt.kompleks tapi menarik utk dipelajari. Makasih utk sharingnya
ReplyDeleteKasihan benar si A, ya, Mbak. Alasan ekonomi memang sering disalahgunakan untuk mengukuhkan pernikahan dini.
ReplyDelete