Punya
dua adik kandung, lelaki dan perempuan, yang saling menjaga dan saling care satu sama lain itu
sungguh membahagiakan. Dengan adik laki-laki saya – Muhyi yang berselisih usia
4,5 tahun, saya akrab. Cuma ya ... namanya kaum “Mars” (laki-laki), keakraban
saya dengannya tak seperti keakraban saya dengan saudari yang perempuan.
Tahu
kan lelaki, kalau kita sudah heboh bercerita yang topiknya dari Sabang sampai
Merauke, dia tanggapannya cuma singkat-singkat saja. Seolah ada kuota bicara
dalam hidupnya. Yang nyebelin kalo komentarnya
cuma kayak gini: hm, ehm, ooh, eh, ah, atau
uhuk. Beda dengan yang sama-sama
perempuan, bak gayung bersambut, deh. Percakapan bisa jadi seluas dan sedalam
daratan dan perairan nusantara. Tapi bukan berarti saya tidak bisa ngobrol
panjang lebar dengan Muhyi. Bisa sih sesekali, pernah, waktu dia sedang cuti di
Makassar, kami ngobrol panjang lebar di ruang makan sampai tidak sadar kalu
bungsu saya – Afyad sudah keluar rumah sendirian tanpa sepengetahuan siapa pun
(ceritanya bisa dibaca di
sini).
Sumber: ganeshara09.wordpress.com |
Nah,
dengan adik perempuan saya – Mirna, saya lebih akrab lagi. Selisih usia kami
hanya 15 bulan. Kami beda setahun dalam jenjang pendidikan. Tapi karena kami di
TK, SD, SMA, dan jurusan yang sama saat kuliah, kami punya banyak sekali bahan
untuk diperbincangkan setiap hari. Kata Ibu, kami seperti dua orang yang
berteman (bersahabat persisnya), bisa ngobrol begitu seru. Kebiasaan itu, masih
terbawa hingga sekarang.
Di
bulan Agustus ini, kedua orang tua kami ke kota Sorowako (jaraknya: setengah
hari perjalanan naik bis dari kota Makassar) – ke rumah Mirna untuk menjaga
Faqih (8 tahun), putra bungsu Mirna selama Mirna dan suaminya menunaikan ibadah haji.
Hanya Faqih saat ini yang tinggal bersama mereka, Ifa (13 tahun) – sulung mereka
bersekolah dan tinggal di pesantren di kabupaten lain. Sebenarnya ada pilihan
lain yang memudahkan Mirna, selain orang tua kami yang ke sana. Faqih bisa saja
tinggal bersama salah satu keluarga, sahabat keluarga mereka. Faqih bersahabat
dengan anak keluarga itu dan keluarga itu pun rela bila Faqih dititipi kepada
mereka.
Saya pernah
bilang, “Biar saja Faqih sama sahabatmu. Akan lebih mudah. Lagi pula Faqih jadi
punya teman. Toh, sahabatmu itu bersedia.” Lebih simple sebenarnya. Lebih irit biaya juga.
Tapi
Mirna malah mengatakan, “Kalau saya memilih itu, Papa bisa tersinggung.”
Rupanya
ada satu kalimat yang pernah diucapkan Ayah, “Kalau kamu naik haji nanti, biar
Papa yang jaga anakmu.” Kalau Ayah sudah berkata demikian, tak memanggilnya ke
Sorowako sama artinya dengan menyakiti hatinya. Makanya, Mirna memilih anaknya
dijaga orang tua kami. Di sini saya terharu: pilihan itu hanya atas dasar Mirna
(dan suaminya) hendak berbakti kepada orang tua kami.
Ayah
kami orangnya easy going, serba
mudah. Beda dengan Ibu. Ibu orangnya serba memikirkan sesuatu dengan segala
kemungkinannya jauuuh ke depan. Saking jauhnya, sering kali malah apa-apa yang
tidak kejadian sudah ditakutkan terlebih dulu. Beliau juga strict dalam menilai sesuatu. Dalam pikirannya, ada standar yang
harus dimiliki seseorang, anak-anak sekali pun. Dan beliau tidak bisa menerima
kalau ternyata orang yang berurusan dengannya tak berada dalam standar yang ditetapkannya.
Dalam
banyak hal, ibu kami amat berkebalikan dengan Ayah. Bepergian ke tempat jauh yang
terpencil seperti Sorowako, pastinya menimbulkan banyak tanda tanya di
benaknya. Jangan sampai hal yang simpe malah
jadi ribet. Maka dari itu, Mirna
harus menyiapkan segala sesuatunya sesempurna mungkin. Jangan sampai ada complain dari Ibu nantinya. Dalam proses
menyiapkan segala sesuatunya itu, mulai dari makanan selama berada di sana dan
fasilitas lainnya, kami sering mengkomunikasikan “bagaimana kalau begini” dan “bagaimana
kalau begitu”-nya. Persiapan menyambut kedatangan orang tua kami diusahakan
sesempurna mungkin.
Tibalah
waktunya. Tanggal 26 Agustus kemarin, orang tua kami berangkat menuju Sorowako.
Tanggal 29, Mirna dan suaminya datang ke Makassar. Mirna dan suaminya
mempersiapkan segala perlengkapan. Selama ia berada di Makassar, kami masih
sempat mengobrolkan banyak hal.
“Boleh
titip do’a?” saya menanyakan kesediakannya mendo’akan saya sekeluarga di baitullah
saat kami sedang mencuci piring bersama. Walau saudari kandung, saya tak mau
memberatkannya. Do’a adalah pekerjaan hati yang selayaknya dipinta dengan
tulus. Bukan karena mentang-mentang saya kakaknya maka saya bisa seenaknya
memintanya mendo’akan saya.
“Boleh,”
jawab Mirna.
“Banyak
mi kah yang titip di’doakan?”
“Banyak
mi.”
“Saya
sebutkan atau ditulis?”
“Kalau
pendek ji do’amu, sebutkan moko. Kalau panjang, tulis moko. Itu Uyi (Muhyi, adik kami – red)
sudah kasih ka’ daftar do’anya.”
31
Agustus, hari keberangkatan tiba. Pukul 08.30 pagi tadi, mereka meninggalkan
rumah menuju bandara. Mereka masih harus ke Jakarta, karena saat mendaftar 4
tahun lalu, biro yang memberangkatkan mereka belum memberangkatkan calon jama’ah
haji langsung dari Makassar. Jadi orang Makassar harus ke Jakarta dulu baru
setelah itu terbang ke Jeddah.
Ada
titik-titik air menggenang di sudut mata saya saat memeluk Mirna dengan erat.
“Hati-hati,
ya. Semoga perjalnan lancar dan menjadi haji mabrur,” ujar saya setengah
tercekat.
“Do’akan
ya,” jawab Mirna.
Sepanjang
hari ini, beberapa kali kami berbalasan SMS dan telepon. Dia mengabari saat
hendak boarding menuju Jakarta, saat
tiba di Jakarta, dan tadi sore – saat hendak terbang menuju Jeddah.
“Do’akan,
ya.”
“Barakallahu, Dek.”
Sekali
lagi, titik-titik air mata menggenang di pelupuk mata saya.
Satu hal yang saya tak sampaikan
kepadanya secara langsung tadi. Saya berharap Allah memperkenankan saya menjadi
saksinya dan memberikan berkah-Nya:
Allah, perlancarkan perjalanan Mirna dan suaminya. Perjalanan dua anak yang
sedang berbakti kepada orang tuanya dan sedang beribadah kepada-Mu. Jagalah
Faqih selama mereka tinggalkan, permudahlah urusan orang tua kami selama di
Sorowako, dan jadikan mereka haji yang mabrur.
Makassar, 31 Agustus 2015
Tulisan
ini diikutkan Giveaway
Agustus Penuh Berkah
Share :
Semoga adeknya diberi kemudahan, kesehatan, kelancaran sampai pulang ke rumah lagi dan menjadi haji mabrur. Amin....
ReplyDeleteIni tulisan mepet banget ama DL ya kak? :)
Aamiin. Aamiin. Semoha. Hehehe iya, mepet banget, Mbak Tarry. Diusahakan buatnya. Sayang saja, baru liat infonya tadi malam, tiba2 ada ide ... sayang sekali kalau dilewatkan :)
DeleteMudah-mudahan adiknya mbak niar menjadi haji yang mabrur dan mabrurah...Aamiin.
ReplyDeleteKalau soal menjaga dan mengurus anak selama ditinggal dalam waktu yang lama, saya sih lebih setuju orang tua sih daripada orang lain. Walaupun kelihatannya merepotkan orang tua tapi sebenarnya bagi orang tua itu adalah sebuah kegembiraan bisa mengurus cucunya.
Aamiin .. aamiin ... betul Pak Edi. Betul sekali.
DeleteBarakallah mirna dan pai, sukses u mbak niar
ReplyDeleteAamiin aamiin ... terima kasih Yasir
DeleteSemoga adik dan ipar Kak Niar menjadi haji yang mabrur~ dan Kak Niar sekeluarga bisa menyusul ke sana juga. Amin.
ReplyDeleteAamiin ... aamiin .... terima kasih Dwi
Deleteada rasa gimana gitu mbak kalau aku baca tentang perjalanan haji, sedih belum bisa kesana
ReplyDeletePancangkan niat dulu, Mbak Lidya. Insya Allah tidak ada yang tak mungkin kalau kita berusaha *perasaan kita sama*
Deleteceritanya sungguh menginspirasi banyak orang :) pstinya akan mendatangkan banyak hikmag untuk para pembaca.
ReplyDeleteMoga lancar perjalanan ghaji adiknya ya mba Niar
ReplyDeleteSukses buat Ganya ya
semoga keberkahan selalu menghujani seluruh keluarganya mbak ...spesial buat mbak Mirna dan dd fakih
ReplyDeletebarakallah... :-)
ceritanya menginspirasi dan buat saya tersenyum ketika membaca karakter saudara cowok mbak yang mirip sekali dengan adik cowok saya...:-D
Salam ukhuwah selalu yaa mbak
Semoga selamat sampai pulang lagi.. sehat terus.. sehat juga untuk mak mugniar sekeluarga ^_^
ReplyDeleteinsya Allah lancar dan selamat mak...dan barakallah senantiasa...
ReplyDeleteThanks for joining my #BlessfulAugust ya mak...stay blessed..always :)
Amieeen yra
ReplyDeleteKadang memang serba salah sih ya, di satu sisi kalau menitipkan anak kepada orangtua, khawatir memberatkan. Tapi di sisi lain, orangtua kadang ingin sekali dekat dengan cucunya, malah 'maksa' cucunya mereka yang mengurus, apalagi selama perjalanan haji yang cukup lama.
ReplyDeleteSemoga birrul walidainnya menjadi keberkahan, aamiin.
Itulah hebatnya ibu ,walau anak sudah dewasa dan berumah tangga, hati ibu tetap menganggapnya bahwa anaknya itu masih kanak-kanak. Selalu ada ras kawatir dan cemas.
ReplyDelete