“Asap lagi! Tahun lalu
ada gerakan #MelawanAsap di media sosial. Tahun ini gerakan itu ada lagi.
Apakah tiap tahun seindonesia harus teriak-teriak seperti ini?”pertanyaan itu
terbetik di benak saya ketika mengetahui hashtag
#MelawanAsap di media-media sosial marak kembali dan menjadi trending topic.
Pertanyaan
ini sama dengan pertanyaan warga Singapura kepada warga Indonesia yang ada di
Singapura. Seorang kawan yang tinggal di
Singapura bercerita kepada saya, “Orang Singapore pada nanyain, tiap tahun seperti ini, masak pemerintah gak bisa mencegah?” Waduh, kebayang, kalau saya yang ditanyai
seperti itu oleh warga negara lain, saya pasti bingung mencari tempat simpan muka.
Mau taruh di mana muka saya? Orang-orang di negara saya tahun ini lagi-lagi mengekspor
asap ke negara tetangga, seperti tahun lalu!
Video Kami Tidak Diam #MelawanAsap
Percakapan
dengan kawan saya itu berlangsung kemarin.
Dua hari sebelumnya, keadaan sudah membaik tapi malam sebelumnya, kabut asap
kembali menyelimuti Singapura. “Kalau keluar rumah, bisa sesak nafas,” begitu
kata kawan saya.
“Anak-anak
bagaimana keadaannya? Kamu tinggal di dekat pantai, ya?” saya memperkirakan,
kabut asap hanya terjadi di daerah pantai di negara itu.
“Anak-anak
sekolah pake masker. Sudah batuk-batuk
kecil. Gak perlu tinggal di dekat
pantai. Haze merata. Singapore kecil,
Niar,” jawab kawan saya.
“Kondisi
sekarang bagaimana, jarak pandang, gimana?”
tanya saya lagi.
Saya
mencoba membayangkan keadaannya. Nyaris setiap hari menghirup asap kiriman
tentunya tidak enak. Saya teringat cerita suami ketika baru diterima bekerja di
Rumbai, Pekanbaru pada tahun 1997 – saat pertama kalinya kebakaran (atau
pembakaran?) hutan besar-besaran terjadi, jarak pandang hanya beberapa meter. Bila
berpapasan dengan orang lain di jalan, tidak bisa mengenali wajahnya saking
tebalnya kabut asap yang terbentuk.
“Jarak
pandang OK. PSI (Pollutant Standard Index)
saat ini 155 (unhealthy),” ujar kawan
saya.
Kawan
saya itu lalu memperlihatkan foto pemandangan Singapura dari tempat tinggalnya,
“Itu foto baru saya ambil, kalo Niar
mau lihat kondisi saat ini. Kalo (cuaca)
normal gedung-gedungnya terlihat jelas sekali.”
Singapura, saat PSI 155 (unhealthy) Foto dari kawan saya |
Saya
mengamati foto yang dia maksud. Gedung-gedung yang mana ya? Ah, ya, yang di
kejauhan itu, pasti yang dia maksud. Yang terlihat samar sekali.
“Itu
yang di kejauhan yang samar-samar? Gedung-gedung itu?” saya mencoba menguji
perkiraan saya.
“Iya.
Gedung-gedung yang samar-samar itu. Harusnya terlihat jelas. Itu ada Marina Bay
Sand. Gedung yang di atasnya ada kapal,” kawan saya membenarkan perkiraan saya.
Uh, pemandangan yang tidak asyik. Saat sedang chatting itu, waktu menunjukkan pukul 11
lewat (WITA). Keterlaluan sekali dampak terbakarnya hutan di Indonesia bagi
Singapura.
Beberapa
jam kemudian, saya nonton sebuah acara yang berjudul “Permainan Asap Nusantara?”.
Host acaranya adalah Aiman
Witjaksono, salah seorang jurnalis televisi kawakan. Acara itu mengetengahkan
problema asap di Sumatera Selatan.
Saya
sempat menyimak wawancara Aiman dengan Hadi Jatmiko dari WALHI Sumatera Selatan
dan gubernur Sumatera Selatan.
Menurut
Hadi Jatmiko, kebakaran hutan besar bermula saat konsesi hutan dimulai tahun
1997, yaitu ketika perusahaan secara legal bisa membuka hutan. Luas area hutan
yang dikuasai perusahaan berkisar 256.000 – 300.000 hektar. Ada indikasi
pembukaan lahan dilakukan dengan membakar hutan karena dengan demikian, “penghematan”
yang bisa dilakukan oleh perusahaan bisa sampai sebesar 7 juta rupiah per
hektar.
Menurut
data yang dipunyai WALHI, pada tahun 2014 – 2015, kebakaran hutan yang terjadi
di lahan konsesi mencakup 70% dari keseluruhan lahan yang terbakar. Pada tahun
ini ada penurunan, jumlah titik api di Sumatera Selatan per 2 September adalah
sebanyak 334 titik api. Pada tahun 2014 tecatat ada 3.101 titik api. Jumlah ini
berkurang setelah ada perusahaan yang ditindak karena kasus kebakaran hutan. Perusahaan
tersebut berhasil dijerat hukum atas dukungan Kementerian Lingkungan Hidup.
Lebih
lanjut, Hadi mengatakan bahwa dari beberapa kasus, hukum tak bisa menyentuh
perusahaan. Kalau terjerat, hukumannya ringan saja. Tuduhan lebih ditujukan kepada
rakyat (sebagai pelaku pembakar hutan). Pada tahun 2012, sembilan perusahaan
yang diadukan ke POLDA Sum Sel tidak pernah ditindak.
Lain
menurut WALHI, lain pula menurut gubernur Sumatera Selatan – Alex Noerdin. Menurutnya,
kebakaran hutan di Sumatera Selatan
bukan hutan tetapi semak belukar dan gambut. “Pembakaran hutan oleh
perusahaan baru indikasi, jangan su’uzhon
dulu,” ujarnya.
Lebih
lanjut, Alex Noerdin mengatakan bahwa ada 1,4 juta hektar lahan gambut di
Sumatera Selatan. Tanpa sengaja dibakar pun, di musim kemarau, gambut mudah
sekali terbakar. Ia lalu menjelaskan usaha-usaha pemerintah provinsi Sum Sel dalam
mengatasi musibah asap. Langkah siaga sudah dilakukan sejak bulan Februari
2015. Pada 9 Juli dilakukan Teknik Modifikasi Cuaca. Pada 26 Agustus terjadi
kebakaran hutan. Sejak Januari – 26 Agustus itu titik api masih zero. Barulah setelah itu terjadi
kebakaran hutan ... eh ... lahan gambut. Dari segala usaha yang dilakukan, Alex
Noerdin mengatakan tahun ini lebih baik daripada tahun lalu.
Sebagai
penanggung jawab provinsi Sum Sel, gubernur Alex Noerdin meminta maaf atas
musibah ini dan menyatakan akan terus berusaha walau tak bisa menjanjikan kapan
kabut asap akan benar-benar sirna.
Fiyuh, jadi polemik, ya. Yang di sana bilang
A, yang di situ bilang B. Yang di pusat, ada yang bilang A tapi ada juga yang
bilang B. Jadi bingung.
Ups.
Bingung tidak ada gunanya, ya. Hal yang jelas bisa saya lakukan adalah ikut
mengkampanyekan #MelawanAsap melalui blog dan media sosial, seperti yang saya
lakukan juga di tahun lalu. Tahun lalu saya membuat tulisan berjudul #MelawanAsap untuk Masa Depan yang Lebih Baik. Tahun ini, tulisan inilah yang saya buat
sembari berharap di tahun depan minimal ada pengurangan signifikan pada jumlah
titik api di Sumatera dan Kalimantan, kalau memang gerakan #MelawanAsap dengan
terpaksa harus konsisten dilakukan di tahun berikutnya. Saya ikut prihatin dan malu. Prihatin
dengan mereka yang kesulitan mendapatkan udara bersih dan malu, negara kita
bisa-bisa lagi-lagi mengekspor asap ke negara-negara tetangga.
Singapura, saat PSI 97 (moderate) Foto dari kawan saya |
“PSI
97 ... Alhamdulillah J,” saya membaca pesan kawan saya yang tinggal di
Singapura itu. Saya melihat waktu kirim pesannya: 23.31.
Saya
ikut senang. Dalam jangka waktu 12 jam, status unhealthy naik 2 tingkat menjadi moderate.
“Alhamdulillah.
Mudah-mudahan besok turun lagi J,” saya membalas pesannya.
Makassar, 20 September 2015
#MelawanAsap
#BloggerMuslimah
#SaveHutanIndonesia
#SpecialBlogwalking
Share :
malu sekaligus prihatin ya mbak melihat asap ngepul gitu..kabarnya pihak kepolisian udah nangkap sekitar 46 tersangka pembakaran hutan di Riau mbak..mudah-mudahan pembakaran hutan atas nama keuntungan para pengusaha besar berhenti selamanya..kalau terulang lagi, itu akan jadi bukti kesekian kali akan keberpihakan penguasa kepada pengusaha..rakyat yg jadi tumbalnya..
ReplyDeleteMudah2an tahun ini benar2 ada penindakan nyata ya, Mbak. Mestinya tekanan sedang besar2nya saat ini. Mulai dari gerakan di medsos sampai dari luar negeri.
DeleteSusah jika hukum tidak pernah menghukum kepala maka kaki tangan akan terus berbuat.
ReplyDeleteUngkapan yang pas, Mbak Ade. Mudah2-an "kepala"-nya banyak yang ketangkap kali ini.
DeleteMemang membingungkan mba.... semoga saja semuanya cepat berlalu...dan tak ada lagi pembakaran hutan eh terbakar...
ReplyDeleteSemoga ya, Mbak
DeleteAda dua macam penyebab kebakaran hutan di Indonesia, yaitu disengaja dan kerena alam. Hutan kita terutama di sumatra dan kalimantan kebanyakan tektur tanahnya adalah gambut yang mudah terbakar dengan sendirinya oleh panasnya matahari atau pergesekan pohon yg kering dan yang mampu memadamkan jika terjadi kebakaran ini hanyalah hujan karena mencakup lahan yang sangat luas dan dalam. Lapisan gambut itu kedalamannya variatif dari 1 m dan jika terbakar api sampai kekedalaman itu sehingga jika dipadamkan maka biasanya hanya permukaanya saja yg padam. Sementara yg disengaja adalah perilaku pembukaan lahan perkebunan oleh Perusahaan perkebunan yg biasanya membayar borongan kepada pekerjanya untuk membuka lahan. Kurang edukasi adalah faktor dari semua yg menginginkan pekerjaannya bisa cepat, terkadang mereka tidak sengaja membakarnya tapi kerena mereka membuang puntung rokok sembarangan menjadi pemicunya. Tidak dipungkiri juga masyarakat biasa juga masih banyak yg menggunakan metode membakar pada saat membuka lahan pertanian mereka dengan alasan hasilnya akan lebih subur.
ReplyDeleteYang mengerikan kalau penyebab2 itu "berkolaborasi" ya, Pak Edi ... duh.
DeleteSemoga saja cepat selesai masalah ini
Iya bener, kalau api berasal dari lapisan gambut yang dalam bisa jadi hanya padam sementara, nanti bisa memicu kebakaran hutan lagi :(
DeleteYa Allah .. yang lain mengekspor barang unik dan cakep, Indonesia mengekspor asap. Astaghfirullah. Mudah-mudahan tahun depan tidak terulang ...
ReplyDeleteHiks ... iya Mbak ... mudah2an tidak terulang lagi
DeleteMusim di Indonesia sekarang ada empat bukan dua. Musim hujan berdampingan dengan musim banjir dan longsor serta musim kemarau selalu kembaran dengan musim kabut asap.#Ironi
ReplyDeleteSpeechless, Mbak
Deletesemoga segera bisa di tanggulangi asapnya ya, selalu berulang spoalnya dari tahun ke tahun
ReplyDeleteIya Mbak Lidya
DeleteSedih banget kalo udah denger berita kebakaran hutan gini.sebagai penderita asma kebayang gimana rasanya nafas diantara kepungan asap itu. Belum lagidampaknya buat lingkungan dan hewan2 yg hidup di hutan. Siapa coba yg mikirin nasib hewan2 si hutan? Mereka juga butuh udara segar seperti juga kita :(
ReplyDeleteBenar Mbak. Mudah2an saja cepat selesai masalah ini
Deleteya ampun, saya turut prihatin dengan kabut asap di sumatra.. semoga hujan segera datang dan memadamkan titik api yang menyebabkan kabut asap
ReplyDeleteAmiin, aamiin
DeleteKalu udah bicara soal kebakaran hutan, aku spechless deh. Gatau itu diurainya dari mana. Semoga segera teratasi saja.
ReplyDeleteBenar, kayak benang kusut ya Mbak Widya
DeleteTurut prihatin, seharusnya ditindak-lanjuti dengan sigap itu ya.
ReplyDeleteYup. Benar
DeleteSebenarnya gregetan juga mbak kalau ada pihak pihak yg maen bakar gitu aja, mereka seolah enggak lihat dampaknya kemana aja. Orang orang yg gak tau apa apa jadi korban, Bahkan kabarnya kemarin sp ada yg meninggal..
ReplyDeleteIya. Sekarang ini sebenarnya sudah tidak cocok untuk bakar2an. Mana hutan kita banyak yang rusak, asap cepat sekali menyebar :(
DeleteDampak terparah kayaknya tahun ini.... detik ini di kotaku, ga tahu lagi dah beda pagi, siang, atau sore karena kabut asap yang sangat pekat.....
ReplyDeleteYa Allah, seram sekali ya .... semoga segera berakhir bencana ini ...
Deleteaneh! super aneh! hukum tidak bisa menyentuh perusahaan, tapi bisa menyentuh RAKYAT! ini aneh, negara indonesia ini sudah aneh! malu sama tetangga sebelah yang negaranya hanya kecil, atau bersyukur negara mereka kecil sehingga tidak punya lahan untuk dibakar. rakyat tidak bisa disalahkan! pemerintahlah yang salah, tidak bisa tegas selama bertahun tahun dalam menjebak dan menangkap pelaku pembakaran hutan ini.
ReplyDeleteMudah2an kali ini pemerintah bisa tegas ya Mbak Asti. Sehingga bencana ini tidak terulang lagi
DeleteDan nggak nyangka kalau dampak kabut asapnya pun sampai ke Sumatera Selatan & lumayan parah juga hu hu. Lihat foto dari angkasa, Sumatera nyaris tertutup asap, kami yang di Lampung masih lebih beruntung karena tidak kena dampaknya.
ReplyDeleteDampak kabut asap makin parah..sdh mulai ada korban meninggal.... dimana hati nuranimu wahai aparat?
ReplyDeleteNgeri sekali asap, semakin hari semakin menimbulkan kecemasan.
ReplyDeleteTerima kasih sudah ikutan BW
Sediih... dengan darurat sipil yang terjadi tiap tahun ini.
ReplyDeleteHiks. cuma bisa berdo'a untuk yang disana :'(
Semoga asap segera diatasi. Dan pemerintah tegas untuk masalah kesehatan dan keselamatan warganya.
ReplyDeleteSemoga asap segera pulih..
ReplyDelete