Katakanlah saya lebay, biarlah. Tak mengapa. Tapi saya merasakan hal yang agak aneh. Semacam rasa rindu. Ketika baru sekira 12 jam berlalu, saya merindukan merasakan keragaman seperti itu. Ketika kami semua saling melengkapi ... Tulisan ini merupakan tulisan ke-15, catatan saya selama mengikuti Festival Forum KTI tanggal 17 – 18 November lalu.
Memasuki
sesi Curah Ide pada hari kedua
Festival Forum KTI VII, tiba-tiba saja saya nge-blank.
Saya merasa tak bisa mengikuti tema-tema diskusi yang disampaikan oleh Kak Luna
Vidya, sang MC. Lima lajur meja-kursi mendapat tema yang berbeda-beda untuk
didiskusikan.
“Apa
tema diskusi kita, Kak?” tanya Kurniawan yang duduk semeja dengan saya.
“Eh
... oh ... ehm ... apa yah?” saya malah balik bertanya.
Apa,
ya? Hanya satu kalimat yang diberitahukan oleh Kak Luna tadi, mengenai tema
yang harus kami diskusikan dan saya tak bisa mengingatnya! Oh God, rasanya jadi orang paling bego sedunia, deh.
Suasana saat sesi Curah Ide Sumber foto: fan page FB BaKTI |
Saya
tidak merasa bersemangat menghadapi sesi ini. Ingin segera menghilang saja dari
ruangan besar ini. Tiba-tiba saya diserang rasa tidak percaya diri akut. Di
sini banyak orang hebat dan saya akan berdiskusi dengan mereka. Mengenai ... astaga
... mengenai apa itu tadi?
What ever-lah. Mengenai apapun itu ... saya bisa apa?
Kurniawan
meninggalkan meja bundar kami. Ia memilih topik di lajur lain. Kak Luna memang menyampaikan
juga bahwa kami boleh pindah ke lajur lain, memilih topik diskusi yang kami
kehendaki. Saya akhirnya memilih berdiri dari kursi yang saya duduki, hendak
berpindah tempat ... tapi mau ke mana? Saya merasa tak kompeten dengan satu pun
tema yang disampaikan Kak Luna.
Pandangan
saya tertumbuk pada meja bundar yang ditempati teman-teman dari LeMina (Lembaga
Mitra Ibu dan Anak). Aha, saya ke sana saja. Di meja itu ada orang-orang yang
saya kenal. Apapun teman diskusinya, saya ikut saja. Saya pun melangkahkan kaki
menuju meja yang ditempati A. Bunga Tongeng, Muhaimin, dan Arifayani. Kelompok
ini mendapatkan tema “Kedaulatan Pangan”. Tak langsung mengambil tempat duduk,
saya menuju restroom untuk hajat
kecil yang harus dibuang sekaligus berwudhu (semacam “curi start” sebelum waktu ashar masuk biar nanti langsung shalat, tidak
perlu ngantri lagi).
Saya
kembali menuju meja bundar yang ditempati teman-teman LeMina dengan perasaan
masih sama seperti tadi. Ogah-ogahan saya meminta kertas berwana, spidol
berwarna, dan papan komitmen yang terbuat dari kertas daur ulang kepada
fasilitator. Sesaat kemudian, saya menuliskan poin-poin yang diminta panitia
mengenai Kedaulatan Pangan. Contohnya, menyangkut harapan dan potensi. Nantinya
semua kertas yang ditulisi peserta akan ditempel di dinding ruangan dengan double
tape sedangkan papan komitmen dibawa pulang ke rumah masing-masing.
Saat
tiba waktunya diskusi, perasaan saya berubah. Dari yang tadinya feeling blue tak karuan menjadi
bersemangat. Ini karena saya menemukan hal menarik di balik diskusi yang
terjadi. Saya seolah mendapatkan kembali pencerahan menyangkut makna Bhinneka Tunggal Ika. Di sini saya
merasakan kalau keragaman itu membuat satu sama lain saling melengkapi. Latar
belakang yang berbeda dari kami bersepuluh, masing-masing dengan cara pandang
yang berbeda pula, membuat diskusi Kedaulatan Pangan ini menjadi menarik!
Sebagian
besar dari kami (termasuk saya) menyoroti kedaulatan pangan dalam bidang
pertanian. Tiga orang bapak, memandang kedaulatan pangan dengan cara berbeda.
Dua
orang dari bapak-bapak itu adalah inspirator dari Tomia, Wakatobi, Sulawesi
Tenggara yang tampil sehari sebelumnya (tentang mereka bisa dibaca dalam
tulisan saya yang berjudul Inspirasi dari Penjaga Laut Tomia. Pst, tulisan ini meraup pengunjung terbanyak dalam satu pekan ini. Postingan ini nangkring selama berhari-hari di widget Entri Populer di blog ini). Bapak yang lebih muda –
Pak Abbas namanya, membicarakan tentang kedaulatan pangan yang bersumber dari
laut karena ia seorang nelayan. Lalu Bapa Tua, La Asiru – pemimpin Komunto
(Komunitas Nelayan Tomia) berbicara tentang tanah sebagai tempat tumbuh tanaman.
Tentang bagaimana pentingnya menjaga kesuburan tanah.
Bapak
yang satunya lagi, Pak Sam Renyaan, adalah ketua Pokja Forum KTI dari Papua
yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Cenderawasih. Ia membicarakan
tentang menjaga kelestarian air melalui tanaman yang ditelitinya. Pak Sam
menyebutkan tentang palma (tumbuhan famili palem-paleman mungkin ya,
maksudnya?), kelapa, dan enau sebagai tanaman yang bisa menyimpan air. Dari
penjelasannya, saya berkesimpulan bahwa kita patut memberi perhatian lebih
kepada tumbuhan palma ini.
Saya
kembali merasa tercerahkan. Kedaulatan pangan kan bukan hanya tentang pertanian
tapi juga tentang makanan yang bersumber dari laut, tentang air sebagai bahan
utama "penghidup" tanaman, dan tentang tanah itu sendiri.
Diskusi
antara kami, selain dengan ketiga bapak tersebut berlangsung tak kalah
menariknya. Misalnya saja saat giliran seorang ibu dosen ilmu Pertanian
berbicara, Bunga menyarankan padanya agar mendorong mahasiswa-mahasiswinya
untuk memiliki komitmen mengabdi di desa. Jangan hanya mengharap menjadi PNS di
kota saja. Pun ketika bu Yustiana yang berlatar belakang ilmu Farmasi mendapatkan
gilirannya, Pak Abbas menyarankannya agar ia mendorong kedaulatan tanaman obat.
Salah
satu hal yang saya tuliskan di atas kertas yang ditempel di dinding adalah
harapan saya agar hasil pertanian dan hasil olahan pertanian di Sulawesi
Selatan khususnya, dan di Kawasan Timur Indonesia pada umumnya bisa dijual online dan go international. Ini bukanlah hal yang mustahil dicapai pada era
digital sekarang. Kerajinan tanduk kerbau dari daerah Kuningan, Jawa Tengah
misalnya, sudah menjaring peminat melalui dunia maya. Saya pernah membaca
tulisan di blog salah seorang kawan mengenai kerajinan tanduk kerbau di
kampungnya yang sudah go international berkat
internet. Produk crafting dari
pelosok Jawa saja bisa, saya kira produk makanan dari pelosok Sulawesi pun
bisa. Iya, kan? Minimal, kita-kita yang tinggal di Makassar tak kesulitan
mendapatkan produk yang berasal dari seluruh kabupaten di Sulawesi Selatanlah.
Di Kota
Makassar sendiri, masih lebih banyak dikenal
produk makanan olahan dari luar pulau Sulawesi. Padahal sebenarnya di seantero
pedalaman Sulawesi Selatan, banyak UKM yang bisa menghasilkan produk-produk
olahan yang tak kalah kualitasnya dengan yang berasal dari luar pulau. Bisa
dilihat pada pameran-pameran pembangunan, dengan banyaknya booth dari kabupaten-kabupaten sesulawesi selatan yang menampilkan
kekayaan produk makanan olahan (termasuk crafting
juga). Hal ini menunjukkan kalau daerah kita sebenarnya tak kalah, koq. Eh ...
tapi sebelumnya, infrastruktur internet di daerah tentunya harus bagus dulu,
dong, ya?
Makassar, 7 Desember 2015
Bersambung
Silakan
disimak kisah-kisah lainnya:
- Graphic Recorder, Profesi Kreatif Keren Abad Ini
- KTI, Masa Depan Indonesia
- Pengelolaan Air dan Penanggulangan Bencana di Kaki Rinjani.
- Inspirasi dari Timur: Rumah Tunggu Penyelamat dan Wisata Eksotis
- Inspirasi dari Penjaga Laut Tomia
- Gerakan Gebrak Malaria dan Pejuang Legislasi Malaria dari Halmahera Selatan.
- Petani Salassae Mewujudkan Kedaulatan Pangan
- Tendangan Kemanusiaan Andy F. Noya
- Para Pahlawan yang Bekerja dalam Sunyi
- Sekolah Kapal Kalabia Membentuk Agen Perubahan di Raja Ampat
- Inspirasi dari Polisi-Polisi Plus
- Pejuang-Pejuang Kesejahteraan yang Tak Kenal Lelah
- Anggaran Kesehatan Cerdas yang Pas untuk Semua di Sulawesi Utara
- Inspirasi dari Poogalampa dan Honihama
Share :
awalnya jenuh,lama2 jadi mengasikkan ya mbak diskusinya..apalagi ngomongin masalah pertanian^^
ReplyDeleteDan ternyata tidak melulu pertanian, Mbak Han ^^
DeleteIya mbak, betuul.
ReplyDeleteApapun yang pengen disosialisasikan bagusnya ya internetnya lancar jaya dulu :D
Toss :)
DeleteWahhh, seru sekali nampaknya acara ini ya mba. Saya ga bosen mengikuti jalan ceritanya
ReplyDeleteSeru Mbak. Saya bela2in menulis sepanjang ini soalnya jarang acaranya. Festival berikut kemungkinan besar di kota lain :)
DeleteKalo tpt alhamdulillah pertanian lancar2 saja Mbak. Bpkku jg petani, tp ya bkn petani besar
ReplyDeletePetani, besar maupun kecil, sama2 hebat buat saya Jiah .... tinggal bagaimana orang2 mudanya mau kembali ke pertanian :)
DeleteDiskusinya seru banget ya, Mak? :D Kebayang gimana ramainya deh.
ReplyDeleteYa, Mbak Nisa ... seru :)
DeleteJatuh cinta dengan rangkaian cerita yg bunda niar suguhkan...
ReplyDeleteDalam diam muty juga sempat menulis kepingan ilmu yg harus muty abadikan agar ketika bisa jd referensi suatu saat ketika dibutuhkan.
Ditunggu tulisan selanjutnya ya bunda...
Ayo Muthy, nanti banyak2 menulis ttg Gorontalo yah. Blogger Gorontalo kelihatannya sedang itirahat total nih sekarang :)
Deletewah iya ...ketahanan pangan memang tidak melulu soal pertanian, ya.
ReplyDeleteAkhirnya diskusinya menarik, mbak Niar.
Sukses selalu dengan kegiatannya, ya
Maaf, saya lama sekali tak berkunjung. Baru ngeblog lagi inih hehe ...
Hai Mbak, iya ya lama tak terlihat di dunia maya ini. Apa kabar, Mbak Ani? :)
Deletesharing & berdiskusi semacam ini menambah wawasan kita ya mba Niar...
ReplyDeleteIya Mbak Santi, dan itu menarik :)
Deletebener bgt mba, Rasul jg sudah mengajarkan perbedaan adalah rahmat :)
ReplyDeleteBenar, Mbak Kania :)
Deletenah ini dia yang harus dibangun sedari dulu
ReplyDelete