Tulisan ini merupakan tulisan ke-16, catatan saya selama mengikuti Festival Forum KTI tanggal 17 – 18 November lalu.
Setelah
beberapa kali mengikuti acara yang diselenggarakan oleh BaKTI (Bursa
Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia), saya menyadari kalau BaKTI memberikan
perhatian besar pada seni dan budaya, terutama yang berasal dari Kawasan Timur
Indonesia.
Pada event Festival Forum Kawasan Timur
Indonesia VII tanggal 17 – 18 November lalu, para peserta disuguhi pertunjukan
seni, baik gerak (tari), musik modern, musik tradisional, fotografi, graphic record, dan seni yang tampak
dari dekorasi tangga penghubung antara lantai 17 dan lantai 18 Hotel Aston.
Saya
salut pada tim BaKTI, bisa-bisanya terpikir untuk menghiasi tangga penghubung
itu. Ruangan yang paling lama digunakan untuk Festival Forum KTI terletak di
lantai 17 dan 18. Lebih simple menggunakan
tangga, memang. Naik/turun tangga yang dihiasi ornamen-ornamen unik itu membuat
perjalanan naik-turun tangga menjadi asyik. Sayang sekali, saya lupa memotret
dekorasi itu. Ada kain panjang hitam yang dihias benda-benda berwarna putih,
sepertinya styrofoam, deh.
Benda-benda itu dibentuk-bentuk dengan selera seni yang tinggi sehingga enak
dipandang mata.
Sayangnya,
saya tidak mengetahui semua nama dari suguhan seni yag ditampilkan. Tidak seperti
pada ulang tahun BaKTI tahun lalu, setiap penampil tertera namanya pada layar
lebar, kali ini tidak. Kalau kurang sigap mencatatnya, informasi dari MC lewat
sudah.
Daaan
rupanya saya, ta’ lewat sekali
kekurangsigapannya. Saya bahkan tak mencatat apapun dari suguhan seni yang ada.
Sampai-sampai saya perlu bertanya beberapa hal kepada Kak Luna dan Kak Suzan
melalui pesan inbox FB beberapa hari kemudian.
Kak Luna dan Pak Yusran |
Kak
Luna memberi penjelasan mengenai sebuah tarian di awal Festival Forum KTI. Tarian
yang semula saya kira tarian daerah NTT itu ternyata tarian modern. Kata Kak
Luna: “Ini bukan 'tarian daerah' NTT. Ini tari pergaulan modern, dengan memakai lagu Gemu Famire. Mulai populer dari NTT tapi
sekarang banyak versinya. Seperti tari Yospan dari Papua. Versinya banyak. Yang
menarik dari suguhan (grup) Batara Gowa di FKTI adalah: unsur musik Sulawesi Selatan
untuk menyanyikan lagu itu, dan pakem tari pakarena, langkah kaki tarian Toraja
pada gerak Gemu Famire.”
Wow,
sungguh merupakan sebuah tarian yang kaya “rasa”, ya.
Hiburan
medley alat musik
tradisional yang tampil tunggal (tanpa mengiringi gerak ataupun syair) pun tak
kalah kerennya. Tetabuhannya terdengar kaya dengan rampak yang mengagumkan.
Saya selalu terpesona dengan bunyi-bunyian tradisional. Hanya bunyi-bunyian,
tanpa kata-kata. Tetapi mereka membuat saya merasa bangga menjadi orang
Indonesia, terkhusus Indonesia bagian timur.
Tarian modern dalam iringan Gemu Famire. Sumber foto: fan page FB BaKTI |
Musik bambu dari Toraja. Sumber foto: fan page BaKTI |
Saya
suka bingung, deh mendengar MC-MC di banyak acara yang pernah saya hadiri.
Mendengar dialek yang mereka gunakan, saya jadi bertanya-tanya sendiri, apakah
mereka MC yang didatangkan dari Jakarta ataukah MC Makassar yang merasa dialek
Jakarta lebih keren sehingga sama sekali tak mau menggunakan dialek Makassar?
Ataukah ada aturan yang mengharuskan para MC menggunakan dialek Jakarta supaya
terdengar lebih bagus? Tell me, please!
Graphic record dan foto |
Foto-foto yang memperlihatkan para inspirator di Festival Forum KTI VII |
Maaf, bukan bermaksud sinis, Kawan. Bukan juga bermaksud mengatakan dialek lain lebih jelek. Semuanya pas dan bagus, pada tempatnya. Seni, budaya, termasuk dialek adalah bagian dari karakter dan identitas kita. Mempertahankan karakter dan identitas itu penting. Justru dengan karakter dan identitas itulah, kita mengakar kuat sebagai bangsa Indonesia.
Saat saya
keluar dari ruangan, usai sesi Curah Ide untuk menunaikan shalat ashar, rupanya
masih ada beberapa penampil. Salah satunya adalah para peniup musik bambu
Toraja. Mereka berasal dari kampung Rama. Saya melewatkan presentasi Ambon
Bergerak dengan Rumah Kreativitas Anak Muda-nya. Karena waktu sudah menunjukkan
pukul setengah lima (sore) lewat, saya
tak kembali ke dalam ruangan besar di lantai 18 itu. Saya langsung naik ke
lantai 20, tempat Side Event Peranan
Pemuda dalam Pembangunan Berlangsung. Side
Event dijadwalkan berlangsung pukul 16. Saya khawatir, bila acaranya
berlangsung paralel dengan acara di panggung inspirasi, saya akan ketinggalan
banyak hal.
Makassar, 9 Desember 2015
Bersambung
Silakan disimak kisah-kisah lainnya:
- Graphic Recorder, Profesi Kreatif Keren Abad Ini
- KTI, Masa Depan Indonesia
- Pengelolaan Air dan Penanggulangan Bencana di Kaki Rinjani.
- Inspirasi dari Timur: Rumah Tunggu Penyelamat dan Wisata Eksotis
- Inspirasi dari Penjaga Laut Tomia
- Gerakan Gebrak Malaria dan Pejuang Legislasi Malaria dari Halmahera Selatan.
- Petani Salassae Mewujudkan Kedaulatan Pangan
- Tendangan Kemanusiaan Andy F. Noya
- Para Pahlawan yang Bekerja dalam Sunyi
- Sekolah Kapal Kalabia Membentuk Agen Perubahan di Raja Ampat
- Inspirasi dari Polisi-Polisi Plus
- Pejuang-Pejuang Kesejahteraan yang Tak Kenal Lelah
- Anggaran Kesehatan Cerdas yang Pas untuk Semua di Sulawesi Utara
- Inspirasi dari Poogalampa dan Honihama
- Ketika Satu Sama Lain Saling Melengkapi dalam Keragaman
Share :
Saya selalu mengikuti tulisan ini. Xixixi.
ReplyDeleteIndonesia memang penuh dengan budaya, ya? Walau hampir sama, kadang banyak pula yang membedakan. Saya tauhnya sih cuma dari youtube. :D
Eh, itu MC kenapa pake dialek Jakarta, ya? #kepo
Terima kasih Mbak Nisa, sudah menyimak tulisan2 saya :)
DeleteHehe, nah itu dia saya juga penasaran
Sebagai orang yang tinggal di bagian barat Indonesia, membaca tulisn Mbak Mugniar yang ini membuat saya jadi ngeuh ternyata ragam kesenian di Indonesia Timur itu sangat beragam, dan saya yakin yang diceritakan oleh Mbak ini adalah sebagian kecilnya saja, mungkin karena saya terlalu asyik dengan ragam kesenian kesenian dari daerah saya sendiri (Sunda) yang banyaknya juga pake binggo. Lagipula disini sangat jarang pertunjukan seni yang berasal dari Indonesia Timur, paling kalo mau nonton ya di yutub.
ReplyDeleteSAya pun ngeuh-nya kalo mengikuti acara-acara seperti ini, Kang Rudy. Kaau tidak, saya juga tak tahu banyak. Terima kasih sudah menyimak :)
DeleteAlat musik bambu Toraja itu mirip sama toleat di Subang, Jawa Barat, ya. Wah, saya jadi makin tertarik nih memperdalam sejarah musik tradisional Indonesia. :)
ReplyDeleteOoh, mirip, ya? Saya tidak tahu malah :)
DeleteJepara kadang jg ada event gini. Sayang gak sempet nntn
ReplyDeleteSayang ya, Jiah
DeleteDuh makin iri melihatnya. Sepertinya menyenangkan betul bisa hadir di acara kti ini
ReplyDeleteIya, Mbak ... hehehe
DeleteNggak terasa sudah tulisan ke 16 aja. Salut dengan dokumentasi tulisanmu Niar
ReplyDeleteIya Mbak Ade, sudah 16 tulisan, hehehe.
DeleteTerima kasih, ya Mbak
Asik banget nih, bisa melihat beragam seni dan budaya di festival ini... Nice share mbak...
ReplyDeleteBenar sekali, Mas Adi :)
Deletelupa mencatat krn saking menikmatinya ya mba?
ReplyDeleteYah ... itu salah satu alasannya, Mbak hehehe
DeleteKesenian dan budaya di indonesia emang g ada matinya ya mbak.. makin di kupas makin banyak pengembangannya.... btw, itu yg main alat musik toraja emang sepuh-sepuh semua gt ya mbak? ato ada yg muda tp gak keliatan? kan sayang kalo gak ada regenerasinya. :(
ReplyDeleteIya, ya Alan .. kalo tidak ada penerusnya bisa punah tuh keseniannya. Mudah2an saja ada generasi penerusnya di sana.
DeleteDi Jogja sering ada pertunjukan budaya dari seluruh Indonesia mb, dulu saya sering nonton sampai larut malam,a da budaya Indonenesia timur, kalimantan, sumba, bagus2 semua. Tapi berhubung sudah berkeluarga jadi susah nonton acara-acara seperti ini lagi
ReplyDeleteWaah keren yah. Apresiasi budaya yang bagus sekali, Mbak Intan
DeleteKadang ditempat ane juga ada acara acara adat ky gini mbak kalau lg free tentu langsung nonton apalagi kalau gratis nontonya :D wkwkwkw #ngirit_mode_ON
ReplyDeleteYup betul, yang gratis selalu asyik apalagi kalo suguhannya asyik hehehe
DeleteSaya paling suka dengan suguhan-suguhan budaya seperti ini :)
ReplyDeleteMenarik ya dan membuat kita semakin bangga jadi orang Indonesia :)
Deletedialek jakarta maksdnya pake LOE GUE dan aksen betawinya gitu mba? Mungkin bukan dialek Jakarta kali, tp dialek bahasa Indonesia ;D.. bisa jadi dia mikirin tamu2nya kan bukan semua org timur, bisa jadi ga begitu ngerti kalo dia pakai dialek kental dari timur.. Tapi aku setuju sbnrnya kalo MC itu menggunakan dialek masing2 dari daerahnya ;).. Jd ciri khas gitu loh.. :)
ReplyDeleteNah, ada juga lho yang ber-LOE-GUE, Mbak. Ada juga yang ber-kamu-aku dengan tutur ala-ala orang Jakarta. Nah tamu2nya orang Makassar, kalo ngerti sih ngerti ya, tapi kan aneh saja. Kira2 situasinya sama seperti kalau kita datang ke acara di Makassar tapi MC-nya bicara pake dialek Sumatera atau Papua, apakah cocok? Aneh kan hihi.
DeleteHarusnya acara begini sering tayang di tv, jadi masyarakat bisa lihat. Miris liat acara tv sekarang.
ReplyDeleteYup, benar Mbak
DeleteHuumm serunya. Tapi, apa ya alasan para MC yang sesungguhnya, saat mereka bukan berada atau berasal dari Jakarta tapi lebih senang memakai dialek Jakarta? Atau mereka terpengaruh sama banyaknya tontonan di televisi juga ya, Bund?
ReplyDelete